"Yang Mulia Count, apa kita akan mengundang menantu kita untuk sarapan bersama pagi ini? Sekadar formalitas penyambutan." Lady Celeste menyesap tehnya dengan anggun.
Count Albrecht Vordane, yang tengah merapikan kerah jubah di depan cermin besar berukir itu menjawab, "Seharusnya demikian, Celeste. Bagaimanapun, dia sekarang sudah menjadi menantu kita. Protokol harus dijaga, terutama karena pernikahan ini adalah titah Kaisar." "Benar. Kita tidak ingin ada kesan..." Tok, tok, tok! Ketukan tergesa di pintu menginterupsi ucapan Celeste. Keduanya menoleh. "Masuk!" seru Count Albercht. Krek! Pintu di buka, seorang pelayan pribadi masuk dengan membungkuk dalam, wajahnya pucat dan tampak gugup. "Maaf mengganggu, Yang Mulia Count, Yang Mulia Lady. Saya membawa kabar mendesak dari kamar Grand Duchess." Celeste meletakkan cangkirnya, alis terangkat. "Kabar apa?" "Yang Mulia Grand Duchess Lavinia... ditemukan pingsan pagi ini... beliau... beliau muntah darah." Count Albrecht dan Lady Celeste Serempak, kaget. "Apa?!" Albrecht melangkah mendekat ke pelayan itu. "Muntah darah? Bagaimana bisa?!" Wajah Lady Celeste tampak tegang. "Ya Dewa... Jika terjadi sesuatu padanya... bagaimana kita menjelaskan pada Kaisar? Dan keluarga d’Argelline... maksudku, keluarga Baron itu?" Kekhawatiran mereka jelas lebih tertuju pada implikasi politik daripada kondisi sang menantu. "Kita harus melihatnya sendiri. Celeste, ayo." Albrecht sudah bergerak menuju pintu. Saat pintu terbuka lebih lebar, sosok Mathilda Vordane sudah berdiri di sana, wajahnya tampak sedih dan cemas, tetap memancarkan ketenangan yang anggun sebagai putri bangsawan. "Ayahanda, Ibunda," sapa Mathilda lembut sambil membungkuk sedikit. "Saya baru saja dari sana." "Bagaimana keadaannya? Apa kata Royal Pysician?" "Kakak Ipar masih belum sadar sepenuhnya saat saya tinggal tadi. Royal Pysician Valerius sedang menanganinya." Mathilda melangkah masuk sedikit, menghalangi jalan Albrecht dan Celeste secara halus. "Ayahanda dan Ibunda tidak perlu repot-repot ke sana sekarang. Suasananya sedang... sedikit tegang." "Tegang? Apa maksudmu?" Tanya Count Albercht. Mathilda menatap lantai sesaat, ragu. "Kak Leon sedang menjaga Kakak Ipar di dalam. Beliau ... sangat terpukul dan khawatir." Mathilda mengangkat wajahnya lagi, matanya yang biru menatap kedua orang tuanya dengan polos. "Mungkin... alangkah baiknya kita biarkan Kak Leon lebih perhatian pada istrinya? Memberi mereka ruang? Ini mungkin bisa jadi awal yang baik untuk hubungan mereka." Albrecht dan Celeste saling pandang. Saran Mathilda terdengar sangat masuk akal dan bijaksana. Lagipula, mereka tidak terlalu ingin terlibat langsung dalam 'drama' menantu baru itu jika tidak perlu. Albrecht menghembuskan napas lega. "Kau benar, Mathilda. Mungkin lebih baik begitu. Beri kabar jika ada perkembangan signifikan." Mathilda tersenyum tipis. "Tentu, Ayahanda." ___ Leonhard duduk kaku di kursi mewah dekat ranjang berkanopi empat tiang, matanya tak lepas dari sosok Lyra yang masih terbaring lemah dengan mata terpejam. Royal Pysician Valerius sudah pergi setelah memberikan ramuan penenang dan instruksi perawatan. Mathilda juga sudah pamit beberapa saat lalu dengan alasan memberi ruang bagi Leonhard dan 'istrinya'. Sendirian. Leonhard mendengus dalam hati. Ia benci situasi ini. Ia benci wanita di ranjang itu. Ia benci bagaimana kehadirannya saja sudah menimbulkan kekacauan. "Menahan lapar hingga lambungnya terluka parah... mungkin mencoba bunuh diri." Diagnosis Pysician terus terngiang. 