Anda berdiri gugup di depan meja kerja sang bos besar, wajahnya sesekali memerhatikan wajah tegang di depannya itu. Pagi ini Anda hendak melaporkan satu hal penting dari Nyonya yang harus segera disampaikan kepada Jicko—bosnya yang merupakan kepala perusahaan Linux Inc.
“Pak, pesan dari Nyonya!” Anda menyodorkan telepon genggamnya ke atas meja.
Jicko menatap melotot, tak senang dengan berita yang datang pagi itu. Masalahnya, pesan yang disampaikan oleh Anda si orang penting dalam pekerjaannya itu sama seperti pesan-pesan yang kemarin. Tak ada bedanya.
“Apalagi kali ini?” tanya Jicko. Nada bicaranya sedikit agak ketus. Seperti biasa, Anda takkan kesal kalau dijawab dengan nada bicara seperti itu. Sebab Jicko memang terbiasa bicara agak dingin dan sedikit kasar. Anda memahami karakter utamanya.
“Nyonya minta Bapak datang ke acara makan malam di hotel four season bersama Bu Ameera.”
“Cuma itu?” Jicko bertanya lagi. Sang lawan bicara mengangguk.
“Semuanya sudah disiapkan oleh Nyonya. Bapak cuma tinggal datang saja.” Anda menambahkan ucapannya. Sekali Anda menelan ludah tak sedap. Jauh sebelum membicarakan masalah ini, degup jantung sang sekretaris sudah bergetar tergugu resah sejak tadi.
Jicko mengalihkan pandangannya, meninggalkan sejenak pekerjaan menumpuk di atas meja. Mata pria itu menatap Anda, punggungnya bersandar di sandaran kursi kerja. Satu tangannya merenggangkan dasi hitam yang melilit di leher. Pagi itu pukul sepuluh. Cuaca amat cerah. Awan tersingkap. Langit biru berpendar elok di cakrawala kota.
“Katakan pada Mama aku tak akan datang ke sana. Perusahaan sedang sibuk. Jadi tidak ada waktu untuk meladeni pertemuan makan malam yang tidak penting!” Jicko menegaskan. Sekali lagi dia memberitahu Anda untuk melaporkan alasannya itu. Alasan yang serupa yang pernah dikatakannya ketika menolak makan siang bersama anak gadis teman arisan ibunya.
Siapa itu namanya. Jicko lupa. Pekan lalu kalau tidak salah rencana itu dibuat Maria, ibunya. Beliau menyiapkan rencana makan siang bersama gadis anak dari teman arisannya. Dia cantik, kata Anda. Sekretaris nomor duanya ini pernah melihat sekali. Dia tampil di teve. Jadi kontestan Miss Indonesia. Dia lulusan cumlaude di universitas terbaik di Australia.
Peduli amat dengan semua itu. Jicko tidak mau berurusan dengan masalah percintaan. Baginya hal itu hanya membuat kepala pusing saja. Dia juga tidak punya waktu untuk bagian tersebut. Tak ada yang menarik. Itu yang kemarin. Belum yang hari ini. Siapa lagi kali ini perempuan yang hendak ibunya suruh diajak kencan buta.
“Baik, Pak. Akan segera aku laporkan kepada Nyonya.” Anda mengangguk, sedikit badannya membungkuk, sebelum akhirnya meninggalkan ruangan kerja sang bos besar. Anak eksekutif, petinggi perusahaan.
Pintu ruangan besar Jicko tertutup kembali, kini hanya menyisakan dia sendiri. Seperti biasa, Jicko suka pada keheningan tanpa adanya gangguan dari orang lain. Menyoal apa yang disampaikan oleh Anda barusan, ini bukanlah yang pertama baginya. Tetapi sudah kesekian kalinya.
Maria selalu memaksa Jicko untuk segera memiliki pacar atau calon istri, paling tidaknya begitu. Karena usia Jicko yang sekarang sudah dua puluh sembilan tahun, telah sepatutnya memiliki istri, membangun rumah tangga dan tentu saja memberikan Maria seorang cucu. Namun apa yang Jicko lakukan selama hidup menjadi orang dewasa saat ini? Tidak ada!
