“Pak, ini biodata gadis itu.” Anda menyerahkan tablet di tangannya ke atas meja. Jicko segera melihat layar menyala itu.
Waktu itu pukul setengah empat sore. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Sinarnya terbelah oleh gedung-gedung pencakar langit ibukota. Sunset yang indah. Warna jingga yang mempesona.
Ruang kerja Jicko ada di pucuk gedung Polux 12. Gedung dengan ketinggian 150 meter. Itu markas besar Linux Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang elektronik dan otomotif. Salah satunya produk mereka yang paling terkenal adalah telepon genggam dengan sistem i-wos dan kendaraan listrik autopilot paling mutakhir.
Selain telepon genggam, Linux Inc.— juga memproduksi alat elektronik seperti laptop, komputer, alat elektronik rumah tangga, termasuk setrika, alat penanak nasi, mesin pencuci pakaian dan apapun itu yang dijalankan secara otomatis. Soal betapa mutakhirnya produk-produk perusahaan Linux, itu tidak perlu diragukan lagi. Mereka juga punya pasar global yang luas. Sampai di luar benua. Jika diadakan sistem rating. Maka nilai untuk produk Linux Inc 100/10.
“Ameera Anastasia. Nama yang bagus.” Jicko mengangguk tipis, tangannya mengurut dagu yang bersih tanpa bulu di sana. “Apa yang paling menarik dari dia?”
“Tidak ada, Pak. Dia perempuan yang introver, mungkin. Di kampus, dia tidak memiliki teman sama sekali. Dan ..., dia hanya hidup dengan kakaknya. Itupun, kakaknya sakit-sakitan. Sekarang ada di rumah sakit, menunggu operasi besar.”
Jicko menghela napas tipis, “Orang tuanya?”
“Ibunya meninggal saat dia dilahirkan, lalu ayahnya meninggal setahun yang lalu.”
“Pendidikannya?”
“Saat ini dia sedang menempuh ilmu kedokteran spesialis. Tetapi karena tidak ada biaya untuk membayar semua uang kuliah, terpaksa dia harus mengambil cuti. Orang yang membiayai pendidikannya adalah kakaknya.”
“Rupanya dia sudah jadi beban.” Jicko bergumam pelan.
“Ehm ..., ada lagi, Pak. Beliau ini yang menolong Nyonya. Dia perempuan yang ramah dan baik, itu yang membuat Nyonya menyukainya.” Anda menambahkan penjelasannya.
“Oh, itu yang membuatnya spesial di mata Mama.”
“Jadi, bagaimana, Pak? Apakah Bapak akan menemuinya?” Anda bertanya pelan. Takut dan ragu saat melontarkan kalimat itu. Seperti biasa, dia berdiri gugup di depan meja kerja sang bos besar.
“Tentu aku akan menemuinya. Katakan kepada perempuan itu untuk menungguku lima belas menit sebelum pertemuan nanti malam.”
“Baik, Pak!” Anda mengangguk takzim.
Kemudian pria itu meninggalkan ruangan sang atasan. Pintu ruang kerja itu tertutup rapat lagi. Jicko menyandarkan punggungnya di kursi kerja. Tangan kanan melonggarkan dasi yang mencekik di leher. Sekali dia mengembuskan napas sengal. Pandangan matanya menatap langit-langit ruangan.
Sebenarnya Jicko adalah seorang metroseksual sekaligus seorang aseksual. Dia tidak tertarik pada lawan jenis sama sekali bahkan terhadap yang sejenis. Hidupnya hanya didedikasikan untuk pekerjaan dan penampilan.
Dulu sekali dia memang pernah berhubungan intim dengan perempuan. Sekitar 11 atau 12 tahun yang lalu. Saat itu dia masih remaja SMA. Itu adalah pengalaman pertamanya. Kemudian ketika dia melanjutkan pendidikannya di Inggris, Jicko mulai merubah sifatnya. Salah satunya adalah tidak mau menikah. Ingin hidup bebas. Bahkan jika dia ingin memiliki anak sebagai penerusnya, dia bisa menyewa rahim perempuan manapun untuk melahirkan bayi untuknya.