'Omong kosong!' sungut Leonhard getir. 'Wanita licik ini pasti punya rencana lain. Pura-pura bunuh diri? Untuk apa? Menarik perhatianku? Simpati? Atau membuat Vordane terlihat buruk di mata Kaisar? Dasar ular!' Ia mengepalkan tangannya. "Errgmm..!" Tiba-tiba, Lyra bergerak pelan di atas ranjang. Kelopak matanya bergetar. Erangan lirih lolos dari bibirnya yang pucat. Lyra mulai mengigau, suara serak dan penuh ketakutan. "Jangan... jangan siksa ibuku... Tolong... aku janji... aku akan patuh..." Air mata mengalir dari sudut mata Lyra yang masih terpejam. Leonhard mengerutkan dahi mendengar racauan itu. Ibu? Patuh? Omong kosong apa lagi ini? Leonard berdiri dari kursinya, melangkah mendekat ke sisi ranjang. Di sana, ada peluh dingin membasahi dahi Lyra. Sudut bibir Leonhard menyungging sinis. 'Trik murahan. Berani-beraninya dia bicara soal siksaan sementara rumor mengatakan jika Putri Lavinia hidup berfoya-foya dengan uang entah darimana di wilayahnya yang katanya terpencil itu? Sandiwara menjijikkan.' Perlahan, kelopak mata Lyra terbuka. Pandangannya kabur sesaat, lalu ia melihat siluet tinggi Leonhard berdiri menjulang di samping ranjangnya. Rasa sakit di perut Lyra kembali terasa saat ia mencoba bergerak sedikit. "Aaahh ...." Ia mengerang pelan. Tanpa menunggu Lyra pulih benar, suara Leonhard langsung menghantam. "Sudah selesai sandiwaramu?" Lyra tersentak, menatap Leonhard dengan mata sayu penuh keterkejutan. "Lady Lavinia..." Leonard sengaja menggunakan nama itu dengan nada mengejek. "... Grand Duchess dari Vordane, tak makan seharian karena ingin bunuh diri?" Mata pria dingin itu menyipit kejam. "Apa kau ingin membuat rumor jika Vordane tak mampu memberikanmu makan? Atau..." Ia membungkuk tubuh sedikit. "... kau merasa sakit hati karena apa yang terjadi di ranjang ini semalam, putus asa, lalu ingin bunuh diri?" Leonhard menegakkan tubuh lagi, tatapannya penuh cemoohan. "Mengapa tidak mati saja sekalian, hah? Menyusahkan! Jika memang ingin bunuh diri, lain kali usahakan langsung berhasil. Jangan tanggung!" Ucapan menohok dan brutal itu menghantam Lyra lebih keras dari rasa sakit di tubuhnya. Ia teringat jelas sekarang. Pagi tadi, setelah pelayan dari Mathilda pergi, ia merasa sangat haus. Ia mengambil cawan emas berisi air putih yang sudah tersedia di meja samping ranjang sejak semalam—air yang dibawa pelayan lain—dan meminumnya beberapa teguk sebelum ia bersiap mandi. Dan tak lama setelah itu, rasa sakit luar biasa seperti ribuan silet menyayat perutnya, lalu Lyra muntah darah, dan semuanya menjadi gelap. Itu bukan masalah lapar. Itu karena air minum! Tapi siapa...? Mendapati Leonhard menuduhnya dengan begitu kejam berdasarkan diagnosis yang salah... sesuatu di dalam diri Lyra yang sudah hancur terasa patah. Keputusasaan membuat Lyra nekat. Toh, ia sudah dijadikan tumbal. Apa lagi yang perlu ditakutkan? Lyra menatap Leonhard dengan mata yang kini berkilat dingin meski tubuhnya lemah. "Bunuh diri?" Ia tertawa lirih, tawa tanpa humor yang