Share

9. Tuduhan Kiya

 

“Abang pasti sudah meniduri Huri?” Kiya masih terisak pedih. Ia memunggungi Elang. Sama sekali enggan untuk melihat wajah suaminya. Hatinya sudah terlanjut terbakar api cemburu.

 

“Itu tidak benar.” 

 

“Oh ya? Mana ada laki-laki yang bisa menahan godaan wanita cantik dan seksi di depannya. Halal pula. Jangan berbohong, Bang,” sergah Kiya masih dengan suaranya yang bergetar. Elang tidak mengeluarkan suara. Ia tahu istrinya pasti saat ini merasakan api cemburu yang membara dan juga sakit hati yang amat dalam. Tangan Elang terulur untuk meraih ujung rambut Kiya, membawanya ke hidungnya. Elang sangat suka aroma sampo yang dipakai oleh istrinya. 

 

“Kamu tuh harus tahu, Kiya—bahwa tidak ada wanita yang lebih cantik, lebih seksi, dan lebih menggoda dari kamu. Saat bersamanya saja, Abang selalu merasa bersalah pada kamu.” Terdengar lebay di telinga Kiya. Wanita itu memutar bola mata jengahnya. Ada apa dengan suaminya yang mendadak melankolis seperti ini? Biasanya Elang tidak jago menggombal. Pasti ini semua gara-gara Huri. Wanita itu pasti sudah membacakan doa pada minuman suaminya, sehingga Elang berubah aneh seperti ini.

 

“Lepaskan aku, Bang! Aku masih marah.” Kiya beranjak dari tempat tidurnya.

 

“Tunggu! Kamu mau ke mana? Abang disuruh datang, tetapi kamu malah marah dan mengamuk. Tahu gitu, Abang langsung ke toko saja tadi. Mana perut lapar. Sial sekali!” wajah Kiya yang merah karena marah, berangsur cerah kembali. Jadi, suaminya tidak mau makan di rumah istri mudanya? Bagus kalau seperti itu. Kiya bergumam senang dalam hati.

“Memangnya Abang belum makan?” tanya Kiya sambil memperhatikan wajah suaminya.

 

“Tentu saja belum, tadi saya kesiangan ke sini karena benerin motor Huri yang mogok saat dia mau ke kampus. Nih, tangan Abang saja belum sempat dicuci, karena terburu-buru ingin cepat sampai di sini. Abang minta maaf kalau Abang terlambat. Gak boleh suusdzon melulu sama suami. Dah, sana, siapin roti mi rebus aja buat sarapan Abang.” Memang tadi dirinya sempat membetulkan motor di tengah jalan, tetapi bukan motor Huri, tetapi motornya sendiri. Sedikit-sedikit, lama kelamaan jadi bukit. Sungguh aku tidak ingin berbohong pada Kiya ataupun Huri, tetapi keadaanya memang sangat sulit buatku. Ya Allah, maafkan hambamu ini,

 

“Iya, Kiya juga minta maaf.” Elang meraih tubuh sang istri ke dalam pelukannya. Untuk beberapa saat, Elang membiarkan hangatnya tubuh Kiya bersatu dengan dingin suhu tubuhnya. Elang mengusap rambut panjang istrinya sambil berbisik, “Abang hanya cinta sama kamu. Kamu harus percaya itu.” Kiya mengangguk, lalu semakin mengeratkan pelukan pada tubuh suaminya.

 

“Masih datang bulan ya? Kapan selesai?” bisik Elang lagi sambil menggoda telinga Kiya. 

 

“Dih, baru juga kemarin. Paling hari kamis baru selesai, Bang.” Kiya menunduk malu. Walau sudah menikah lama, tetap saja wanita itu merasa sungkan dan malu membicarakan hal yang berbau ranjang secara terang-terangan pada suaminya. Yah, bukan hanya obrolan, aktifitas pun ia lakukan dengan malu-malu. Untunglah Elang tidak masalah jika Kiya memang hanya nyaman dengan satu posisi, saat mereka sedang bersama.  

 

Kiya menyiapkan sarapan dengan cepat. Sedangkan Elang membantu Kiya membereskan rumah yang tampak baru seperti terjadi Tsunami lokal. Bahkan elang ikut membantu menyapu rumah dari dapur sampai ke depan, hingga rumah bersih kembali. Kiya menata mi rebus yang telah matang di atas meja, tidak lupa dengan segelas the manis hangat, lalu ia menemani suaminya duduk di meja makan untuk melahap mi rebus buatannya.

 

Nampak tidak terlalu antusias seperti biasanya, tetapi Kiya tidak mempermasalahkan itu. Bisa saja karena sarapan suaminya sudah kesiangan, sehingga jadi tidak berselera. Kiya tidak tahu saja, Elang berusaha mati-matian menelan sarapannya. Ia terpaksa berbohong mengatakan belum sarapan di rumah Huri, padahal dia menambah nasi hingga dua kali saat di sana.

 

“Kenapa, Bang? Udah kesiangan sarapan, jadi tidak berselera ya?” tanya Kiya. Elang menggeleng. “Tidak, Abang hanya merasa sedikit tidak enak tenggorokannya. Abang minta tambahkan air hangat saja,” kilah Elang lagi-lagi berbohong. Kiya beranjak dari kursi, lalu berjalan ke arah dispenser air untuk menambahkan air panas ke dalam gelas suaminya.

 

“Sepertinya Abang di rumah saja deh, tidak perlu ke toko. Pengen bermanja dengan sang istri.” Elang bangun dari duduknya setelah menghabiskan air di dalam gelas. Ia membawa Kiya masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang.

 

“Katakan padaku, Abang sudah tidak akan ke rumah Huri lagi’kan? Cukup menikahinya saja, tanpa perlu tinggal bersama?” wajah Kiya berbinar penuh sharap. Elang menoleh dengan alis yang bertaut. Ia tidak paham dengan ucapan Kiya.

 

“Maksudnya?”

 

“Ish, pura-pura gak tahu!” Kiya mendorong pundak suaminya.

 

“Abang udah gak boleh ke sana lagi. Di sini saja bersamaku. Abang sudah memenuhi maunya Ibu dan sekarang Abang harus memenuhi maunya aku. Aku yang lebih berhak atas Abang. Bukan Huri atau Ibu.” 

 

“Tidak bisa, Kiya. Abang juga sudah bertanggung jawab atas Huri. Dia juga istri Abang.” Elang merasa Kiya mulai terlalu berlebihan. Tidak mungkin sama sekali ia tidak menampakkan diri ke rumah Huri. Apa kata orang nanti? Lagian, gadis itu hanya meminta jatah satu hari. Rasanya ia akan sangat egois dan berdosa jika benar-benar mengabaikan Huri.

 

“Kenapa tidak bisa? Abang sudah mulai jatuh cinta dengannya? Iya? Apa Abang juga sudah menidurinya? Oh … pasti Abang sangat suka dengan rasa Huri. Apalagi dia perawan. Tidak seperti istrimu ini yang kau nikahi dalam keadaan sudah tidak tersegel.”

“Stop, Kiya!” Elang menggertakkan giginya menahan amarah.

 

 

-Bersambung-

  

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Bohong sekali dua kali lama2 jd lancar bohongnha seperti air yg mengalir, dr yg ndak pernah marah2 menjadi sk marah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status