Apa yang terjadi pada Nasya tentu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, Anjas tidak pula memberikan perhatian yang lebih pada istrinya dan Nasya seoalah melewati hari demi hari tanpa tahu bahwa dia sedang sakit.
Sering kali Nasya tidak meminum obatnya karena dia tidak ingat bahwa dia harus meminum obat, sering kali pipa dia hanya berada di kamarnya sendirian dan makan jika diingatkan. Anara yang seharusnya menjadi sosok yang membantu Nasya dalam menyembuhkan luka malah menjadi penyebab dari hadirnya luka yang dirasakan oleh Nasya. Sekarang tak ada yang bisa membantunya, apalagi orang tua Nasya tak ada yang tahu akan penyakit yang diderita olehnya. Parahnya Nasya bahkan tidak mengingat bahwa dia sedang hamil jika saja dia tidak diingatkan oleh Anjas dan Anara. Ketika Nasya yang seharusnya tidak masuk mengajar karena masih dalam kondisi yang sakit, Anjas berkata kepadanya, "Hari ini tidak usah masuk mengajar," katanya saat Nasya sedang bersiap-siap. "Kenapa, Mas?" "Istrhat aja nanti bahaya buat bayi kita, kalau kamu sibuk terus," kata Anjas dengan nada suara yang dingin. Nasya mengernyit dan menyentuh perutnya sendiri yang masih belum begitu menonjol. "Emang aku hamil Mas?" Anjas tampak menghembuskan nafas panjang, tak merespon istrinya lagi dan pergi dari sana setelah menutup pintu. Waktu ingatan Nasya bertahan hanya sekejap, paling lama ada lima puluh satu detik, dan paling cepat adalah tujuh belas detik. Dia keluar dari kamarnya dan di ruang tamu Anjas terlihat berbicara dengan Anara yang terlihat manja di depan suami kakaknya sendiri, Anjas bahkan menyentuh pipi Anara dengan lembut. Anjas berkata sebelum pergi, "Jaga Mbak kamu, ya jangan sampai keluar rumah," kata Anjas sambil tersenyum pada Anara tepat di hadapan Nasya. Sementara Nasya merasa bingung apa yang terjadi. Kenapa suaminya bersifat begitu manis pada Anara. Kemudian Anjas keluar dari rumah, berangkat ke kantor dan Nasya yang tidak terima dengan sifat adiknya lalu membentak Anara. "Apa-apaan kamu, Nara. Kenapa kamu kayak gitu didepan Mas Anja, kok kamu kegenitan gitu sama suami kakak kamu sendiri!" Nasya membentak dengan mata yang nanar, penuh dengan amarah. Anara diam sejenak dan berkata lagi, "Mbak kayaknya aku mau beresin meja makan, tadi Mas Anjas habis sarapan," kata Anara yang membuat Nasya terhentak sejenak. "Oh gitu ya, astaga, maaf ya Dek kamu di sini kerjanya cuman beres-beres rumah, eh kamu nggak kuliah ya?" Nasya tentu lupa akan apa yang terjadi sebelumnya dan mereka kini berjalan ke dapur, Anara kembali menjelaskan kepada sang kakak bahwa dia sedang tidak kuliah karena tidak ad jadwal kuliah, padahal sebenarnya dia sudah berhenti kuliah beberapa bulan lalu. Terlihat senyum miring di bibir Anara yang memperlihatkan betapa liciknya gadis ini. Dia bahkan membiarkan kakaknya menderita penyakit yang sangat sulit untuk disembuhkan, apalagi Nasya saat ini sedang hamil yang menunjukkan sifat licik dari Anara. "Mbak besok aku mau keluar sore, bisa nggak Mbak, soalnya Anara mau ketemu sama teman-teman," kata Anara yang saat ini sedang mencuci piring di wastafel, sementara Nasya sendiri hanya duduk merenung. Dia sering kali melakukan hal seperti ini. "Boleh dong, kan kamu juga pasti capek terus menerus di rumah, apalagi kamu banyak banget pekerjaannya kan," kata Nasya yang tersenyum pada sang adik. Padahal sebenarnya ada sesuatu yang direncanakan Anara, yang tentu saja tidak ada hubungannya dengan teman-temannya, toh dia tidak punya teman selama tinggal di rumah Nasya. Lagi pula walaupun Anara meminta izin pada Nasya tetap saja Nasya tidak akan ingat bahwa Anara pernah meminta izin. Walaupun sebenarnya tingkat alzheimer dari Nasya masih tergolong paling lemah, dan belum begitu parah, tetapi jika dia tidak memeriksakan diri pada dokter maka penyakitnya akan semakin parah. Sepanjang hari, Nasya hanya berada di rumah, tidak melakukan apa pun, duduk di teras, masuk ke dalam ruang tamu, menonton televisi atau bahkan tidur, tanpa tahu apa yang harus dia lakukan. Ketika masuk ke dalam ruang tamu, melihat adiknya Anara yang berpakaian mini dan sedang menelepon seseorang dia mendengar apa yang dikatakan adiknya. Terdengar bahwa Anara