Share

Istri Nakal Anak Ustadz
Istri Nakal Anak Ustadz
Penulis: Chely Violet

Gagal Nikah

“Jangan mencoba untuk menghentikanku, Umi! Biarkan aku melakukan apa pun yang membuat rasa sakit akibat pengkhianatan ini hilang. Penderitaan ini tidak akan pernah berakhir hanya dengan mengirimku ke pesantren. Aku tidak mau hidup seperti ini, aku mau dia Umi.”

Wanita itu berteriak dengan histeris sembari memegang sebilah pisau untuk mengancam keluarganya agar tidak menghalangi niatnya untuk melakukan aksi bunuh diri. Wanita dengan gaun putih bak pengantin itu tampak frustasi akibat calon suaminya tidak hadir pada resepsi pernikahannya.

Dia yang sudah terlanjur berbuat dosa sebelum menikah tidak ingin jika kedua orang tuanya yang taat akan agama itu sampai kecewa jika mengetahui dirinya tengah hamil dua minggu. Tentu wanita itu putus asa, menghadapi kenyataan gagal nikah dan bingung harus bagaimana untuk mengatakan kepada keluarganya. Terlebih lagi calon ayah dari anak yang dia kandung lebih memilih untuk pergi dengan wanita lain dari pada menikahinya.

“Istighfar, Nak. Saat ini setan sedang mencoba untuk mempengaruhi dirimu. Jangan sampai kamu termakan hasutan mereka, berikan benda itu pada Umi.” Sang umi mencoba untuk membujuk putrinya sekali lagi.

Namanya Qiana, umur 18 tahun. Selama ini Qiana diberi kebebasan oleh kedua orang tuanya untuk memilih sekolah yang dia mau asalkan tidak terlalu bergaul layaknya anak muda zaman sekarang. Tapi, Qiana sepertinya kebablasan semenjak mengenal seorang pemuda yang baru saja pindah ke sekolahnya itu. Dia pria tampan dan juga kaya raya, pintar merayu setiap gadis di sekolah itu termasuk Qiana. Dia adalah Leo, putra tunggal dari ketua yayasan tempat Qiana sekolah.

Awalnya Qiana bersikap biasa saja dan menganggap bahwa Leo hanya tebar pesona agar para wanita di sekolah itu bisa dia taklukkan. Namun, lama kelamaan Qiana merasa ada sesuatu yang membuatnya harus menerima cinta Leo ketika pria itu mengatakan di depan banyak orang. Qiana merasa menjadi gadis yang sangat beruntung karena Leo lebih memilih dirinya. Akan tetapi, sepertinya dia lupa dengan nasihat yang kedua orang tuanya berikan, bahwa Qiana tidak boleh pacaran atau dia harus masuk pesantren.

“Kamu adalah wanita tercantik yang pernah aku temui, Qiana. Jika aku meminta sesuatu darimu, akankah kamu memberikan kepadaku secara suka rela?” suatu ketika Leo bertanya kepada Qiana tepat di bawah pohon yang berada di taman belakang sekolahnya.

“Memangnya apa yang kamu inginkan dariku, Leo? Insyaallah aku akan memberikannya untukmu,” ujar Qiana tersipu malu.

“Benarkah? Kamu mau memberikan kehormatanmu untukku?”

Seketika Qiana terkejut, dia tidak menyangka jika Leo akan mengajaknya untuk berbuat zina. Qiana menatap pria itu lama, seharusnya dia tidak melakukan hal itu karena sang abi sering mengingatkan Qiana agar bisa menjaga pandangannya dari orang yang bukan mahram.

“Apa yang barusan kamu katakan, Leo? Kamu mau mengajakku berbuat zina? Itu dosa besar,” ujar Qiana yang menyembunyikan wajahnya dari tatapan maut Leo.

“Ayolah, Qian. Bukan saatnya untuk memikirkan dosa. Setelah kita melakukannya, aku janji akan bertanggung jawab jika sesuatu terjadi kepadamu nantinya. Yang penting sekarang kamu harus membuktikan kepadaku bahwa cintamu itu bukan omong kosong belaka.” Leo terus saja menggoda Qiana untuk berbuat dosa itu. Dia juga membelai wajah Qiana untuk pertama kalinya.

Qiana mendelik, untuk kali pertama ada seorang pria selain abinya yang berani menyentuh wajahnya itu. Qiana ingin menolak, tapi dia sudah terlanjur mencintai Leo sehingga Qiana pun terpaksa diam saja ketika pria itu mencoba untuk menciumnya.

“Bagaimana kalau Abi dan umi tahu perbuatan kita ini. Mereka pasti akan sangat kecewa nantinya,” ujar Qiana yang masih saja takut untuk menerima ajakan itu.

“Jangan khawatir, setelah ini aku akan datang untuk melamarmu,” jawab Leo.

“Tapi kita masih sekolah, Leo. Kedua orang tuaku tidak akan merestui pernikahan kita nantinya.”

“Mereka tidak punya pilihan selain menikahkan kita, Qian. Keluargamu juga punya harga diri dan rasa hormat. Bagaimana bisa mereka membiarkan aib putrinya diketahui oleh orang banyak jika mereka menolak hubungan kita ini.”

Qiana seolah-olah tersihir oleh rayuan Leo. Dia sampai tidak tahu harus bagaimana menanggapi ajakan dari kekasihnya itu. Entah sadar atau tidak, Qiana mengangguk memberikan jawaban pada Leo untuk setuju pada permintaan Leo barusan.