Itu yang sejak setahun lalu Jicko tegaskan kepada Maria. Demi Tuhan, menikah itu bukan keharusan. Dia benci terikat dalam sebuah tali pernikahan. Orang-orang barat di luar sana terbiasa dengan hal ini, bahkan tidak mempermasalahkannya sama sekali. Contohnya pemain bola terkenal itu. Dia telah memiliki anak dari sang kekasih, tetapi sampai detik ini belum menikah sama sekali. Itu artinya bagi mereka menikah bukanlah satu-satunya cara untuk bisa menjalin sebuah hubungan. Bantah Jicko jika dia salah.
Jicko melamun sesaat. Pikirannya terbawa jauh kembali ke tempat di mana pertama kali bagi dirinya mengenal dunia bebas. Namun sesaat berikutnya, lamunan itu buyar ketika panggilan masuk berdering keras di layar telepon. Mama. Dia yang menelpon.
“Ada apa, Ma?” tanya Jicko langsung ke intinya. Enggan pemuda itu bertele-tele saat berbicara.
“Jadi kan nemuin Ameera?”
“Iya, aku usahain.”
“Kapan?”
“Malam ini, kalau tidak ada halangan.”
“Ahhh, akhirnya. Makasih sayangnya Mama.” Maria terkekeh dari balik layar telepon. Jicko masih mendengar suara itu.
“Mama kayaknya happy banget aku nemuin dia?” Jicko mengalihkan percakapan berikutnya. Panggilan telepon itu masih berlangsung.
“Kamu bisa rasain apa yang Mama rasain, Nak. Mama itu berharap ini langkah awal kamu buat deket sama dia. Ameera itu selain anaknya baik, dia cantik, juga ramah. Mama bakal happy dunia akhirat kalau kamu nikah sama dia. Mama harap dia yang terakhir buat kamu. Karena Mama nggak tahu lagi, siapa yang harus Mama kenalin ke kamu berikutnya.”
“Ya, semoga aja sesuai harapan Mama.” Jicko mendelik tak senang. Terlalu berlebihan. Memangnya sehebat dan sebaik apa gadis itu, sampai-sampai Mamanya terlalu kepincut dengan yang namanya Ameera.
Jicko menatap layar tablet di atas meja. Layar gawai itu masih menampilkan gambar biodata Ameera, lengkap dengan fotonya dan di mana dia studi. Kalau dilihat-lihat, gadis itu memang cantik. Dia cocok juga dengan pendidikan kedokteran yang ditempuhnya. Usianya masih ideal, 24 tahun. Termasuk usia produktif.
“Mama tunggu kabar baiknya, ya. Jangan lupa, bikin first impression yang baik ke dia. Biar kalian nyambung. Jangan kaku-kaku amat pas ngomong. Dibawa santai aja.” Maria menambahkan ucapannya.
Jicko mengangguk pelan. Detik berikutnya, panggilan telepon itu terputus. Mama yang mengakhirinya. Jicko meletakkan telepon di atas meja dengan posisi terbalik.
••••
“Aku Jicko.” Pria itu menarik kursi tempatnya duduk. Di depannya sudah ada perempuan yang dimaksud Mamanya. Dia Ameera.
Sesuai perintah Jicko, mereka akan bertemu di ruang privat restoran hotel. Selain karena dia terbiasa bicara di tempat tertutup dengan lawan bicara, Jicko juga paling tidak suka diusik atau terganggu oleh orang-orang di tempat umum.
Ameera menyampingkan anak rambut di telinga kanan. Senyum kecil terukir. Lima belas menit lalu dia telah tiba di sini, sesuai perintah Anda. Pukul 7;45 malam. Mau bagaimanapun, yang ditemuinya kali ini adalah pembesar perusahaan. Sejujurnya, Ameera tidak mau menemui Jicko. Namun karena desakan Maria, mau tidak mau dia harus melakukannya. Ameera perlu balas budi. Dia harus ingat itu.
“Aku Ameera.” Giliran gadis itu yang memperkenalkan dirinya kepada lawan bicara. Jicko telah sempurna duduk di kursinya. Sedangkan hidangan pembuka atau appetizers telah tersedia di atas meja sejak tadi.