membuat Leonhard mengerutkan kening. "Mengapa saya harus repot-repot bunuh diri, Yang Mulia?" "Untuk mati di tempat menyedihkan ini? Di tangan pria yang bahkan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri di malam pertama pernikahannya? Memalukan!" Lyra menambahkan. Rahang Leonhard mengeras seketika mendengar sindiran tajam itu. "Anda benar. Saya ini menjijikan dan menyusahkan." Senyum tipis yang lebih mirip seringai terbit di bibir wanita berparas anggun itu. "Tapi setidaknya, wanita menjijikan ini yang membuat tombak daging yang Mulia Grand Duke ereksi sampai hilang kendali, bukan?" Sebelum Lyra sempat menarik napas lagi, tangan besar Leonhard bergerak secepat kilat, mencengkeram kedua pipi Lyra dengan kasar, memaksa wajah Lyra menatap lurus ke mata Leonhard yang kini berkilat berbahaya seperti badai hitam. "Aaakhh...""Harus cepat!"Pikiran itu memacu Leonhard lebih kencang dari cambukan pada kudanya. Hutan di sekelilingnya mulai diselimuti bayang-bayang senja yang memanjang, membuat jarak pandang semakin terbatas. Setiap suara gemerisik daun atau patahan ranting membuat jantung Leonhard berdegup waspada. Di punggungnya tersandang busur dan kantung panah, sementara pedang Vordane yang setia tergantung di pinggangnya, siap terhunus.'Dasar wanita bodoh itu!' umpat Leonhard dalam hati, wajahnya mengeras karena cemas dan kesal. 'Jika terjadi sesuatu padanya sebelum pesta pengangkatan resmi dari Kaisar, posisiku di Utara bisa goyah. Kaisar akan punya alasan untuk mencampuri urusan Vordane lebih jauh. Aku harus membawanya ke Ibukota dalam keadaan utuh, suka atau tidak suka!' Ini bukan tentang cinta atau kasih sayang pada 'Lavinia'. Ini tentang politik, tentang kekuasaan, tentang harga diri Vordane.Tuk, tik, tak, tik, tuk! Kuda Leonhard meringkik, menerobos semak belukar dengan kecepatan penuh. Leonha
“Damai sekali. Sekarang, aku sudah memiliki bukti tanaman yang dibawa oleh Mathilda. Jika dugaanku benar, aku harus memancing Mathilda melakukan kejahatannya di depan Grand Duke dan Count Albercht.” Pikiran itu memberi Lyra sedikit semangat di tengah kemelut yang ia hadapi.Setelah Mathilda menghilang beberapa saat yang lalu, Lyra menikmati kesendiriannya dalam memanen buah-buah yang cantik itu. "Wah, dapat banyak. Sepertinya aku juga harus membuat kue dan membagikannya pada para pelayan dan staf," gumam Lyra pelan. Wanita bermata emerald itu mulai bersenandung lagu masa kecil. Ia melangkah lebih dalam ke hutan, matanya berbinar menemukan rimbunnya pohon beri yang menjanjikan. Warna merah dan biru kehitaman buah-buahan itu terlihat memanggilnya. Sesekali, Lyra menyuapi buah yang dia petik itu ke mulutnya.“Hhhmmm … segar sekali!” Lyra memejamkan mata, merasakan rasa asam—manis yang lumer di mulutnya. Ia pun kembali memetik, senandung Lyra menjadi teman di kesunyian hutan. Namun,
