Share

10. Kekecewaan Huri

 

Elang menarik ujung bibirnya dengan ringan, membentuk senyuman samar, sekaligus tragis. Ia tidak ingin mengingat apapun dari masa lalu Kiya yang kelam. Cukup untuk menjadi rahasia mereka berdua saja. Bahkan Ibunya saja tidak mengetahui cukup baik perihal kehidupan Kiya sebelum bertemu dengannya. Elang menatap istrinya tanpa kata-kata. Pandangannya sekilas memang terasa sedang  emosi, tetapi Elang berusaha mengontrol dirinya. Ia tidak boleh marah pada Kiya. Karena di posisi saat ini, Kiyalah yang paling terluka dan itu karena dirinya dan juga ibunya.

Kiya yang merasa suaminya sedang marah, hanya bisa diam sambil mengepalkan tangannya. Jarang sekali amarah Elang tersulut seperti ini dan dia belum pernah sama sekali dibentak oleh suaminya. Namun baru sehari saja di rumah Huri, Kiya hampir tidak mengenali suaminya. Ia memalingkan wajah, malas bertatapan dengan Elang.

“Aku sudah sering mengingatkanmu, Kiya, jangan pernah singgung masa lalu. Karena kamu sendiri yang menghadirkan kenangan buruk itu lagi. Sayang, bersikap dewasalah. Dengar!” Elang semakin merapatkan duduknya di dekat Kiya. Tangan kanannya merangkul pundak sang istri, lalu memberi kecupan ringan di kepala wanita itu.

“Huri sudah setuju—bahwa jatahnya hanya sehari saja dalam satu minggu. Dia meminta kamis sore sampai jum’at pagi saja. Dia tidak masalah dengan itu. Lalu, kenapa kamu tidak mau berbaik hati pada Huri sedikit saja? satu minggu ada tujuh hari dan kamu kebagian enam hari, sedangkan Huri hanya satu hari saja. Ayolah Kiya, Abang tahu sekali istri Abang ini orang yang sangat baik. Pikirkan ya?”

“Tidak! Pokoknya Abang sudah tidak boleh ke sana lagi. Besok dan seterusnya Abang harus di rumah ini,” ketus Kiya tanpa mau kompromi. Elang hanya bisa menarik napas berat, lalu menghembuskannya dengan kasar. Kiya sangat keras kepala dan dia tidak mau juga marah pada wanita itu. Alasan apa nanti yang harus dia berikan pada Huri, jika ia tidak pernah lagi nongol di rumah gadis itu? ditambah lagi sarat kutukan yang membuatnya tiba-tiba saja merasa mulas. Jika dia bersama Kiya terus, bagaimana bisa ia menggagalkan kutukan itu. Elang ingat sesuatu. Ia berharap dengan hadiah dari Huri, Kiya mau sedikit berubah pikiran.

Elang beranjak dari duduknya. Sedangkan Kiya masih memalingkan wajah menatap kepala ranjang. Tangannya dilipat di dada, tanda ia belum mau berdamai dengan Elang. Seorang Kiya tidak akan goyah terhadap keputusannya.

“Ini, ada titipan dari Huri. Katanya bukan sogokan, hanya hadiah saja karena kamu sudah mau berbaik hati mengijinkan aku untuk menikahinya.” Kotak perhiasan itu diletakkan Elang di atas kasur, tepat di depan Kiya yang duduk memunggunginya. Kiya melirik sekilas, lalu mengambil kotak itu dengan kasar dan …

Brak!

Kiya melemparkan kotak perhiasan itu ke arah pintu kamar dengan kasar. Elang tersentak kaget, sambil menggelengkan kepalanya. Kotak itu terbuka dan barang yang ada di dalamnya berhamburan di lantai. Elang menelan ludah kasar, saat melihat begitu banyak perhiasan yang diberikan Huri untuk Kiya.

 

“Tidak perlu kamu lempar, Sayang. Kata Huri, kalau kamu tidak mau menerima dan merasa tersinggung, berikan perhiasan itu pada orang lain.” Elang berjalan memungut perhiasan yang berhamburan di lantai. Leher Kiya perlahan bergerak pada arah suaminya yang berjongkok mengumpulkan perhiasan yang berserakan.

 

“Aku keluar dulu. Bu Neli dan Bu Usi barangkali mau perhiasan ini. Daripada dibuang ke got, lebih baik dikasih sama tetangga,” sindir Elang lagi, sambil bangun dari posisi jongkoknya. Lelaki itu sudah ikhlas, jika memang perhiasan bags dan mahal ini, dia bagi-bagikan saja ke tetangga, karena pasti Kiya bersikeras tidak mau menerimanya.

 

“Tunggu! Siniin kotaknya!” Kiya merampas kotak beludru itu dari tangan suaminya, lalu membuka tutupnya yang rusak karena ulahnya. Mata Kiya terbelalak, saat mendapati kalung emas, dua cincin emas, gelang tanga, dan juga sepasang anting mutiara. Semua benda berharga ini untuknya. Baik sekali Huri. Lalu, apa dengan begini ia akan goyah memberikan satu hari untuk gadis itu?

