Share

Permintaan Terakhir

Mereka berlari mendorong bad pasien dengan tergesa-gesa. Seorang gadis cantik berkerudung putih lengkap dengan gaun pernikahan yang dikenakannya tak berhenti menangis. Beberapa orang dari keluarga juga tampak khawatir sekali, begitu pula istri dari pria yang sedang terbaring lemah tak berdaya itu. Qiana sangat menyesali perbuatannya itu yang telah membuat sang Abi kembali jatuh sakit.

Saat Qiana mengetahui calon suaminya kabur dari pernikahan, tak mampu membuat Qiana bisa mengendalikan dirinya. Ia yang memiliki jiwa lembut sekaligus temperamen itu kehilangan kendali. Qiana mengamuk dan tanpa sengaja mengatakan semuanya kepada sang umi. Alhasil, Qiana yang tahu abinya sedang berdiskusi dengan keluarga pun tanpa sengaja mendengar pembicaraan itu.

Sang Abi tampak syok, mengetahui kebenaran tentang putri kesayangannya itu yang telah berbuat dosa.

“Bangun, Abi. Maafkan Qiana,” isak gadis itu tanpa henti.

“Sebaiknya kalian tunggu di sini, tidak ada satu pun pihak keluarga yang boleh masuk ke dalam ruangan,” ujar salah satu perawat ketika sudah berada di depan pintu IGD.

Kemudian para perawat itu langsung membawa bad pasien Abi Qiana ke dalam bersamaan dengan pintu tertutup. Qiana menatap lemah, tubuhnya meluruh ke lantai rah sakit yang dingin. Ia sama sekali tidak beranjak di depan pintu, setia menunggu perawat itu keluar dengan memberikan kabar yang baik untuknya.

“Sekarang kamu puas setelah apa yang kamu lakukan kepada kakakku?”

Wanita berkerudung syar’i itu menghampiri Qiana karena sedari tadi beliau sudah sangat geram dengan apa yang terjadi di lokasi pernikahan.

“Ini yang kamu inginkan, bukan? Hidup dengan penuh kebebasan tanpa mau mendengarkan perkataan kedua orang tuamu. Sebenarnya apa yang kamu pikirkan selama ini, Qiana? Apa kamu tidak bisa menganggap mereka sebagai orang tua yang telah membesarkan kamu? Bisa sekali saja hargai mereka yang sangat tulus menyayangi dirimu? Kenapa kamu membuat kakakku menderita seperti ini?”

Qiana hanya diam saja mendengar uwaknya itu berbicara karena pada dasarnya memang dia lah yang bersalah atas semua masalah ini. Ia bahkan tidak bisa menatap wajah wanita itu begitu juga dengan uminya. Qiana menyembunyikan wajahnya sendiri di balik tembok agar tidak ada orang yang melihatnya dalam keadaan tidak suci itu.

“Aku sudah berkali-kali mengatakan kepada kalian, bukan? Jangan mengambil anak yang nggak jelas asal-usulnya ini. Sekarang kalian sudah melihat apa yang dilakukan anak ini, hanya membuat kita malu saja.”

Qiana terkejut mendengarnya. Ia dengan berani menatap uwaknya setelah mengatakan kalimat yang Qiana tidak tahu artinya itu.

“Maksud Uwak apa? Siapa yang mengambil anak yang nggak jelas asal-usulnya?” tanya Qiana lirih, dia berharap bukan dia lah yang dimaksud oleh uwaknya itu.

“Kamu masih berani bertanya? Sudah jelas anak yang saya maksud itu adalah kamu!” sang Uwak memberikan penekanan pada kalimatnya agar Qiana bisa mengerti tanpa bertanya lagi. “Kakakku dan istrinya mengadopsi anak yang ditelantarkan di depan pesantren, dan itu kamu orangnya.”