Di ruang duduk kediaman d’Argelline yang sederhana tetapi berusaha tampak mewah, Lady Ilmae mondar-mandir dengan gelisah, kipas di tangannya bergerak cepat. Selembar perkamen dengan segel Kekaisaran tergeletak di atas meja. Undangan resmi untuk Grand Duke Leonhard Vordane dan istrinya menghadiri pesta pengangkatan gelar di Ibukota, satu minggu lagi.Saudagar Thalor d’Argelline, suaminya, duduk dengan santai di kursi, mengamati istrinya dengan ekspresi bosan.Lady Ilmae berhenti mondar-mandir, menatap Thalor tajam sambil bersedekap dada. "Ini semua salahmu, Thalor! Sudah kubilang kita harus segera mengirim Margareth atau setidaknya memastikan si anak harammu itu melakukan tugasnya dengan benar! Sekarang lihat? Undangan dari Kaisar datang lebih dulu!" Suara Ilmae meninggi." ... Bagaimana kita menjelaskan pada Kaisar jika Lyra belum mendapatkan bukti apapun? Bagaimana jika Kaisar bertanya tentang tugas yang ia berikan pada 'Lavinia'?!" Tambah Ilmae. Thalor mendengus, meletakkan cangki
Tiga hari telah berlalu sejak insiden kematian misterius pelayan bar. Leonhard duduk di meja kerjanya yang besar, tatapannya tajam mengarah pada Theo yang berdiri di hadapannya dengan sikap hormat namun santai."Jadi, Theo? Apa laporanmu setelah tiga hari mengawasi 'Grand Duchess'?" Suara Leonhard dingin, menyiratkan ketidaksabaran.Theo menghela napas pelan. "Yang Mulia, selama saya mendampingi Grand Duchess—belajar mengenai administrasi Vordane dan mengenali lingkungan kastil, saya tidak menemukan satu pun tanda-tanda aneh atau perilaku mencurigakan."Alis Leonhard terangkat. "Tidak ada sama sekali?""Tidak ada, Yang Mulia. Grand Duchess belajar dengan sangat baik dan cepat. Ia sopan pada semua pelayan, meskipun beberapa dari mereka jelas masih menjaga jarak. Dan..." Theo berhenti sejenak, "… Grand Dhucess bahkan beberapa kali terlihat di area dapur, mencoba membantu atau sekadar berbincang dengan para juru masak. Mereka bilang beliau cukup ramah."Leonhard mendengus kesal. Hasil in
"Ssstt ...." pria yang menepuk pundak Lyra meletakkan jari telunjuknya di bibir. "Jangan bersuara, apa Yang Mulia ingin ketahuan sedang mengintai?" Lyra hampir terkena serangan jantung melihat pria berambut gondrong itu. Dan pertanyaan pria itu membuat Lyra merasa seperti tertangkap basah, meskipun ia hanya penasaran. Theo dengan sigap menarik lengan Lyra sedikit, menjauh dari celah pilar tempat Lyra bersembunyi. "Sungguh tidak berkelas seorang Grand Duchess membuntuti anggota keluarga Vordane lainnya. Apalagi menguping pembicaraan pribadi." Tegur Theo. Lyra menarik lengannya dari cekalan Theo. "Saya tidak membuntuti atau menguping. Saya hanya ... curiga melihat Lady Mathilda memberikan..." "Curiga?" Theo menebas ucapan Lyra, Ia sedikit memiringkan kepala. "Dengan segala hormat, Yang Mulia, di kastil ini, yang paling patut dicurigai saat ini adalah Anda." Kata-kata itu menusuk. "Jadi, bersikaplah seperti wanita bangsawan yang baik dan terhormat. Jika Anda tidak ingin menambah
Perintah Kaisar Edmure telah dikeluarkan dari Ibukota kekaisaran. Surat resmi bersegel kini dalam perjalanan panjang menuju Utara, membawa undangan pesta pengangkatan yang penuh agenda tersembunyi. Namun, undangan dari Ibukota membutuhkan waktu untuk melintasi pegunungan dan hutan belantara menuju Kastil Vordane. ___"Kemana ya?" Lyra tampak celingak-celinguk di sebuah persimpangan koridor kastil megah yang terasa membingungkan. Wanita berambut hitam legam dengan mata hijau emerald yang kini tampak lebih hidup itu memperhatikan arah dengan saksama. Saat ini, Lyra sudah tampil lebih segar, ia mengenakan gaun informal berwarna hijau lumut yang senada dengan iris matanya, salah satu pilihan paling 'sopan' yang ia temukan."Ke kiri Sayap Timur... tempat Count dan Lady Celeste," gumam Lyra. "Ke kanan Sayap Barat... entah apa di sana. Berarti lurus ini... oh, penunjuknya bilang Sayap Utara! Ruang kerja Grand Duke pasti di sana!" Seru Lyra pelan pada dirinya sendiri, lalu melangkah dengan
