“Apa yang bisa kamu lakukan untuk saya, Nes?” Suara berat dengan bahasa formal yang kaku itu menyentak kesadaran Nesa. Sudah pasti lelaki itu persis dengan apa yang digambarkan kepalanya. Dari namanya saja seolah sudah terbaca; Barata—Tua, tambun, jelek dan genit. Jemari Nesa meremas ujung baju kurungnya yang menjuntai hingga atas lutut dengan kuat. Dia dikirim ke rumah besar ini sebagai tebusan utang menggunung bapaknya pada sang tuan tanah. Dia harus kabur dari sini. Dia sudah berbalik dan hendak mengeluarkan jurus seribu langkah, tetapi suara bariton lelaki itu berhasil menghentikannya. “Jika kamu nekat keluar dari rumah ini, maka pintu rumah ini akan selamanya tertutup untuk kamu. Dan kamu tahu apa artinya?” Nesa menelan salivanya susah payah. Apakah ini akhir kegadisannya? Terperangkap ke dalam cangkang si tuan tanah tua?
View MoreBarata yang mendengar kata sakit sebelumnya dari bibir istrinya langsung membalut tubuh polos Nesa dengan selimut. “Kita ke rumah sakit sekarang,” ucapnya yang lantas menggotong tubuh istrinya yang sedang meringis kesakitan keluar kamar.Saat dia melewati ruang tamu, di sana mertuanya yang sedang istirahat di sofa langsung bangkit dengan ekspresi penasaran. Raharja masih belum terbiasa memiliki istri setelah sekian lama menduda. Hal itu membuatnya memilih tidur di sofa daripada di atas kasur nyaman di kamar bersama Ningsih, istri barunya itu. “Nesa ... kenapa dengan Nesa, Nak Bara?” tanyanya dengan cemas. Entah dia sedang membangun branding sebagai sosok ayah sesungguhnya di depan menantu pujaannya atau yang terpancar di wajahnya itu memang murni yang dirasakannya saat ini kala melihat putrinya seperti menahan sakit. “Perut Nesa sakit,” jawab Barata sambil berlalu, kepanikan terbaca jelas dari ekspresinya. Lalu dia menunduk dan berkata, “Sabar, Nes, kita akan segera ke rumah sakit.”
Permen kapas dengan tiba-tiba berada di depan matanya, Nesa menoleh ke belakang untuk melihat siapa gerangan si empu tangan yang menyodorkan gula-gula warna merah muda tersebut. “Makanan manis untuk gadis manis,” kata Barata kala bertemu pandang dengan Nesa. Dia akan menggunakan kesempatan ini untuk menciptakan interaksi hangat di antara mereka dan berharap setelah pulang dari tempat ini, ketegangan di antara mereka sirna.Sesuai waktu yang dijanjikan, malam ini mereka berada di pasar malam. Dika dan Dewi sedang menunggu pesanan jagung bakar setelah puas mencoba beberapa wahana permainan yang tersedia di sana.“Makasih,” ucap Nesa setelah makanan manis itu berpindah ke tangannya.“Kamu bahagia malam ini?” tanya Barata, sambil memasukkan sejumput gula kapas ke mulutnya. Sumpah demi apa pun, seumur-umur baru kali ini dia bertingkah seperti anak kecil. “Aku bahagia karena melihat mereka bahagia,” jawab Nesa, arah pandangannya tertuju pada Dewi dan Dika yang sedang menerima jagung bakar