Maria, ibunya itu bisa membuat pernyataan rinci, sumbangsih apa yang telah Jicko berikan kepada sang ibu selama ini. Selama Jicko sudah bisa berpikir rasional dan secara luas. Belum ada! Yang bisa Jicko lakukan adalah memberikan kebahagiaan sementara saja. Seperti menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang tua dengan berani ambil tanggung jawab mengelola bisnis keluarga.
Atau mentok-mentok, Jicko hanya bisa memberikan kebahagiaan berbentuk perhatian kecil. Patuh dan berbakti kepada orang tua. Itu saja. Tak ada yang lain. Untuk memenuhi keinginan Maria supaya anak itu segera menikah, mohon maaf saja, Jicko tidak akan mempertimbangkannya sama sekali. Menikah baginya hanyalah sebuah jebakan semata. Tidak ada spesialnya sama sekali.
Telepon genggam yang Jicko letakan di atas meja berdering. Jicko meraihnya. Sesaat sebelum menjawab panggilan telepon itu dia sempat terdiam. Ibunya menelpon lagi. Rupanya perintah untuk melaporkan keputusan untuk tidak datang dalam acara yang dibuatnya telah disampaikan oleh Anda.
Baiklah, baiklah. Jicko tak bisa mengelak lagi kali ini. Percuma membuat seribu alasan, karena ujung dari acara menghindari desakan sang ibu malah menjadi debat semata. Jicko paham betul akhir dari drama Maria selama ini.
“Halo, Ma. Ada apa?”
“Alasan apalagi yang kamu buat kali ini, Jicko! Kenapa kamu selalu begitu!” Suara Maria meninggi.
Jicko tersenyum getir. Dia merasakan apa yang hendak diluapkan oleh ibunya. Perasaan kecewa.
“Ma, Maaf!”
“Maaf tidak akan bisa mengobati luka hati seorang ibu, Jicko!” Percakapan terjeda sejenak, “Mama nggak minta muluk-muluk sama kamu. Mama cuma minta kamu cepat menikah, itu saja. Usia kamu sudah 29. Kamu sudah lebih dari dewasa. Di saat teman-teman Mama yang anak-anaknya sudah memberikan mereka cucu, Mama sendiri cuma bisa gigit jari. Nyuruh kamu cepat menikah rasanya susah betul. Demi Tuhan, kamu itu maunya apa, Jicko? Semua perempuan yang Mama kenalin ke kamu, semuanya ditolak.”
“Mama kasih A, kamu tolak. Mama kasih B, kamu tolak juga. Kamu sebenarnya masih normal, kan? Kamu masih bisa kan jadi harapan Mama buat kasih Mama seorang cucu. Kamu bisa melakukan semuanya itu kan, Jicko? Atau kamu sebenarnya mau melihat Mama mati tanpa melihat kamu menikah dan punya anak dulu. Begitu kan yang kamu mau?”
“Ma!” Jicko memotong percakapan panjang ibunya, “Tolong jangan bicara begitu!”
“Terus Mama harus bicara bagaimana? Apa Mama harus bilang, ‘OH ANAKKU, KAMU TAK PERLU TERBURU-BURU MENIKAH. MAMA NGGAK BUTUH CUCU. MAMA CUMA MAU LIHAT KAMU SEHAT SAJA ITU SUDAH CUKUP BUAT MAMA.’ Apa itu yang kamu inginkan keluar dari mulut Mama?”
“Memangnya penting sekali kah cucu bagi Mama?” Jicko merespon, tetapi ucapannya mengalihkan topik pembicaraan.
“Usia Mama sudah 54 tahun, Jicko. Usia seperti ini, Mama sudah lebih dari tua. Umur Mama sudah setengah Abad. Bagi Mama punya cucu itu bukan cuma penting, tapi juga bermakna. Mama cuma mau itu. Mama cuma mau lihat kamu menikah. Membangun rumah tangga. Terus masa tua Mama ada bahagianya dengan melihat kamu menggendong anak kamu, Jicko. Tidak banyak permintaan Mama.”