"Kau benar-benar wanita sinting!" sungut Leonhard. Pria bermata biru laut itu segera berpaling. Tidak tahan melihat tubuh polos istri palsunya. Debaran jantung Leonhard terasa maraton, melebihi saat ia berlari menerjang musuh. Di belakang tubuh Leonhard, Lyra memasang wajah polos seperti tak berdosa. Wajar bukan, seorang istri bertelanjang di depan suaminya? Di mana letak kesalahannya? Mengapa suaminya seperti melihat hantu, saat Lyra menawarkan diri? "Yang Mulia, saya hanya ingin menyapa. Bukankah membungkuk adalah sebuah kewajiban? Dan ... Melayani?" tanya Lyra polos. Leonard memijat pangkal hidungnya dengan frustrasi. Lagi-lagi ia mendapatkan skakmat dari Lyra, membalikkan perkataannya tempo itu. Ya, patuh dan sopan. "Dengar, itu bukan sapaan! Sapaanmu terlalu vulgar!" ujar Leonhard. Sret! Leonhard menarik kain sutra tirai pembatas, ia melempar ke belakang tanpa menoleh. "Tutupi tubuh kurusmu! Kau pikir aku anjing pemburu yang suka menyantap tulang? Dan to
Pagi menjelang, setelah malam penuh teror dan pagi yang diwarnai tuduhan serta perintah baru untuk diawasi, Lyra kini tengah berendam dalam kolam pualam berisi air hangat yang menebarkan aroma mawar dan lavender. Uap tipis mengepul, memburamkan tepian ruangan mewah itu. Pelayan telah menyiapkan segalanya—minyak wangi, handuk tebal dan lembut, bahkan segelas kecil jus buah dingin di meja marmer kecil di sisi kolam. Tujuan Lyra hari ini, memulai peran barunya, belajar, dan mencari tahu seluk-beluk kastil terkutuk ini.'Dilayani seperti ini... disiapkan makanan tanpa harus mencuri dari dapur, tidur di ranjang empuk tanpa takut cambukan di pagi hari... rasanya seperti mimpi,' pikir Lyra sambil memejamkan mata, membiarkan kehangatan air memeluk tubuhnya yang masih terasa nyeri. Lyra tidak pernah membayangkan akan merasakan kenyamanan seperti ini. 'Benar-benar seperti seorang putri sungguhan.'Faktanya, kenyamanan itu datang dengan harga yang terlalu mahal. Sekilas bayangan masa lalunya
Brak!Leonhard mendobrak pintu ruang dokumentasi dengan keras, membuat kertas-kertas di meja berhamburan pelan. Amarah atas keputusan ayahnya dan sikap menantang Lyra masih membara.Di dalam ruangan yang dipenuhi rak-rak buku dan gulungan perkamen, seorang pria berambut pirang panjang yang diikat rapi ke belakang, mengenakan kemeja putih berompi hitam, mendongak dari pekerjaannya. Wajah yang dingin dan aristokratik itu menatap Leonhard tanpa terkejut, hanya sedikit jengkel. Dia adalah Theo, sekretaris pribadi sekaligus teman satu angkatan Leonhard waktu di tempat pelatihan. "Yang Mulia Grand Duke, bisakah Anda setidaknya mencoba mengetuk pintu terlebih dahulu? Pintu yang baru saja Anda tendang itu sudah mengalami sepuluh kali perbaikan sejak saya menjadi sekretaris Anda." Ucapan Theo datar, tanpa takut, lebih seperti teguran pada teman lama.Leonhard tak bergeming mendengar sindiran Theo. Ia melangkah masuk, menjatuhkan dirinya dengan kasar ke sofa kulit di depan meja kerja Theo. D