 

“Perhiasan ini saya terima, tetapi keputusan saya sudah bulat, Abang tidak boleh kembali ke sana.” Kiya memasang dua cincin pemberian Huri ke dalam jari-jemarinya yang kosong selama setahun ini, karena Elang belum membelikannya perhiasan lagi.  Wanita itu memandang dengan puas jemarinya. Kini, ia sibuk memakai gelang tangan dan juga anting dari Huri. Sepertinya ia mempunya ide lain dan bisa diterapkan pada gadis seperti Huri. Elang beranjak dari kamar. Ia lelah jika harus kembali berdebat dengan Kiya, maka dari itu ia memilih pindah ke ruang depan, untuk mengistirahatkan matanya sejenak. Semalaman tidur di kasur terlalu empuk, membuatnya tidak nyenyak.

 

Sementara itu, Huri memandang tidak semangat ponselnya. Sudah dua hari suaminya tidak ada kabar. Ia ingin menelepon, tetapi khawatir yang mengangkat ponsel Elang malah istrinya. Huri menahan diri untuk sedikit lebih bersabar atas suaminya. Sedang apa dia? Apa dia baik-baik saja? Yah … sebuah pertanyaan sangat sederhana, tetapi ia tidak berani untuk menanyakannya. Gadis itu turun dari ranjang, lalu berjalan dengan malas keluar kamar, untuk mengambil air ke dapur. Sekilas dilihatnya pintu gerbang rumah besarnya, berharap ada suara motor suaminya datang. Namun, ia harus bersabar, karena masih ada besok, tepat hari kamis, jatah suaminya mengunjunginya. Yah … walau lelaki itu mungkin belum menyukainya, tetapi Huri bisa lebih menerima dan belajar menyukai dan mencinta suaminya.

Huri akhirnya  memilih tidur dan bersiap untuk besok sore menyambut kedatangan suaminya. 

 

Sinar matahari pagi sepertinya tengah berpihak padanya. Awal hari dia berolah raga dan sarapan secukupnya. Menjelang pukul semblan pagi, Huri dengan semangat berangkat ke kampus. Untunglah perkuliahan hari ini haya sampai jam satu siang, sehingga ia bisa mampir ke salon untuk mempercantik diri, saat bertemu dengan Elang nanti.

 

Pukul lima sore, Huri sudah duduk di teras sambil memainkan ponselnya. Membagikan foto selfi dirinya yang tengah menikmati teh manis, ke akun media sosial F******k dan juga I*******m. Hatinya sungguh tak sabar menyambut suaminya yang mungkin sebentar lagi akan datang.

 

Puk!

Puk!

 

Hewan serangga mulai menyerang tubuhnya, hingga menimbulkan bentol kemerahan, juga rasa gatal. Huri menunggu kedatangan Elang sampai digigit nyamuk dan azan magrib berkumandang. Bu Rima menatap sedih anak gadisnya yang sedang menunggu kedatangan suami di depan teras, mulai dari langit terang, sampai gelap.

 

“Mungkin Elang sedang ada pekerjaan di tokonya, makanya terlambat datang. Kamu salat Magrib saja dahulu dan jangan lupa siapkan makanan untuk Elang. Nanti saat dia datang, bisa langsung kamu temani makan,” ujar Bu Rima menasehati putrinya. Huri mengangguk patuh. Dengan langkah tidak semangat, Huri naik ke kamarnya untuk melaksanakan salat Magrib. Selesai salat, Huri langsung menata meja makan untuk suaminya. 

 

Jam semakin lambat berputar. Huri menunggu kedatangan Elang sampai terkantuk-kantuk. Makanan pun telah dingin. Bu Rima hanya bisa menahan derai air matanya melihat kesedihan Huri. Ia sepertinya telah salah memilih lelaki untuk anaknya. Karena pada akhirnya, istri kedua tidak akan pernah dimenangkan oleh siapapun, termasuk takdir.

 

Huri menatap ponselnya dengan sedih. Elang tidak datang, juga tidak memberikannya kabar. Seharusnya, jika memang suaminya itu tidak jadi datang, dia dikabari, sehingga tidak menunggu seperti ini. Gadis itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Ia akan menghubungi Elang. Siapa tahu suaminya sakit, sehingga tidak bisa datang.

 

Benda pipih itu ia letakkan di telinga dengan gemetar. Ia takut, tetapi juga penasaran dengan keadaan suaminya. Bahunya merosot, ponsel Elang tidak aktif. Ada air yang menggenang di pelupuk matanya. Dengan jemari bergetar, Huri menghubungi nomor Kiya. Biarlah dia dikatakan lancing, karena dia hanya ingin tahu kabar suaminya.

 

[“Halo, siapa nih?”]

 

[“Halo, Teh. Assalamualaykum. Saya Huri.”]

 

[“Heh? Mau ngapain nelepon saya? Lancang kamu ya? Udah berani kamu sama saya? Hah? Dasar pelakor tidak tahu diri! Kenapa? Kamu mau tahu suami saya sedang apa? Suami saya sedang kelelahan bikin anak dengan saya. Apa perlu saya fotokan pose panas kami berdua agar kamu tahu diri? Tidak perlu kamu tunggu! Karena sampai mati saya tidak akan ijinkan Elang menginjakkan kaki di rumah kamu lagi. Dengar itu pelakor! Dan dia akan segera menceraikan kamu. Ingat itu!”]

 

_Bersambung_

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status