sedang berbicara dengan seorang pria tapi Nasya tidak tahu dengan siapa adiknya berbicara. "Kamu kayaknya punya pacar," kata Nasya yang tiba-tiba muncul di dekat Anara. "Hmm hehehehe iya Mbak," jawab Anara dan Nasya duduk di samping Anara sambil berkata, "Mbak nggak masuk ke kamar aja istrhat." Tiba-tiba Nasya terdiam dan berpikir bahwa seharusnya dia berada di sekolah, "Aku kan seharusnya di sekolah," kata Nasya yang tiba-tiba berdiri membuat Anara bingung akan mengatakan apa. "Tapi mbak ...." "Aduh gimana ini, aku pasti udah terlambat masuk ngajar." Nasya tiba-tiba panik sementara Anara mengeluh. "Gini nih kalau harus hadapin orang pikun, belum tua juga!" Dia berdecak kesal dan menghentikan kepanikan Nasya. "Kamu ngomong apa tadi, kamu manggil aku pikun." Sepertinya Nasya yang pemarah sekarang mulai muncul, "Kok mulut kamu kayak gitu sih, Dek. Udahlah aku mau istirahat aja!" Mendengar apa yang dikatakan Nasya membuat Anara menganga, dia menatap Nasya dengan tatapan tajam dan seoalah ada kebencian di dalam dirinya kepada Nasya. "Ya udah istirahat aja, nggak usah bangun sekalian!" Anara yang berbisik sendiri, melihat punggung Nasya menghilang yang kini Nasya masuk ke dalam kamar. Dia tidak menyadari sesuatu bahwa waktu sudah sore dan sebaiknya dia tetap berada di rumah, hanya saja Anara saat ini juga hanya berada di kamarnya, tentu yang dia lakukan adalah bermain ponsel. Sementara Nasya yang tidak mengingat sadar bahwa hari sudah sore merasa sudah terlambat untuk mengajar sementara selama ini Anjas sudah meminta agar Anara diberhentikan dari sekolah, permohonan Anjas masih diproses tapi Nasya tidak tahu hal ini. Dengan percaya diri, Nasya menggunakan seragam dinas mengajarnya keluar dari rumah, berjalan sekitar seratus meter untuk sampai di jalan raya, di sana dia akan mengambil angkutan umum tetapi bukannya angkutan umum yang berhenti di hadapannya, melainkan mobil hitam mengkilat yang terlihat cukup mewah. Nasya terhentak dan tidak tahu siapa pemilik mobil itu, tetapi mobil hitam itu berhenti tepat di hadapan Nasya, kaca mobil penumpang terbuka dan seseorang mengeluarkan kepalanya dari sana. "Nasya." Nasya menoleh ke arah si pria dan melihat Jaka dengan kacamata hitam yang menutupi kedua kelopak matanya. "Kamu mau ke mana, bukannya ini udah jam pulang mengajar ya?" "Hmm ... Aku nggak tahu Mas mau ke mana."Keputusan yang sangat berat, membuat Nasya melupakan semuanya lalu menulis kenangan baru? Itulah yang disampaikan oleh Anjas kepada Aina yang saat ini masih mengejar Jaka, ya berkat dukungan ibu Jaka. "Itu bisa menjadi peluang mu, Anjas, kau bisa kembali menarik perhatian Nasya jika itu terjadi, sementara Jaka, dia sulit merayu seorang wanita, Nasya akan sulit jatuh cinta padanya." "Nasya membenciku." Anjas yang sekarang memainkan secangkir kopi yang berada di hadapannya, dia menoleh ke samping dan berkata lagi, "Jaka bahkan berhasil membuatku ragu tentang anakku sendiri, dia berkata seharusnya aku mengecek kondisi fisik ku, secara tidak langsung dia mendidih aku mandul." Anjas mengepalkan tangan. "Jadi, Jaka berpikir bahwa Aysan adalah anaknya?" "Entahlah. Aku tidak tahu, hanya saja dengan hal itu, aku meragukan diriku sendiri." Dia lalu meraih gelas berisikan kopi hangat lalu meneguknya dalam sekali tegukan. "Tapi." Iya menekan gelas itu ke meja dan hampir meremukkan dengan tang
"Kau, astaga kau pikir kau siapa!" Jaka menghentakkan tubuh Anjas ke lantai dan kepalanya terbentur tepat ke dinding. "Kau sudah menghancurkannya, sejak awal, kau merebutnya dariku dan berharap agar bisa merebut Nasya lagi? Kau membuatnya menderita dan kau pikir kau akan mendapatkan kesempatan lagi hanya karena dia melupakan banyak hal tentang ku, he?" Jaka memberikan pelajaran pada Anjas walaupun dokter berusaha menenangkan Jaka tapi tetap saja kemarahan Jaka luar biasa, walau demikian Anjas juga Tidka ingin tinggal diam, dia lalu berdiri dan melawan Jaka dengan perkataan. "Walau pun kau berusaha keras untuk mengambil Nasya dariku, aku pastikan bahwa dia tidak akan mau dengan mu! Sia mencintai ku selamanya, dan aku adalah ayah dari putranya, aku adalah ayah Aysan."Jaka alu tertawa terbahak-bahak, dia maju selangkah, matanya seolah akan segera keluar dari kelopak matanya dengan urat wajah yang begitu terlihat jelas. "Aku pikir kau tahu soal ini, Anjas." Jaka tertawa, dia menggelen