“Kita langsung saja ke percakapan utamanya,” Jicko menatap Ameera lekat-lekat, “Aku tahu kalau Mamaku meminta kamu untuk menikah denganku. Aku mengiakan permintaan Mama, tetapi aku benci pada pernikahan. Kedatanganku sekarang ke sini ingin meminta pendapatmu, apa yang seharusnya aku lakukan supaya kita tidak menikah?”
Ameera terdiam. Sekali dia meneguk ludah tercekat di tenggorokan. Ucapan Jicko tadi sedikit banyak membuat Ameera terkejut bukan main. Dia tidak mau menikah, katanya. Lantas, kenapa dia harus datang ke sini?
“Aku tidak tahu harus menjawab apa.”
“Jawab saja sesuai apa yang ada dipikiran kamu!” Jicko menyahut cepat.
Pria itu memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak. Tangannya merapikan setelan jas hitam yang dipakai malam itu. Sepulangnya dari kantor, dia langsung ke restoran hotel. Ameera memalingkan wajahnya. Muka gadis itu merah dan tegang. Dia menghela napas pelan sesaat.
“Aku perlu persetujuan Mama untuk urusan ini.”
Tahun berlalu lagi. Usia Jeano makin bertambah. Tak terasa. Anak itu sudah tumbuh jadi pemuda agak dewasa. Dengan perawakan tinggi jangkung, macam bapaknya. Tingginya hampir dua meter, jika saja ditambah empat centi lagi. Ngomong-ngomong, Mama sudah bekerja di rumah sakit. Dia sudah jadi dokter, lho. Dokter bedah jantung paling masyhur di rumah sakit tempatnya bekerja. Sekali Jeano ke sana. Ehm ..., orang-orang sangat menghormati beliau. Bahkan Mama sudah dapat gelar profesor dari universitas kenamaan Inggris atas prestasi hebatnya. Kalau Papa ....? Ah, dia selalu sibuk akhir-akhir ini. Apalagi dalam dua pekan terakhir. Dia sibuk sekali. Papa jadi penyokong terbesar dalam penyelanggaraan Asian games yang diselenggarakan di kota kami. Perusahaan Linux automobiles, Linux Star-X dan Linux mobile-nya jadi sponsor utama. Logo roket, mobil dan telepon seluler milik perusahaan Papa paling menonjol dari semua sponsor resmi. Eh, tapi Jeano patut bangga. Masalahnya, bukan karena Papa saj
Lima tahun berlalu. Jeano sudah besar. Tingginya kira-kira 140 cm. Cukup tinggi untuk ukuran bocah enam tahun. Kecuali temannya yang bisa menyaingi tinggi anak itu. Si Sultan, anaknya Om Gabriel. Jeano mengayuh sepeda. Mempercepat laju sepeda, tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Hendak melaporkan sesuatu pada sang Papa. “Papa, Jeano berantem hari ini,” kata anak itu. Tanpa ada rasa bersalah. Seolah dia sedang menyombongkan diri bahwa dia jago berkelahi. Papa menoleh ke arahnya. Waktu itu Papa sedang ada di garasi mobil. “Berantem sama siapa?” tanya Papa. Dahinya mengerut. Agak penasaran. “Sama Beryl.” “Berantem kenapa?” tanya Papa lagi. Dia tidak khawatir pada anaknya. Sebab anak itu tidak kenapa-kenapa. Tidak ada memar. Yang dikhawatirkannya adalah si Beryl, teman sepermainannya di dalam komplek perumahan ini. “Dia bawa sepeda Jeano. Ya Jeano pukul dia. Jeano tinju perutnya. Dia nangis.” Anak itu memberitahu. Ketika mendengar penuturan itu, darah di dalam diri Jicko mendidih r