“Kalau alasan Mama seperti itu, Mama tinggal bilang mau cucu berapa. Aku akan memberikannya untuk Mama!” Nada bicara Jicko mulai santai. Dia tidak akan marah-marah atau meninggikan suaranya kali ini. Dia ingin tahu, sejauh mana ibunya ini punya kemauan.
“Kamu beneran mau mengabulkan permintaan Mama?”
“Selagi aku mampu!” Jicko mengangguk takzim.
“Mama mau dua cucu.” Suara Maria di balik layar gawai terdengar agak riang. Nampaknya Jicko berhasil membuat perempuan itu menurunkan tensi amarahnya yang menggebu-gebu nan membara.
“Cuma segitu?” tanya Jicko. Maria cepat-cepat menyahut.
“Kalau bisa, semampu kamu saja, Nak.”
“Aku akan kabulkan permintaan Mama yang satu ini. Tapi tidak dengan menikah!”
“Apa?!”
TUT!
Jicko menutup panggilan telepon secara sepihak. Maka saat itu, percakapan keduanya berakhir dengan Jicko yang memutuskan bahwa dia akan mengabulkan permohonan Maria untuk memiliki cucu.
Tahun berlalu lagi. Usia Jeano makin bertambah. Tak terasa. Anak itu sudah tumbuh jadi pemuda agak dewasa. Dengan perawakan tinggi jangkung, macam bapaknya. Tingginya hampir dua meter, jika saja ditambah empat centi lagi. Ngomong-ngomong, Mama sudah bekerja di rumah sakit. Dia sudah jadi dokter, lho. Dokter bedah jantung paling masyhur di rumah sakit tempatnya bekerja. Sekali Jeano ke sana. Ehm ..., orang-orang sangat menghormati beliau. Bahkan Mama sudah dapat gelar profesor dari universitas kenamaan Inggris atas prestasi hebatnya. Kalau Papa ....? Ah, dia selalu sibuk akhir-akhir ini. Apalagi dalam dua pekan terakhir. Dia sibuk sekali. Papa jadi penyokong terbesar dalam penyelanggaraan Asian games yang diselenggarakan di kota kami. Perusahaan Linux automobiles, Linux Star-X dan Linux mobile-nya jadi sponsor utama. Logo roket, mobil dan telepon seluler milik perusahaan Papa paling menonjol dari semua sponsor resmi. Eh, tapi Jeano patut bangga. Masalahnya, bukan karena Papa saj
Lima tahun berlalu. Jeano sudah besar. Tingginya kira-kira 140 cm. Cukup tinggi untuk ukuran bocah enam tahun. Kecuali temannya yang bisa menyaingi tinggi anak itu. Si Sultan, anaknya Om Gabriel. Jeano mengayuh sepeda. Mempercepat laju sepeda, tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Hendak melaporkan sesuatu pada sang Papa. “Papa, Jeano berantem hari ini,” kata anak itu. Tanpa ada rasa bersalah. Seolah dia sedang menyombongkan diri bahwa dia jago berkelahi. Papa menoleh ke arahnya. Waktu itu Papa sedang ada di garasi mobil. “Berantem sama siapa?” tanya Papa. Dahinya mengerut. Agak penasaran. “Sama Beryl.” “Berantem kenapa?” tanya Papa lagi. Dia tidak khawatir pada anaknya. Sebab anak itu tidak kenapa-kenapa. Tidak ada memar. Yang dikhawatirkannya adalah si Beryl, teman sepermainannya di dalam komplek perumahan ini. “Dia bawa sepeda Jeano. Ya Jeano pukul dia. Jeano tinju perutnya. Dia nangis.” Anak itu memberitahu. Ketika mendengar penuturan itu, darah di dalam diri Jicko mendidih r