"Apa yang harus aku lakukan Dok? Dia bahkan tidak bisa mengingat anaknya sendiri." Jaka tampak frustasi, luar biasa, dia meremas rambut tebalnya dan mengepalkan tangan satunya. Dokter yang duduk di belakang meja hanya bisa menghela nafas melihat betapa frustasinya Jaka. "Satu-satunya jalan adalah melakukan operasi, beda, ini bukan hanya mengenai psikologis Bu Nasya, tapi juga terjadi benturan di kepalanya, bukan hanya trauma tetapi juga masalah di dalam otaknya, kami sudah menemukan titik masalahnya, apa yang terjadi pada Bu Nasya sepenuhnya adalah trauma dan luka dalam." "Jadi ... Apa hal itu bisa membantunya, dokter?" Sang dokter tampak ragu tapi pada akhirnya dia menganggukkan kepala, dan berkata kepada Jaka, "Ya, kami akan melakukan yang terbaik untuk Bu Nasya dan Anda, Anda tak perlu cemas, serahkan semuanya kepada medis, Pak Jaka." Jaka merasa bahwa dia diberikan sebuah pencerahan yang dapat membuatnya merasa lega sempurna. Dia lu berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan
Jaka panik luar biasa stelah dia melihat Nasya saat ini berada di dalam mobil yang berbeda dengannya, sebuah mobil taksi ke sebuah tempat yang dia kenali, yaitu rumah Anjas. Rupanya Nasya masih mengingat mengenai rumah mantan suaminya, tapi memorinya selama tiga tahun berlalu tidaklah dia ingat. Sementara di sisi yang lainnya Aysan sekarang berada di dalam rumah sakit dan berada dalam perawatan yang serius, yang membuat Jak betul-betul tidak bisa memahami situasi dan bagaimana dia akan mengontrol semua ini, semua yang terjadi sekarang. Walau pun seperti itu, dia tidak bisa melakukan apa pun selain ikut di belakang mobil taksi yang Nasya tumpangi, dan kini mobil itu berhenti tepat di hadapan rumah Anjas, sore sudah tiba, dan mungkin Anjas sudah berada di rumah saat ini, karena sudah jam pulang kantor. Nasya yang keluar dari taksi langsung menggedor-gedor pintu sambil berteriak di depan pintu, "Anjas, Mas, tolong cepat buka pintunya." "Nasya." Tangan Jaka langsung mencengkeram lenga
"Astaga." Kepanikan tentu saja sekarang dirasakan oleh Nasya, melihat bocah yang terus-menerus memanggilnya Mama sekarang terjatuh dari tangga menuju lantai paling bawah dan sekarang tubuhnya membeku tidak tahu bagaimana dan apa yang harus dilakukan olehnya. Tetapi beberapa saat kemudian dia tersadar bahwa kekacauan itu terjadi karenanya, Lalu Nasya kemudian berlari menuruni tangga. "Aku mohon jangan terjadi sesuatu, kamu harus baik-baik saja, apa yang aku telah lakukan padanya." air mata kemudian mengalir dari pipinya. dia langsung membungkuk dan meraih tubuhnya yang kepalanya sekarang terbentur dan mengalir darah dari sana. bocah ini tidak sadarkan diri Nasya sama sekali tidak tahu bagaimana harus apa. Jadi yang dia lakukan adalah mungkin membaca itu dan keluar dari rumah, ke arah pos satpam. Nasya sekarang panik lalu berteriak, "Tolong, terjadi sesuatu, Tolong! Bantu aku, Pak." satpam yang sedang meminum kopi dan membaca koran di pos satpam yaitu mendengar suara Nasya langsung
"Akan ada operasi yang mungkin kau akan lakukan, jadi aku mohon janga membangkang untuk kesembuhan kau, Nasya, aku harap aku paham." Jaka yang saat ini masih memandang ke arah Nasya yang duduk di hadapannya. sebenarnya pikran Nasya masih ingin percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jaka tetapi sepertinya berbeda dengan hati Nasya yang tentu saja masih berpikir bahwa Anjas atau mantan suaminya itu adalah pribadi yang setia dan tidak mungkin menghianati Nasya. jadi Nasya masih memilih untuk tidak mempercayai apa yang Jaka katakan. "Aku hanya ingin sekali saja bertemu dengan Anjas dan mendengar apa yang dia katakan, jika kau mengurungku seperti ini bagaimana aku bisa percaya kepadamu, aku sama sekali tidak ...." dia menundukkan kepala dan merasa bimbang dengan apa yang harus dia katakan. Sesekali dia menelan saliva dan mencoba berpikir kata apa yang harus dia keluarkan dari mulutnya. "tentu saja ... astaga apa yang harus aku katakan lagi agar bisa membuat kau percaya. sepertinya tidak