MasukEmpat Tahun Kemudian...Waktu adalah hakim yang paling adil. Ia tidak memihak pada raja ataupun pengemis; ia hanya terus berjalan, mengubur luka lama dan menumbuhkan benih baru. Empat tahun telah berlalu sejak jatuhnya Kaisar Edmure dan berdirinya Kerajaan Singa Utara yang baru. Dunia telah berubah, dan bagi mereka yang pernah terlibat dalam perebutan kekuasaan itu, takdir telah memberikan tempatnya masing-masing.Di pulau karang terpencil di tengah samudra yang ganas, sebuah "peradaban" kecil telah terbentuk. Bukan peradaban emas, melainkan peradaban batok kelapa.Di tengah pasir putih, berdiri sebuah gubuk miring yang menyedihkan. Dindingnya terbuat dari batang pohon kelapa yang diikat asal-asalan dengan akar gantung, dan atapnya dari daun-daun kering yang bocor di sana-sini. Di atas pintu masuk yang sempit, tergantung sebuah papan kayu hanyut bertuliskan arang "Mansion d'Argelline".Thalor mengenakan celana pendek dari karung goni bekas, sedang memukul-mukul kerang dengan batu.
Malam itu, setelah Lyra dan putri kecil mereka, Leona, tertidur lelap, Leonhard tidak bisa memejamkan mata. Hatinya terlalu penuh. Ia pergi ke ruang kerjanya yang diterangi lilin, mengambil pena bulu dan perkamen terbaik. Leonhard harus membagi kebahagiaan ini kepada satu-satunya keluarga yang tersisa di masa lalunya.Leonhard menulis dengan tangan yang mantap namun hati yang lembut.Surat untuk Darren:Kepada Saudaraku, Darren,Di tengah dinginnya salju Utara, kehangatan baru telah lahir. Malam ini, aku menjadi seorang Ayah. Putriku, Leona Valeska Vordane, telah hadir ke dunia dengan mata biru yang mengingatkanku pada Ibu, dan semangat yang kuharap setangguh dirimu di masa-masa terbaikmu.Saat aku menatap wajahnya, aku teringat masa kecil kita. Sebelum ambisi meracuni darah kita, sebelum dinding istana memisahkan kita. Aku menulis ini bukan sebagai Raja kepada pengasingan, tetapi sebagai adik kepada kakaknya.Darah Vordane terus mengalir, Darren. Dan aku berharap, di mana pun kau be
Malam itu, angin utara mengamuk di luar dinding batu Istana Singa Utara. Badai salju terburuk di musim itu menghantam jendela-jendela tinggi, menghasilkan suara siulan yang menakutkan. Di dalam kamar utama yang hangat oleh perapian raksasa, Lyra sedang duduk di kursi goyang, mencoba menyulam baju bayi kecil—kegiatan yang disarankan Tabib untuk menenangkan pikiran. Namun, jarum di tangan Lyra tiba-tiba berhenti.Sebuah rasa sakit yang tajam dan meremas menjalar dari punggung bawah ke perutnya. Bukan tendangan bayi biasa. Ini berbeda. Ini... mendesak."Ahhh..." desis Lyra, menjatuhkan sulamannya.Leonhard, yang sedang duduk di seberang ruangan membaca laporan perbatasan atau berpura-pura membaca sambil diam-diam memperhatikan istrinya, langsung melempar kertas-kertas itu ke udara."Lyra?! Ada apa? Apa itu? Apa kau tertusuk jarum? Apa ada pembunuh? Katakan padaku!" Leonhard elompat dari kursi, hampir tersandung karpet.Lyra mencengkeram lengan kursi, napasnya tertahan. "Leon... kurasa.
Dua bulan telah berlalu sejak kedatangan mereka di Istana Singa Utara. Perut Lyra kini telah membesar dengan megah, menandakan usia kandungan tujuh bulan.Sang Ratu, yang biasanya gesit, kini berjalan dengan gaya yang ia sebut anggun, namun Leonhard sebut bebek yang membawa telur di pantatnya. Pagi itu, udara musim semi mulai menghangatkan dataran salju, meski lapisan es masih menyelimuti taman istana. Rutinitas pagi telah ditetapkan oleh Tabib: jalan santai selama tiga puluh menit untuk melancarkan peredaran darah.Bagi Leonhard, ini bukan sekadar jalan pagi. Ini adalah operasi militer pengawalan tingkat tinggi.Leonhard berjalan di samping Lyra, matanya memindai setiap inci jalan setapak yang sudah dibersihkan dari salju. Tangannya melingkar di pinggang Lyra, siap menopang jika istrinya itu bahkan hanya berpikir untuk terpeleset."Hati-hati, ada kerikil di sana. Angkat kakimu sedikit lebih tinggi, Sayang.""Huuff!" Lyra mendesah panjang, memutar bola matanya. "Leon, itu kerikil seu
Angin utara berhembus, membawa butiran salju halus yang berkilauan seperti debu berlian di bawah sinar matahari sore yang pucat. Rombongan kereta kerajaan akhirnya melambat saat roda-rodanya menyentuh jalanan batu granit yang telah dibersihkan dari es.Di depan mereka, menjulang Istana Singa Utara. Berbeda dengan kemegahan emas Ibukota yang mencolok, istana ini memiliki keanggunan yang buas dan dingin. Menara-menaranya yang runcing terbuat dari batu hitam pekat, kontras dengan hamparan putih abadi di sekelilingnya.Namun, dari setiap jendela kaca yang tinggi, memancar cahaya oranye hangat dari perapian yang tak pernah padam, seolah jantung istana itu berdegup dengan api yang hidup.Kereta utama berhenti tepat di pelataran dalam yang tertutup atap kaca tinggi, melindungi mereka dari hujan salju.Pintu kereta dibuka oleh pengawal berzirah tebal berbulu serigala. Leonhard turun lebih dulu, sepatu botnya berdentum mantap di lantai batu. Ia berbalik, mengulurkan kedua tangannya ke arah Lyr
Perjalanan ke Utara adalah sebuah ekspedisi besar, bukan hanya perjalanan darat. Konvoi kerajaan yang mereka bawa tidak kurang dari dua puluh kereta, termasuk pengawal pribadi Leonhard, keluarga inti Theo, Vania, Geon, Grace, dan anak-anak, serta rombongan penting yang Lyra bawa dari Ibukota: tiga orang tabib spesialis kandungan, dua orang koki pribadi yang ahli dalam nutrisi, dan puluhan pelayan yang loyal. Perjalanan itu akan memakan waktu kurang dari seminggu berkat rute yang telah disiapkan sebelumnya, tetapi Lyra sedang hamil besar, memasuki trimester ketiga, dan setiap guncangan kecil terasa seperti goncangan besar bagi Leonhard. Kereta Leonhard dan Lyra adalah mahakarya teknik Utara. Interiornya dihiasi bulu binatang mewah dan kayu gelap, dilengkapi perapian kecil dan tempat tidur yang dilapisi peredam kejut hidrolik canggih yang meredam benturan. Namun, kemewahan ini tidak bisa sepenuhnya meredakan kecemasan Leonhard. Lyra berbaring di tempat tidur, perutnya yang membesar