Bu Ningsih melihat dengan bingung dua sosok di depannya. Apa ada yang salah? Apa upayaku gak membuahkan hasil? batinnya bertanya. Pasalnya, Nesa dan Barata yang baru tiba dari pasar itu terlihat semakin tegang dan dingin. Sambil menurunkan barang belanjaan dari mobil, Nesa sama sekali tidak menatap suaminya yang turut membantu pekerjaannya. Pun, Barata terlihat kaku dari ekspresi mukanya. Apa yang terjadi selama mereka di pasar? pikir Bu Ningsih, dengan segala kebingungannya. “Sini biar Ibu yang bawa ke dalam,” ucap Bu Ningsih, berinisiatif membawakan barang belanjaan dari tangan Nesa. “Gak apa-apa, Bu, biar Nesa saja yang bawa,” tolak Nesa dengan halus sembari melemparkan senyum hangat.Beberapa saat kemudian, Nesa dan Bu Ningsih sudah berada di dapur, mengisi wadah-wadah bumbu dan bahan dapur yang merupakan hasil buruannya dari pasar. “Mbak Nesa.” Dika melintasi ruangan, mendekat ke arahnya. “Mbak Nes, nanti jadi kan ke pasar malam?” tanya adik bungsunya itu, memastikan.Nesa
Nesa langsung tersentak dan reflek menjauh dari Barata kala mendengar suara Dika yang membuat Bara menghela napas berat. Kemudian kepalanya menoleh ke sumber suara dan didapatinya sosok sang adik bungsu di ambang pintu sembari mengucek mata. Tampaknya, Dika tidak melihat atau kemungkinan tidak paham apa yang dilakukan Barata padanya. Itu membuat dia akhirnya bernapas lega. ‘Oh, syukurlah....’“Mbak Nesa, antar Dika ke kamar mandi, boleh? Dika bangunin Mbak Dewi tapi dia gak bergerak sama sekali.” Dika masih dengan wajah polosnya berdiri di ambang pintu. Dugaannya ternyata benar, yang menempati kamar itu adalah kakak sulung beserta suaminya. Dia sempat takut kalau-kalau kamar yang dia satroni adalah tempat bapak dan ibu sambungnya. Sebab, dia masih canggung terhadap Bu Ningsih. Nesa mengangguk pada Dika lalu pandangannya berganti pada Barata. “A-aku antar Dika dulu,” pamitnya dengan terbata lalu bergegas menghampiri Dika yang masih berdiri di tempatnya tadi. Namun, baru tiga langkah
“Ini beneran saya disuruh pulang, Mas bos?” tanya Romi. “Apa saya pernah memberi perintah main-main, Rom?” balas Barata. “Sudah sana pulang, tinggalkan mobil. Nebeng sama ’orangmu’ bisa, kan?” lanjutnya degan mimik tanpa rasa bersalah sambil melempar pandang pada beberapa orang yang duduk di kursi bambu di bawah pohon mangga. Orang-orang yang telah sukses dengan misi mengondisikan Raharja dan menyukseskan akad bapak mertuanya itu. Mereka masih tampak santai menikmati kopi dan kue suguhan Bu Ningsih. Romi mendengkus pasrah. “Iyalah iya. Nasib malang, habis manis sepah dibuang saya,” selorohnya. “Kamu mencibir saya?” Mata Barata memicing. “Mau protes juga?” Romi mendesah pasrah. Mana mungkin dia punya nyali. Gajinya menjadi taruhannya. “Tidak berani, Mas bos. Okelah, saya akan nebeng sama mereka.”Barata tampak puas. “Bagus. Lagi pula, ada tugas yang masih menjadi tanggung jawabmu. Kamu tidak lupa, kan?” selidiknya sambil mencermati ekspresi lawan bicaranya. Romi menggaruk tengkukn
“Loh, ini rumah Pak Trisna, kenapa kita musti ke sini. Apa kamu punya urusan dengannya, Mas Bara?” Nesa heran mengapa mobil yang ditumpanginya justru berhenti di pelataran rumah Pak Trisna, seorang pensiunan polisi di desanya. “Turunlah, Nes. Kamu akan tahu jawabannya di dalam,” sahut Barata, kemudian membuka pintu mobil.Nesa segera turun kala suaminya membukakan pintu untuknya, disusul dua adiknya. Ekspresi bingung masih tercetak jelas di wajahnya yang cantik.“Ayo masuk,” ajak Barata, yang kemudian membimbingnya dengan meletakkan sebelah tangan di pundaknya yang ringkih.Nesa ikut ke mana Barata membawanya. Sementara di belakangnya, Dewi dan Dika memandang mereka seolah masih tak percaya sang kakak telah melepas status lajang menjadi seorang istri, apalagi istri dari seorang yang kaya raya. Mereka merasa ini mimpi ... tetapi terlalu nyata. “Mbak Wi, mereka itu gak lagi bohongi kita, 'kan?” bisik Dika pada sang kakak kedua.Dewi menatapnya dengan kernyitan dalam di kening. “Maksu