Setahun berlalu. “Mama enggak ikut?” Jicko bertanya. Pagi itu anaknya dan menantu mau pergi keluar. Mengajak si kecil jalan-jalan. Umurnya sudah setahun. Sudah bisa diajak ke mana-mana. Dalam gendongan sang Papa. Sudah rapi. Wangi pula. “Enggak. Kalian aja. Mama enggak bisa pergi hari ini. Tante kamu mau ke sini hari ini. Kasihan dia, sudah jauh-jauh terbang dari Amerika sana tapi enggak ada yang nyambut.” “Yah. Padahal seru kalau Mama ikut.” Ameera menyahut. “Ini waktu kalian, sayang. Mama enggak mau ganggu.” “Mama beneran enggak bisa ikut?” tanya Jicko lagi. Memastikan. Mama cepat menggeleng. Mama benar-benar tidak bisa pergi. Mama harus menjamu Tante yang akan tiba siang ini.”“Ya sudah deh. Kalau gitu, Jicko berangkat ya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Jicko. Biar kami bisa pulang kalau Mama butuh bantuan.”“Hush. Ada bibi. Mana mungkin Mama kenapa-kenapa. Berangkat sana, nanti kesiangan.” Maria mengusir halus. Menantu dan anaknya langsung bergegas. Mobil sudah sia
Hari Rabu tiba. Begitu masuk ke kantor, Jicko langsung diberondongi banyak dokumen. Tya dan Anda menghadap ke meja kerja bos besar mengingatkan kalau hari ini rapat penting akan diadakan. Ia berjanji begitu dua pekan lalu, sebelum ambil cuti. “Semuanya sudah siap, Pak. Mau ke sana langsung?” Tya memberitahu. Jicko melirik dokumen di depan mukanya sebentar, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Berdiri, mendorong kursi kerja ke belakang. “Semua jajaran direksi sudah tiba di ruang rapat?” tanya Jicko. Dua sekretarisnya mengikuti langkah orang itu. Mereka sudah berjalan menuju ke lift, turun ke satu lantai di bagian bawah ruangan kerja Jicko. “Sudah, Pak. Semua sudah datang. Tinggal menunggu Anda lagi.” Tya menjawab pertama. Pintu lift terbuka. Beberapa karyawan menyapa ramah di lorong menuju ruangan rapat. Beberapa lagi menuntun menuju ke tempat besar itu. “Silakan, Pak,” kata karyawan. Tangan membuka pintu untuk sang bos besar. Beberapa petinggi perusahaan berdiri begitu meli
Pagi ini, cuaca mendung. Angin bertiup kencang. Baju yang dikenakan Ameera dan Jicko berkibar-kibar. Awan hitam menutupi langit di atas pemakaman Beverly hills county. Ameera duduk di depan pemakaman Gino yang sudah dicor beton. Sedangkan Jicko memayungi sang istri. Diletakkannya buket bunga di sana. Mereka hari ini berkunjung. Sesuai permintaan Ameera beberapa hari lalu pada Maria. Sehingga ketika dia mendapatkan waktu untuk berkunjung, anaknya akan diasuh oleh sang mertua. “Kak. Aku dateng hari ini. Aku berkunjung ke tempat kakak. Sekalian berkunjung ke pemakaman ayah dan ibu.” Ameera bergumam pelan. Memberitahu, maksudnya. Hujan rintik-rintik mulai luruh. Airnya tumpah di atas badan Jicko dan Ameera sebatas pinggang. Angin kian bertiup kencang. “Seminggu lalu aku sudah lahiran. Laki-laki. Anakku laki-laki. Dia sehat sekarang. Maaf kalau aku dateng enggak bawa dia ke sini. Karena dia belum bisa diajak bepergian. Tapi nanti kalau dia sudah sudah bisa jalan, aku bakal bawa dia k
Waktu melahirkan sudah tiba. Ameera dalam kondisi bersiapnya. Dokter yang membantu telah siaga. Malam ini pukul satu. Jam melahirkan yang sangat menyebalkan. Udara juga dingin, menusuk pori-pori. Jicko menemani istrinya di ruang bersalin. “Tarik napas dalam-dalam, hembuskan. Tarik lagi, hembus lagi. Lalu dorong. Dorong Bu, sekuat tenaga.” Dokter memberi aba-aba dan arahan. Ameera menuruti perintah sang dokter. Ditariknya napas dalam-dalam. Bahkan sampai penuh rasanya paru-paru. Peluh membanjiri badan. Rasanya tak menyenangkan sama sekali dalam kondisi ini. Rambut juga terasa lepek. Bak orang keramas ulah keringat yang bercucuran. “Tarik napas lagi, Bu. Lebih dalam. Lalu hembuskan. Yak ..., dorong kuat.” Dokter kembali mengintruksi. Ameera masih mengikuti apa perintah dokter melahirkan itu. Jicko memegang erat tangan istrinya. Tidak dilepaskan. Dia penyemangat di sana. Muka pria itu sesekali terlihat tegang. Ini sesuatu yang baru baginya. Menyaksikan perempuan melahirkan. Sekaligu