Setahun berlalu. “Mama enggak ikut?” Jicko bertanya. Pagi itu anaknya dan menantu mau pergi keluar. Mengajak si kecil jalan-jalan. Umurnya sudah setahun. Sudah bisa diajak ke mana-mana. Dalam gendongan sang Papa. Sudah rapi. Wangi pula. “Enggak. Kalian aja. Mama enggak bisa pergi hari ini. Tante kamu mau ke sini hari ini. Kasihan dia, sudah jauh-jauh terbang dari Amerika sana tapi enggak ada yang nyambut.” “Yah. Padahal seru kalau Mama ikut.” Ameera menyahut. “Ini waktu kalian, sayang. Mama enggak mau ganggu.” “Mama beneran enggak bisa ikut?” tanya Jicko lagi. Memastikan. Mama cepat menggeleng. Mama benar-benar tidak bisa pergi. Mama harus menjamu Tante yang akan tiba siang ini.”“Ya sudah deh. Kalau gitu, Jicko berangkat ya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Jicko. Biar kami bisa pulang kalau Mama butuh bantuan.”“Hush. Ada bibi. Mana mungkin Mama kenapa-kenapa. Berangkat sana, nanti kesiangan.” Maria mengusir halus. Menantu dan anaknya langsung bergegas. Mobil sudah sia
Hari Rabu tiba. Begitu masuk ke kantor, Jicko langsung diberondongi banyak dokumen. Tya dan Anda menghadap ke meja kerja bos besar mengingatkan kalau hari ini rapat penting akan diadakan. Ia berjanji begitu dua pekan lalu, sebelum ambil cuti. “Semuanya sudah siap, Pak. Mau ke sana langsung?” Tya memberitahu. Jicko melirik dokumen di depan mukanya sebentar, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Berdiri, mendorong kursi kerja ke belakang. “Semua jajaran direksi sudah tiba di ruang rapat?” tanya Jicko. Dua sekretarisnya mengikuti langkah orang itu. Mereka sudah berjalan menuju ke lift, turun ke satu lantai di bagian bawah ruangan kerja Jicko. “Sudah, Pak. Semua sudah datang. Tinggal menunggu Anda lagi.” Tya menjawab pertama. Pintu lift terbuka. Beberapa karyawan menyapa ramah di lorong menuju ruangan rapat. Beberapa lagi menuntun menuju ke tempat besar itu. “Silakan, Pak,” kata karyawan. Tangan membuka pintu untuk sang bos besar. Beberapa petinggi perusahaan berdiri begitu meli
Pagi ini, cuaca mendung. Angin bertiup kencang. Baju yang dikenakan Ameera dan Jicko berkibar-kibar. Awan hitam menutupi langit di atas pemakaman Beverly hills county. Ameera duduk di depan pemakaman Gino yang sudah dicor beton. Sedangkan Jicko memayungi sang istri. Diletakkannya buket bunga di sana. Mereka hari ini berkunjung. Sesuai permintaan Ameera beberapa hari lalu pada Maria. Sehingga ketika dia mendapatkan waktu untuk berkunjung, anaknya akan diasuh oleh sang mertua. “Kak. Aku dateng hari ini. Aku berkunjung ke tempat kakak. Sekalian berkunjung ke pemakaman ayah dan ibu.” Ameera bergumam pelan. Memberitahu, maksudnya. Hujan rintik-rintik mulai luruh. Airnya tumpah di atas badan Jicko dan Ameera sebatas pinggang. Angin kian bertiup kencang. “Seminggu lalu aku sudah lahiran. Laki-laki. Anakku laki-laki. Dia sehat sekarang. Maaf kalau aku dateng enggak bawa dia ke sini. Karena dia belum bisa diajak bepergian. Tapi nanti kalau dia sudah sudah bisa jalan, aku bakal bawa dia k
Waktu melahirkan sudah tiba. Ameera dalam kondisi bersiapnya. Dokter yang membantu telah siaga. Malam ini pukul satu. Jam melahirkan yang sangat menyebalkan. Udara juga dingin, menusuk pori-pori. Jicko menemani istrinya di ruang bersalin. “Tarik napas dalam-dalam, hembuskan. Tarik lagi, hembus lagi. Lalu dorong. Dorong Bu, sekuat tenaga.” Dokter memberi aba-aba dan arahan. Ameera menuruti perintah sang dokter. Ditariknya napas dalam-dalam. Bahkan sampai penuh rasanya paru-paru. Peluh membanjiri badan. Rasanya tak menyenangkan sama sekali dalam kondisi ini. Rambut juga terasa lepek. Bak orang keramas ulah keringat yang bercucuran. “Tarik napas lagi, Bu. Lebih dalam. Lalu hembuskan. Yak ..., dorong kuat.” Dokter kembali mengintruksi. Ameera masih mengikuti apa perintah dokter melahirkan itu. Jicko memegang erat tangan istrinya. Tidak dilepaskan. Dia penyemangat di sana. Muka pria itu sesekali terlihat tegang. Ini sesuatu yang baru baginya. Menyaksikan perempuan melahirkan. Sekaligu
