“Nes, ke mana aja kamu?” Suhana itu sepertinya orang yang suka penasaran dan takkan berhenti sampai keingintahuannya mendapat jawaban. Dia mengguncang lengan Nesa tatkala gadis itu terlihat melamun. Nesa mengangkat pandangannya dari lantai. Setelah mencocokkan informasi dari Suhana, dia menarik kesimpulan—Bagus belum sempat pulang semenjak kedatangannya ke rumah Barata waktu itu. Satu memori melintas di kepala, kalimat perintah Barata kepada Romi malam itu terngiang-ngiang di telinga. Air matanya merebak, kekasihnya mengalami kesulitan karena dirinya. Dan amarah serta kebenciannya pada Barata bertambah berkali-kali lipat. “Ke mana kamu buang pacarku, Mas Bara? Belum puaskah kamu merampas kebahagiannya dengan memisahkan kami? Dan kamu sepertinya nggak akan berhenti sampai membuatnya menderita dengan terluntang-lantung di jalanan.” Hati Nesa begitu pedih seiring bait demi bait kesedihan menggedor dari dalam sana. “Oh, Bagus, semoga kamu baik-baik aja.” Tak terasa bibirnya menggumam p
Bulu mata lentik itu berkedip beberapa kali, bergerak dengan lemah seirama gerakan kelopak mata yang dipayunginya. Rasa pening langsung menyergap gadis yang sedang telentang dengan keadaan tak berdaya, menuntun tangannya terangkat ke pelipis untuk memberi sentuhan meredakan di sana. Suara lenguhan keluar dari sela bibirnya yang mungil, dan kesadaran yang tiba-tiba membuatnya menyentakkan punggung ke kepala ranjang. Dia bangkit secara spontan, mengabaikan kondisi sekujur tubuhnya yang terasa seperti remuk oleh sebab diremas tangan-tangan besi.“Mereka berhasil menangkapku!” memori terakhir yang dapat direkam kepalanya sebelum dia menemukan kesadarannya adalah wajah lelaki yang berjarak tak kurang sejengkal dari wajahnya—menyeringai iblis kepadanya.“Sudah berapa lama aku nggak sadarkan diri?” tanyanya pada diri sendiri. Tangannya mengusap tengkuknya berulang kali.Meskipun rasa sakit begitu menggelayut, Nesa memaksa mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ini bukan kamar yang di
Tampang lelaki yang dipanggil Awan itu terlihat kesal saat menoleh pada suara yang menyerukan namanya, yang bergerak semakin dekat padanya dengan pelan, namun pasti. Bibirnya berdecak tak suka sebab kegiatan menyenangkannya diinterupsi. “Harusnya aku curiga waktu kamu mengajukan diri turun ke lapangan, alih-alih menyerahkan tugas sepele itu pada anak buahmu,” kata lelaki tua yang diikuti beberapa orang di belakangnya. Berdiri di depan sang putra dengan tongkat wallker di tangan kanannya, matanya memicing penuh selidik. “Kamu memang pemburu andal, Nak. Tapi kali ini kubur dulu bakatmu yang itu.”Si lelaki tua dengan gaya parlente itu melirik sekilas gadis yang raut mukanya dihiasi ketakutan yang dominan. “Memang kenapa, Ayah?” Awan mendengkus tak senang. “Aku yang menemukannya, maka terserahku mau ku apakan dia.”Bulu kuduk gadis yang menjadi topik pembicaraan bergidik mendengar itu. Kali ini Nesa melafalkan doa dalam hati, semoga Tuhan menolongnya lagi, lolos dari lingkaran setan le
“Mas bos.” Barata yang merebahkan tubuh di atas sofa dengan malas akibat kemelut pikirannya mencari keberadaan Nesa langsung memicingkan mata, melihat Romi menjulang di atasnya dengan benda kotak di tangan lelaki itu.“Paket,” kata Romi sembari menyodorkan benda kotak kecil yang misterius. “Kata satpam dari semalam.”Tanpa minat, Barata menyuruh Romi membukanya. Benda itu tak meyakinkan, dia pun tak merasa memesan sesuatu atau ada laporan pihak yang akan mengirimkan barang padanya. Romi mengambil posisi duduk dan langsung membuka paket di tangannya. Kernyitan dalam muncul di kening Romi saat melihat benda tersembunyi di dalamnya. “Mas ....” Romi menunjukkan benda mungil cantik berwarna silver. “Kurang ajar!” Barata langsung bangkit lantas merebut benda yang sangat dia kenali dari tangan Romi. Bagaimana tak mengenal? Dia sendiri yang memilih dengan teliti benda itu untuk dia pasangkan di jari Nesa pada hari pernikahan mereka. “Siapa yang mencoba memancingku! Sangat pengecut mengguna