Hingga hal itu terjadi dan Qiana hamil anaknya Leo. Tapi, dia tidak berani untuk mengatakan kepada Abi dan uminya. Qiana hanya meminta Leo untuk memenuhi janjinya yang akan menikahi Qiana jika wanita itu hamil. Leo awalnya menolak karena dia hanya ingin menjadikan Qiana sebagai alat untuk pelampiasan saja dan tanpa Qiana tahu ternyata dirinya dijadikan bahan taruhan oleh Leo beserta teman-temannya.

“Sekarang aku harus bagaimana, Umi,” lirih Qiana. Tubuhnya mendadak lemah hingga terjatuh ke lantai.

Uminya perlahan mendekati Qiana dengan mata berlinang. Melihat sang anak yang menangis seperti itu membuat beliau juga merasakan sakit di hatinya.

“Jangan pikirkan lagi masalah ini, Nak. Lupakan pria itu, Umi tahu kamu pasti bisa bangkit dan kembali seperti dulu lagi,” ucap sang umi membawa Qiana ke dalam pelukan.

Qiana terisak di sana. Pelukan uminya terasa sangat hangat. Rasanya Qiana bisa melupakan masalah yang tengah dia hadapi saat ini meski hanya sesaat saja. Selanjutnya, dia langsung tersentak dan melepaskan pelukan sang umi.

“Aku tidak bisa melupakan masalah ini begitu saja, Umi. Bagaimana kalau tetangga tahu bahwa saat ini aku sedang...” Qiana menghentikan ucapannya sejenak. Uminya menunggu dengan penasaran lanjutan perkataan dari Qiana.

“Apa yang terjadi sebenarnya, Nak? Nggak ada yang perlu kamu takutkan jika tidak ada kesalahan apa pun yang kamu perbuat. Masalah tetangga biar saja mereka berkata apa, seiring berjalannya waktu pasti semua orang akan lupa dengan kejadian ini.”

“Tapi, Umi. Qiana sudah melakukan kesalahan yang sangat besar. Bukan hanya Umi dan Abi saja yang kecewa dan tidak bisa memaafkan kesalahan ini, tapi Allah juga marah pada dosa yang Qiana buat sehingga menghukum Qiana seperti ini.”

Uminya terdiam. Tidak ada pikiran buruk sedikit pun yang terlintas dari benak beliau tentang Qiana. Umi Qiana hanya menduga jika permintaan Qiana untuk menikah muda yang membuatnya sampai sedih seperti ini dan merasa bersalah karena memutuskan untuk berhenti sekolah. Padahal, sang Abi sudah mencoba untuk membujuk Qiana sekali lagi sebelum keputusan akhir ia ambil.

“Dosa besar apa yang sudah putri Umi lakukan sehingga frustasi seperti ini? Katakan pada Umi, Nak. Masalah tidak akan bisa selesai jika disimpan sendirian,” ujar umi.

“Maafin Qiana, Umi.” Gadis itu tidak mampu untuk menceritakan semuanya kepada umi karena takut jika kesalahannya itu tidak bisa diterima oleh kedua orang tuanya. Qiana hanya menangis sembari memegang perutnya yang masih datar.

Umi menatap tangan Qiana yang mengusap perutnya meski dalam keadaan menangis. Wanita paruh baya yang akrab di sapa sebagai Umi Salamah itu tampak terkejut, beliau menatap Qiana sembari menggeleng pelan.

“Itu tidak benar kan? Putri Umi tidak mungkin melakukan dosa itu kan?” lirih Umi Salamah berharap jika Qiana hanya bercanda saja.

“Maaf, Umi,” isak Qiana sekali lagi.

Kali ini giliran Umi Salamah yang menangis sejadi-jadinya. Tubuh beliau terduduk di lantai dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Jelas sekali raut wajah kecewa nan terluka terpancar di wajah keriput wanita paruh baya itu. Qiana mendekat, mencoba untuk meraih tangan uminya.

Meski hatinya sangat marah dan kecewa, Umi Salamah tetap mengusap lembut kepala Qiana yang bersujud memohon ampun dan maaf dari surganya itu. Tidak ada seorang ibu yang tega meninggalkan putrinya dalam keadaan susah seperti itu dan Umi Salamah berharap bisa menemukan solusi yang tepat untuk putrinya.

“Qiana akan bertanggung jawab untuk membesarkan anak ini sendiri, Umi. Qiana akan menjauh dari kehidupan Umi dan Abi agar keluarga kita tidak jadi bahan gosip atau tetangga. Masalah ini Qiana yang menciptakan sendiri, dan Qiana akan menyelesaikannya sendiri,” ujar Qiana menatap Umi Salamah lembut.

“Kamu tidak akan bisa melakukan hal itu sendiri, Nak. Bukan hal mudah menjadi seorang ibu apa lagi umurmu masih belum cukup untuk menjadi orang tua tunggal. Nanti biar Umi bicara sama Abi setelah para tamu pulang. Sebaiknya kamu istirahat saja dan jangan memikirkan apa pun.”

“Tapi, Umi. Bagaimana kalau Abi marah dan penyakitnya kambuh lagi? Qiana nggak akan pernah bisa memaafkan diri Qiana sendiri jika hal itu terjadi pada Abi.”

“Biar Umi yang memikirkan caranya, kamu tenang saja. Abi pasti akan mengerti dan memaafkan kesalahan ini.”

Meski uminya berkata seperti itu tak membuat hati Qiana merasa lega dan tenang. Pasalnya dia tidak sengaja melihat ke arah pintu dan seseorang tengah berdiri di sana dengan tatapan sedih.

“Abi,” panggil Qiana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status