Entah mengapa, Nesa yang biasanya sengit menanggapi Barata, kali ini justru tersipu dengan pipinya yang merona. Mungkin, kejutan yang diberikan Barata memengaruhi pandangannya terhadap pria berjambang itu. Suaminya itu ... tak seburuk yang dipikirkannya. “Jadi, sebentar lagi Dika dan Mbak Dewi beneran pulang? Gak tinggal di sini lagi?” Suara anak lelaki yang penuh harap kembali menarik perhatian Nesa dan Barata. Nesa memandang Barata, seolah meminta kepastian apa yang dijanjikan pria itu beberapa menit lalu. Barata mengangguk dengan senyum yang sedari tadi awet di bibirnya. “Romi sedang mengurus semua dokumennya sekarang,” bisik Barata. Nesa celingukan mencari Romi dan benar saja pria itu tidak ada di antara mereka. Kepala panti tadi pun turut menghilang. Lalu Nesa mengangguk seraya tersenyum pada adik-adiknya. “Kalian akan kembali ke rumah,” ucapnya yang serta-merta membuat mereka kegirangan. Nesa memperhatikan lengan Dika yang bergerak ketika adiknya itu berjingkrak. Ada ruam
“Kamu di sini dulu, saya akan berbicara dengan kepala panti,” ucap Barata, tangannya mengusap pundak sang istri sebelum akhirnya pergi ke ruang kerja kepala panti. Nesa yang duduk di kursi ruang tamu mengangguk patuh. Kali ini dia menaruh kepercayaan pada Barata, setelah pria itu berhasil membuatnya terharu bahagia dengan sebuah kejutan.Setelah tinggal hanya berdua dengan Romi di ruangan itu, yang tercipta hanyalah keheningan. Nesa celingukan, menggerakkan kepala berharap mendapati adiknya dari pandangannya yang menembus kaca jendela. Namun, dari beberapa anak yang berseliweran di luar, tak didapatinya batang hidung dua adiknya itu. “Tenang, Mbak bos,” tegur Romi yang menyaksikan keresahan pada diri Nesa. “Bakal ketemu kok sebentar lagi sama adik-adiknya,“ lanjutnya dengan senyum tersungging di bibirnya. Nesa menoleh pada Romi. Lalu terlintas sesuatu di kepalanya sehingga dia berucap, “Emm, boleh aku bertanya?”Romi mengangguk. “Apa pun selain menanyakan apakah saya punya pacar a
“Nes,” panggil Barata dengan lembut yang membuat sepasang bola mata indah menatapnya. “Bagaimana keadaanmu? Apa masih ada yang sakit?”Barata bertanya tiga hari kemudian, setelah mendengar pembicaraan antara Nesa dan Raharja. Hari ini pun dia mendengar obrolan telpon antara istrinya itu dengan pihak panti yang membuatnya ingin mempercepat apa yang disebutnya sebagai kejutan itu terlaksana. Pasalnya, setelah sarapan tadi, Nesa menghubungi nomor panti lagi. Tentu saja dia ingin memastikan apakah adiknya sudah dijemput pulang sang ayah atau masih di sana. Akan tetapi, Nesa tidak secara langsung menanyakan maksudnya. Dia berpura-pura berkata ingin berbicara pada Dewi dan Dika. Dan jawaban pihak panti berhasil membuatnya terperangah. Orang itu justru memberitahunya peraturan panti yang hanya membolehkan anak menerima telpon seminggu sekali. Nesa mengenyam kekecewaan setelah mengakhiri panggilannya. Dia mendesah kecewa, ternyata sang ayah benar-benar mengabaikan kata-katanya. Dewi dan Dik
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.