Hari-hari berlalu. Semuanya mulai terlupakan. Mulai direlakan. Ameera juga sudah keluar dari zona sedih. Hidup masih berlanjut. Masih ada hari esok. Jadi tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan. Perlu diingat, dia masih punya keluarga yang harus diperhatikan. Ada suaminya. Ada Mama mertua. Ada calon anak yang harus diurus. Buat apa dia memendam semua itu? Tidak ada gunanya. Itu tidak akan membuat Gino bangkit dari kubur. Sebaliknya, lebih baik fokus pada hari ini dan kedepannya. Itu prinsip Ameera saat ini. Sekarang pukul sembilan. Jicko baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Memeriksa dokumen peluncuran produksi mobil listrik keluaran terbaru. Seharusnya hari ini rapat tinggi tingkat direksi. Namun Jicko meminta semua itu ditunda. Lagian, dia bosnya. Mau apa mereka kalau Jicko menolak atau membatalkan rapat penting. Dia sesuka hati bisa melakukan apapun pada perusahaannya. Jika tidak senang, bisa angkat kaki dari Linux Inc. Mudah bukan? Mengganti CEO, CFO bahkan sampai jajaran
Masih di hari yang sama. Waktu berpindah setengah jam berikutnya. Di kamar Jicko dan Ameera. “Ra, aku tahu kamu butuh waktu sendiri. Tapi mau bagaimanapun, aku sebagai suami, enggak bakal biarin kamu sendirian, Ra. Aku enggak bakal biarin itu terjadi.” Jicko berkata tegas. Ameera mengulum senyum. Dia mengiakan kata-kata suaminya. Ameera berdiri dari duduknya di pinggir ranjang tidur. Melangkah mendekati Jicko, lantas memeluknya. Jicko bersiap. Langsung dibelainya rambut sang istri. Pelukan itu hangat. Ameera sempat menangis lagi, dalam diam. Tetapi dia berhasil mereda segalanya. Jicko kemudian teringat ucapan ibunya satu jam lalu. “Tolong jangan ceritain kisah ini ke Ameera,” kata Maria waktu mereka berbincang di gazebo taman pemakaman. Jicko mengangguk. Dia akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Jicko bertanya-tanya, kenapa Mama melakukan semua ini. Namun yang pasti, Mama hanya mengatakan bahwa ini semua demi Ameera. Dia tidak mau membuat anak itu sakit hati atas apa yang terja
“Biarkan Ameera di sana sebentar. Kamu ikut Mama. Ada yang mau bilang sama kamu.” Maria berkata pada anaknya. Jicko menurut. Diikuti langkah kaki sang ibu. Meninggalkan Ameera yang masih terisak pilu di depan pusara sang kakak. Di samping tempat peristirahatan terakhir ibunya dan sang ayah. Mereka telah beristirahat dengan damai, menemui Tuhan di akhirat sana. Berkumpul di tempat yang sama. Maria membawa Jicko ke gubuk beton (gazebo pemakaman) di pekuburan Beverly Hills county. Di sana mereka hanya berdua, bicara empat mata. Face to face. Jaraknya puluhan meter dari liang lahat Gino. “Mama mau bilang apa?” Jicko bertanya begitu mereka sampai di gazebo marmer putih itu. “Rahasia yang puluhan tahun Mama sembunyikan dari kamu.” Maria menjawab santai. Tapi jelas bahwa Maria tidak terlihat tenang saat itu. Waktu itu mereka memakai baju serba hitam. Jicko dengan setelan jas dan kemeja hitam, sedangkan Ameera dan sang Mama memakai dress dengan payet mengilap. Khas orang-orang yang perg