Hari-hari berlalu. Semuanya mulai terlupakan. Mulai direlakan. Ameera juga sudah keluar dari zona sedih. Hidup masih berlanjut. Masih ada hari esok. Jadi tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan. Perlu diingat, dia masih punya keluarga yang harus diperhatikan. Ada suaminya. Ada Mama mertua. Ada calon anak yang harus diurus. Buat apa dia memendam semua itu? Tidak ada gunanya. Itu tidak akan membuat Gino bangkit dari kubur. Sebaliknya, lebih baik fokus pada hari ini dan kedepannya. Itu prinsip Ameera saat ini. Sekarang pukul sembilan. Jicko baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Memeriksa dokumen peluncuran produksi mobil listrik keluaran terbaru. Seharusnya hari ini rapat tinggi tingkat direksi. Namun Jicko meminta semua itu ditunda. Lagian, dia bosnya. Mau apa mereka kalau Jicko menolak atau membatalkan rapat penting. Dia sesuka hati bisa melakukan apapun pada perusahaannya. Jika tidak senang, bisa angkat kaki dari Linux Inc. Mudah bukan? Mengganti CEO, CFO bahkan sampai jajaran
Masih di hari yang sama. Waktu berpindah setengah jam berikutnya. Di kamar Jicko dan Ameera. “Ra, aku tahu kamu butuh waktu sendiri. Tapi mau bagaimanapun, aku sebagai suami, enggak bakal biarin kamu sendirian, Ra. Aku enggak bakal biarin itu terjadi.” Jicko berkata tegas. Ameera mengulum senyum. Dia mengiakan kata-kata suaminya. Ameera berdiri dari duduknya di pinggir ranjang tidur. Melangkah mendekati Jicko, lantas memeluknya. Jicko bersiap. Langsung dibelainya rambut sang istri. Pelukan itu hangat. Ameera sempat menangis lagi, dalam diam. Tetapi dia berhasil mereda segalanya. Jicko kemudian teringat ucapan ibunya satu jam lalu. “Tolong jangan ceritain kisah ini ke Ameera,” kata Maria waktu mereka berbincang di gazebo taman pemakaman. Jicko mengangguk. Dia akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Jicko bertanya-tanya, kenapa Mama melakukan semua ini. Namun yang pasti, Mama hanya mengatakan bahwa ini semua demi Ameera. Dia tidak mau membuat anak itu sakit hati atas apa yang terja
“Biarkan Ameera di sana sebentar. Kamu ikut Mama. Ada yang mau bilang sama kamu.” Maria berkata pada anaknya. Jicko menurut. Diikuti langkah kaki sang ibu. Meninggalkan Ameera yang masih terisak pilu di depan pusara sang kakak. Di samping tempat peristirahatan terakhir ibunya dan sang ayah. Mereka telah beristirahat dengan damai, menemui Tuhan di akhirat sana. Berkumpul di tempat yang sama. Maria membawa Jicko ke gubuk beton (gazebo pemakaman) di pekuburan Beverly Hills county. Di sana mereka hanya berdua, bicara empat mata. Face to face. Jaraknya puluhan meter dari liang lahat Gino. “Mama mau bilang apa?” Jicko bertanya begitu mereka sampai di gazebo marmer putih itu. “Rahasia yang puluhan tahun Mama sembunyikan dari kamu.” Maria menjawab santai. Tapi jelas bahwa Maria tidak terlihat tenang saat itu. Waktu itu mereka memakai baju serba hitam. Jicko dengan setelan jas dan kemeja hitam, sedangkan Ameera dan sang Mama memakai dress dengan payet mengilap. Khas orang-orang yang perg