Sekali lagi Qiana tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia sudah sangat terpukul karena pernikahannya batal dan kini dia baru mengetahui satu fakta bahwa orang tua yang sangat menyayanginya itu bukan lah orang tua kandungnya. Lantas di mana orang tua Qiana? Itu yang terbesit di dalam benaknya saat ini.

“Uwak berbohong kan? Aku anak kandung Abi dan Umi, bukan anak adopsi,” ujar Qiana mencoba untuk menghibur dirinya sendiri.

“Hah, anak kandung dari mana? Sifat kamu sangat berbeda dengan mereka. Kakak dan iparku punya adab dan sopan santun, mereka bukan orang yang suka dengan kemaksiatan. Sedangkan kamu? Lihat lah apa yang terjadi dengan dirimu saat ini, Qiana? Kamu bahkan hamil dengan pria yang bukan suamimu. Saya jadi semakin yakin bahwa orang tuamu bukan orang baik-baik.”

Sangat menusuk ke relung hatinya yang terdalam. Tatapan uwaknya itu juga membuat Qiana semakin merasa bersalah. Seandainya dia tahu dari awal, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Qiana pasti akan menuruti perkataan kedua orang tuanya, masuk pesantren dan menjadi anak yang baik. Tidak seperti sekarang, hidupnya hancur dengan membawa beban yang akan dia tanggung sendiri.

“Umi,” panggil Qiana. Matanya beralih pada sang umi yang hanya duduk lemah di ruang tunggu dengan ditemani oleh bibinya, adik dari sang umi.

“Katakan itu tidak benar, Umi. Uwak pasti salah berbicara kan? Qiana tahu kesalahan ini tidak dapat dimaafkan, tapi jangan katakan hal itu benar. Qiana minta maaf karena telah menjadi anak pembangkang, Qiana akan bertanggung jawab atas kesalahan ini. Jangan bebani pikiran Umi hanya karena kesalahan Qian.” Qiana perlahan melangkah ke arah uminya, tatapan tajam dari uwaknya masih saja belum hilang. Tapi, Qiana tidak memikirkan hal itu, dia hanya ingin uminya tidak membenci dirinya.

“Umi,” panggil Qiana sekali lagi.

Sang umi hanya menangis tanpa mau menatap wajah Qiana. Bukan benci atau marah, hanya saja saat ini beliau belum bisa melihat sang putri yang sedang menderita.

“Jangan dipaksakan dulu, Nak. Tunggu umi tenang dulu baru nanti kamu bicara lagi. Sebaiknya sekarang kamu pulang dan tenangkan diri dulu.” Bibinya mencoba untuk membujuk Qiana dengan lembut. Qiana menggeleng pelan, tak ingin beranjak dari tempat itu walau hanya satu langkah saja.

“Ustad Risman sudah siuman, beliau ingin bertemu dengan Ustad Hanan,” ujar perawat.

Umi dan juga Qiana tampak senang sekali. Orang-orang yang ikut mengantar Abi Qiana juga tak mampu menyembunyikan perasaan lega itu. Namun, Qiana tak bisa mengerti kenapa abinya ingin bertemu dengan Ustad Hanan. Memang mereka berteman sejak lama dan keduanya adalah orang yang mendirikan pesantren Al-Hakim.

Qiana penasaran, terlebih lagi putra Ustad Hanan juga ada di sana membuat rasa ingin tahu semakin menjalar liar di tubuh Qiana.

“Qiana, masuklah,” panggil Ustad Hanan setelah itu. “Kamu juga Ates,” ujar beliau.

Tidak ada yang tahu apa yang dibicarakan oleh Ustad Risman dan juga Ustad Hanan, sehingga mereka memanggil Qiana beserta Ates ke dalam sana.

“Abi.” Qiana langsung berhambur ke dalam pelukan abinya. Meski masih terbaring sangat lemah tak membuat Ustad Risman mengabaikan putrinya itu.

