Oliv terdiam, menatap wajah pria itu secara dekat. Jantungnya kini berdegup dengan cepat, bahkan dirinya tidak bis bicara sama sekali. Perempuan itu melirik ke tangan Nick yang masih stay di sana, kemudian menatap pria itu kembali. “Bisa hati-hati tidak?” Oliv menegukkan ludahnya susah payah dan mengangguk kikuk. “Ya–ya, maaf.” Nick menghela napas pelan dan menyuruh Oliv untuk berdiri tegak. “Masih pagi, jangan mengharapkan ciuman saya,” ucap pria itu sebelum melangkahkan kaki ke kursinya. Mata Oliv membulat seketika. Bisa-bisanya pria itu bicara seenak jidatnya? “Bisa tutup mulut.kamu sedikit aja, Tuan Nick yang terhormat? Jujur aja aku capek banget, tenagaku terkuras karena kamu tau?!” Oliv berjalan ke arah meja kerja Nick. “Tidak ada kerjaan kan? Buatkan saya kopi? Tanpa gula?” Nick nampak mengalihkan pembicaraan. Oliv menggebrak meja pria itu spontan, tanpa bicara dia segera keluar dari ruangan dan menutup kembali. Kemudian ia berjalan dengan cepat menuju ke dapur.
Oliv memutuskan ke kantin. Ternyata kantin di kantor ini sangatlah mewah, seakan dirinya berada di cafe luar sana. Ada prasmanan dan juga menu biasa yang disediakan. Sangat komplit. Oliv memesan minuman jus jambu dan juga cemilan. Dia langsung mencari tempat duduk di kantin tersebut. Memang sangat sepi. Tapi, ini yang dibutuhkannya saat ini. Selang beberapa menit minuman dan cemilan yang dipesan tadi akhirnya datang juga. “Silakan di nikmati ya, Nona Oliv. Semoga suka,” ucap karyawan tersebut sebelum kembali lagi. Kening Oliv mengkerut. “Kayaknya karyawan di sini juga tau deh kalau aku istri dari Nick,” gumamnya. Tak mau memikirkan yang lain, akhirnya dia memutuskan untuk memakan cemilan dengan pelan. Oliv menyadari jika dirinya menjadi sorotan karyawan di sini. Wajahnya memerah, bahkan suara kamera-pum terdengar di t
“Makasih atas kerja samanya, Nona Oliv. Semoga bisnis kita akan sukses nantinya.” Oliv menutup berkas itu. Dia meringis pelan. “Semoga aja. Makasih juga sebelumnya sudah percaya sama aku.” “Kalau masakanmu kamu tidak enak. Pasti saya tidak akan membuatkanmu cafe.” “Hum, aku hutang budi sama kamu. Semoga aku bisa membalasnya nanti.” “Tidak usah dipikirin soal itu. Ah ya, bentar. Saya ambilkan pesanan dulu, kita makan bersama.” Nick beranjak dari sana dan pergi dari ruangan tersebut. Oliv melirik ke arah ambang pintu. Dia menghela napas pelan. Tak lama kemudian, Nick kembali masuk ke dalam dan meletakkan bingkisan di meja. “Makan di sini saja. Jangan di meja kerja saya, nanti kotor,” ucap pria itu sebelum duduk di sofa khusus tamu. Oliv beranjak dari tempat duduk dan duduk kembali di sofa tersebut. Tepatnya samping Nick. “Beli apa emangnya?” “Piza, sama ayam richees. Kalau kamu mau, makan saja. Biar kamu tidak lapar lagi nanti.” “Makan mulu, nanti aku gendut gimana?” “Tandany
Sesampai di kantor. Nick nampak bergegas masuk ke dalam sana. Oliv-pun mengikuti dari belakang pria itu, ternyata di luar sana terdapat wartawan yang ingin me-wawancarai Nick. Namun, pria itu tidak memperdulikannya. “Astaga, pasti masalah kemarin. Kenapa baru ramai? Apa mantannya Nick sengaja?” gumamnya. Perempuan itu segera masuk ke dalam lift sebelum lift itu tertutup. Nick nampak marah, sampai-sampai Oliv tidak berani mengajak bicara pria itu. “Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya. Perempuan yang berada di samping Nick terus memandangi dari samping. Dengan ragu, Oliv mengusap lengan pria tersebut dengan pelan untuk memenangkan. “Nick? Kamu, tahan ya. Jangan sampai kamu marah dan melukai perempuan, ya?”Nick melirik ke samping. Tangan yang tadi mengepal, seketika merenggang. “Ada aku, nggak usah takut. Tetap tangani dengan kepala dingin.” Entah tiba-tiba saja Oliv ingin mengatakan itu di depan Nick.Nick nampak terdiam di sana dan menghembuskan napas kasar. Tak lama, lift terb