Nesa merasakan tubuhnya ingin menciut kecil selaras dengan keberaniannya yang menyusut, ketakutannya meningkat pesat tatkala melihat pintu kamar dibuka dari luar, dan menampilkan tubuh tegap Awan berjalan masuk dengan bibir melengkung sempurna yang kini Nesa tahu apa maksud di balik senyum itu. Tiap derap yang kaki lelaki itu ciptakan saat melangkah pun terdengar seperti membawa bahaya pada tiap entakannya.‘Ya Tuhan, kapan aku akan terbebas dari situasi mengerikan ini. Berada di sini seperti merasakan hawa neraka. Begitu mencekam, begitu menakutkan.’“Selamat malam, Kelinci kecil.” Lelaki itu langsung melintasi kasur, menyisakan jarak hanya beberapa jengkal dari Nesa. Nesa langsung merapatkan punggungnya pada sandaran ranjang dengan degup jantung yang berantakan, seakan jantung itu sangat siap melompat keluar. Dia melihat lelaki di depannya ini laksana predator yang lebih dari siap untuk memangsanya. “Kamu takut padaku?” Sepasang mata predator Awan menelisik ekspresi wajah gadis di
Awan yang sudah berbalik dan siap memberi ganjaran si pengganggu kegiatan menyenangkannya sontak mundur beberapa langkah saat melihat seorang lelaki menyibak jalan di antara beberapa orang berpakaian hitam. Sementara di belakangnya, Nesa tak menyia-nyiakan kesempatan untuk membenahi diri lantas menyampirkan selimut untuk menutupi tubuhnya. Pakaiannya sudah tak berguna setelah dikoyak tangan kurang ajar Awan.“Siapa yang akan kamu buat mati, brengsek!” Orang itu maju dan langsung memukuli Awan dengan tongkat. “Sudah kubilang, aku yang akan menghajarmu lebih dulu sebelum Barata kalau kamu nekat mengganggu istrinya!”“Ayah, kenapa Ayah berada di sini.” Awan mencoba menghalau tiap serangan Wirang, meskipun upayanya tak berarti apa-apa. Tongkat itu tetap mampu mengenainya, menyakitinya. “Dan tolong hentikan ini!”“Berhenti katamu?” Wirang justru semakin menggencarkan pukulannya pada sekitaran betis putranya yang tak bosan membuatnya marah itu. “Kamu yang harus berhenti dengan otak sekalig
Barata tampak memimpin jalan, mengomandoi 20 orang di belakangnya dalam rangka melancarkan serangan kepada si brengsek penculik istrinya. Dia sungguh tak habis pikir, mengapa pria itu tak henti mengusiknya. Mulai dari menyusupkan anak buahnya memeriksa kolam-kolam miliknya lalu beberapa hari setelah itu meracuni ikan-ikannya hingga tak tersisa seekor pun yang hidup, dan sekarang Nesa yang tak tahu menahu menjadi sasaran keusilannya. Apa pria itu pikir, dia tak bisa berlaku kejam kepadanya? Pria bernama Awan itu benar-benar meremehkannya!Waktu sudah menunjukkan tengah malam saat dia dan timnya sampai di kawasan kediaman pribadi Awan. Dengan hati-hati, Barata dan timnya mulai memantau situasi di sekitar rumah yang dibentengi dengan gerbang. Mereka berada di posisi yang strategis, menyembunyikan diri di balik pepohonan. Bahkan, Barata sendiri rela memanjat pohon demi mengawasi keadaan. Ini semua dia lakukan demi istrinya.Sudut bibir Barata tertarik ke atas, meremehkan. Ternyata Awan t
Setelah beberapa menit yang panjang nan sengit, Barata dengan kecerdasan dan keterampilan bertarungnya, akhirnya melihat celah dalam pertahanan Awan. Dengan gerakan cepat dan kuat, dia membuat tubuh Awan terpelanting hingga terjatuh ke tanah.Bug! “Sialan!” Awan meringis saat punggungnya menghantam tanah. Kemudian, langkah Barata yang mengandung aura kemenangan, mendekat pada Awan, menjulang kokoh di atas tatapan sengit pria yang sudah kalah itu.Bibir Barata menyunggingkan senyum kemenangan, menunduk menatap Awan dengan pongah. “Bukankah aku telah membuatmu menyesali keputusanmu menerima tantanganku?” kata Barata dengan puas, pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban.“Brengsek!” Awan mengumpat, masih tak percaya dia menjadi pihak yang terkalahkan. Padahal, dia berpikir, bentuk tubuhnya dan Barata nyaris serupa, sama-sama memiliki tubuh liat, kokoh dan atletis. Dan semestinya kekuatan mereka seimbang. Kemungkinan dia menang bukanlah hal mustahil. Akan tetapi, mengapa ternyata hasilny