“Qiana, dengarkan Abi baik-baik. Jika sesuatu terjadi pada Abi nanti, Abi ingin kamu bertobat dan menjadi anak serta ibu yang baik untuk calon anakmu. Jaga umi dan lupakan semua masalah yang telah terjadi itu. Masa depanmu masih panjang, Nak. Abi nggak mau hanya karena hal ini membutamu semakin terpuruk nantinya.” Ustad Risman berbicara terbata-bata, rasa sakit itu berusaha beliau tahan agar bisa mengutarakan niatnya kepada sang putri.

“Menikahlah dengan Ates, hanya dia satu-satunya pria yang Abi kenal dengan baik. Kamu akan bahagia jika menikah dengannya nanti.”

Qiana kembali menangis. Dari perkataan abinya dia sudah tahu dan mengerti ke mana arah pembicaraan itu.

“Jangan katakan hal itu, Abi. Qiana akan menikah dengan Ates ketika Abi telah sembuh nantinya,” ujar Qiana.

“Nggak ada waktu untuk Abi sembuh lagi, Nak. Sudah saatnya Abi pergi menghadap Sang Pencipta. Maka dari itu Abi menitipkan dirimu pada Ates.”

“Tidak, Bi. Abi pasti sembuh kok, Qiana tahu Abi pasti kuat melawan penyakit ini.”

Air mata Qiana kali ini benar-benar jatuh dengan sangat deras. Satu sisi dia ingin abinya sembuh dan menyaksikan pernikahan impiannya itu terlaksana. Di sisi lain Qiana harus segera melaksanakan pernikahan itu agar orang-orang tidak memandang rendah kepada kedua orang tuanya.

“Ustad Hanan,” panggil Abi Qiana.

“Iya, Ustad,” jawab Ustad Hanan. Beliau mendekat dan Qiana agak sedikit memberikan ruang kepada beliau.

“Lakukan sekarang.”

Ustad Hanan mengangguk mengerti. “Baiklah.”

Qiana mengerti abinya pasti meminta Ustad Hanan untuk memanggil penghulu dan pernikahan antara Qiana dan Ates akan dilakukan di depan beliau. Qiana menangis, dia kembali menghampiri abinya setelah Ustad Hanan beranjak dari tempat itu.

“Kamu setuju kan?” tanya Ustad Hanan pada putranya.

“Apa Ates punya pilihan untuk menolak, Abi? Tentu Ates akan melakukannya demi persahabatan Abi dan juga Ustad Risman,” ujar Ates.

***

Semua orang sudah berkumpul di ruang perawatan Ustad Risman. Keluarga serta penghulu sudah berada di sana, begitu juga dengan staff rumah sakit yang menjadi saksi dari pernikahan itu.

“Bisa kita mulai, Ustad?” tanya penghulu pada Ustad Hanan.

“Silakan, Pak,” jawab Ustad Hanan.

“Saudara Alfihsan Ates Sanjaya saya mewakili Ustad Risman. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Alfihsan Ates Sanjaya bin Ustad Hanan Al-Hakim dengan putri Ustad Risman yang bernama Zaina Qiana Ruqaya dengan maskawinnya berupa uang sebesar dua ratus ribu rupiah dibayar tunai.”

“Saya terima nikah dan kawinnya Zaina Qiana Ruqaya binti Risman Abdurrahman dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Dengan sekali tarikan nafas Ates berhasil mengucapkan kalimat tersebut.

“Bagaimana saksi? Sah?”

“Sah.” Saksi yang menyaksikan menjawab dengan serempak.

“Alhamdulillah.” Penghulu memimpin untuk mengucapkan syukur dan doa.

Semua yang hadir di sana turut bahagia, begitu juga dengan Ustad Risman yang terbaring di atas ranjang. Harapan yang ingin beliau lihat kini sudah terlaksana, Qiana sudah menikah dengan lelaki pilihannya. Sang Ustad pun perlahan menutup mata di saat orang-orang sibuk berdoa.

Qiana yang sesekali melirik abinya, langsung menjerit histeris. “Abi,” teriaknya berhambur memeluk Ustad Risman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status