“Hallo, Ma. Ini Oliv. Ma, tenangin pikiran Mama dulu. Nick akan menjelaskan semuanya di rumah, okay.”‘Cepat balik. Bawa Nick ke rumah!’ ucap mama Nick sebelum mematikan telepon dari sana. Oliv terdiam, dia menghela napas pelan dan memberikan ponselnya kembali ke pria yang berada di sampingnya itu. “Kamu harus menjelaskan dengan benar. Jangan ditutupi.”Nick hanya diam. Setelah sampai di kediaman rumah Nick. Mereka segera masuk ke dalam sana. Dan ya, benar sana mama Nick mendekat ke arah mereka. Satu tamparan keras mengenai pipi Nick. Mulut Oliv spontan ditutup karena shock. “Bilang sama Mama, kalau berita itu tidak benar, Nick!”Nick nampak memalingkan wajah dan hanya diam di tempat. Oliv tidak bisa diam, dia harus bicara yang sebenarnya. “Ma–”“Stop, bicara, Oliv. Ini salah Nick, harusnya dia yang menjelaskan apa yang terjadi sama dia.”Oliv terdiam sejenak dan menghela napas pelan. Dia menoleh ke samping sambil memegang lengan pria itu. “Nick?”Nick mendongakkan kepala, tangan
Oliv membuka mata perlahan. Dia memincingkan matanya karena pancaran sinar matahari mengenai matanya. “Jam berapa ini?” gumamnya. Ia melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Perempuan itu menguap pelan dan baru menyadari posisinya sekarang berada di dekapan pria yang masih tidur itu. Kening Oliv mengkerut, dia terus memandangi wajah tampan pria tersebut. Sangat damai, seakan tidak ada satupun permasalahan yang dipikirkan saat ini. “Lebih baik dia seperti ini daripada seperti kemarin. Aku nggak tega kalau lihatnya,” gumamnya.Oliv melihat ke tangan pria itu yang masih stay memeluk tubuh kecilnya. Senyuman kecil lolos keluar dari mulutnya. “Pantas saja hangat,” gumamnya. “Tapi, nggak mungkin juga aku mengganggu dia bangun.”Oliv menatap pria itu kembali. Dengan perlahan, perempuan itu melepaskan pelukan pria itu. “Jangan pergi, temani saya,” ucap pria itu lirih. Perempuan itu sempat diam dan menatap pria itu yang ternyata masih tidur. “Aku di sini. Kamu lanjutkan ti
“Nick?”“Heumm?”“Kita mau ke mana? Bukannya ke kantor?” tanya Oliv memastikan. Dia menoleh ke samping.“Kan saya bilang ke suatu tempat.”“Nggak ke kantor?”“Lupakan masalah kantor, saya sudah menyuruh seseorang menhandle kantor saya.”“Terus? Kenapa kamu nyuruh aku pakai pakaian rapi kayak gini?”“Apa kamu tidak suka?”Oliv terdiam sejenak, kemudian menghela napas pelan. “Humm, sekali lagi aku tanya ke kamu. Kita mau ke mana?”Nick tidak menjawabnya. Alhasil, Oliv menyerah untuk bertanya kepada Nick. Dia menyandarkan punggungnya di sofa dengan santainya sembari menatap jalanan yang ramai dengan kendaraan. “Kamu suka film horor kan?”Kening Oliv mengkerut, dia menoleh ke Nick kembali. “Suka, tapi tergantung film-nya sih.”“Berani?”“Berani, mau nonton?”Nick menoleh ke samping, kemudian mengangguk kecil. “Mau temani saya nonton film horor?”Oliv menggembungkan pipinya. Tak mau menolak, akhirnya dia mengangguk kecil. “Boleh, nanti kita lihat jam tayangnya dulu. Nggak mungkin juga kan
“Jangan banyak omong.” ucap pria itu menyuruhnya untuk ke belakang. Oliv melirik ke pria itu sesekali melihat dua pasangan kekasih yang sedang mencari meja makan di sana. “Are you okay?” tanyanya pelan. Nick menoleh ke samping. “Menurutmu? Kamu bawa kacamata hitam? Buat kita ke sana?”Oliv menggelengkan kepala pelan. “Nggak bawa.”Nick menghela napas pelan, sesekali memastikan dua orang tersebut masih berada di sana. “Kita beli terlebih dahulu, habis itu kita ikuti mereka,” ucap pria itu, kemudian menarik lembut tangan Oliv untuk pergi dari tempat itu. Di dalam salah satu toko. Oliv mencari dua kacamata dan juga Nick yang masih mencari topi. “Lama banget sih? Kamu ini nyari topi atau nyari istri lagi?”Pria itu meliriknya dengan datar. “Apa kamu keberatan?” ucap Nick, kemudian menuju ke kasir untuk membayar beberapa barang yang berada di sana. “Kita cari pakaian santai dan sekalian beli sepatu buatmu.”Oliv melirik ke bawah sekilas. “Hmm, yaudah. Aku juga udah nggak betah lagi pa