Tidak semua ibu mertua jahat seperti ibu tiri bak dongeng. Hanya saja, ada mertua yang kerjaannya ikut campur urusan rumah tangga juga kehidupan anak menantunya. Termasuk Gendis. Ibu 4 orang anak yang 'sadis' mendidik anak-anaknya. Bahkan, saat tragedi menimpa anak sulungnya, Gendis tetap pasang badan. Protektif, mengatur demi kebahagiaan anak, menantu dan cucu adalah jalan ninja mencapai tujuannya, yaitu punya keluarga harmonis. Rintangan datang saat cobaan hidup menimpa keempat anaknya bergantian, bisakah Gendis tetap dengan prinsipnya? ••• Novel keluarga, yang seru! Karena latar belakangnya ada beberapa terinspirasi dari kisah nyata. Selamat membaca!
View More💐
"BURUAAANNN!" teriak Gendis, wanita berusia lima puluh tahun berdiri berkacak pinggang di ruang tamu rumah dengan empat kamar.
"Ya ampun, Bu ... sabarrrr!" balas Nanda, anak keempatnya yang masih SMA kelas dua.
Grabak grubuk heboh di dalam rumah pasti terdengar setiap harinya. Tanpa terkecuali!
"Bu, santai sedikit, lah," bisik Agung, suaminya sembari menepuk bahu Gendis.
"Ssstt! Diem, kamu, Yah! Anak-anak kalau nggak diteriakin leletttt kayak siput! Kamu ke mobil duluan aja," perintah Gendis.
"Pake mobil yang mana, Bu?" Agung menghadap ke gandungan kunci kendaraan tergantung rapi.
"Truk pasir aja!" sahutnya enteng masih menatap empat anaknya yang mondar mandir, ada yang ambil sepatu, dandan tipis-tipis di meja makan, minum kopi sambil sisiran. Rame pokoknya rameee!
Agung hanya bisa tertawa pelan lantas berjalan ke garasi setelah membawa kunci.
"Abang Daffa! Mana topi toganya! Buruan itu kopi habisin! Yang mau wisuda geraknya lambat banget! Hih!" kesal Gendis seraya menghampiri Daffa yang kembali meneguk kopinya.
"Tau, lama banget lo, Bang?" sambar Raffa, adiknya yang sudah siap dengan batik lengan panjang.
"Bu, ayo!" panggil Nanda dan Kirana, anak keempat dan tiga yang sudah berdiri di teras rumah.
Daffa bangkit dari duduknya, ia ambil topi toga di dalam kamarnya. Raffa bersiap mengunci pintu rumah dan pagar.
"Raf! Kuncinya kasih ke satpam, Mbak Inong nanti dateng jam sembilan." Gendis membuka pintu depan mobil.
"Iya, Bu. Bang! Bantuin itu Ibu naik, awas buntut kebayanya nyangkut!" Raffa memberi peringatan. Daffa bergumam, ia bantu Gendis masuk ke dalam mobil juga merapikan kebaya ibunya.
Mobil alpart hitam akhirnya melaju di jalan tol. Sepanjang jalan sampai lokasi wisuda, Daffa sibuk bicara di telepon dengan kekasihnya. Kirana dan Nanda sampai bosan, jika Raffa ia tidur karena semalam habis rapat acara RT sampai jam sebelas malam.
"Udah dulu kali, Bang ... di sana Yasmin juga dateng, kan?" sindir Gendis.
Daffa memberitau Yasmin, lantas menyudahi obrolan di ponsel. "Iya, Bu. Bentar doang," sahutnya santai.
"Sebentar palamu benjut! Udah dua puluh tiga menit kamu ngobrol?!" celoteh Gendis sambil menunjukkan stopwatch ponselnya.
"Kamu itung, Bu?" Agung takjub.
"Iya, lah! Itu kuping Daffa apa nggak demam?" Gendis akan selalu sewot jika ada hal yang tak sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan berdasarkan rapat paripurna kelurga.
"Bu, gitu-gitu calon mantu, jangan galak-galak, lah?" sahut Daffa santai. Gendis menoleh ke belakang, Agung menatap dari spion tengah, Kirana dan Nanda saling menatap. Untuk Raffa, maaf, masih pules.
"Maksudnya?" tekan Daffa.
"Target Abang, setelah kerja setahun, mau lamar dia, Bu. Pacaran sama Yasmin udah dua tahun, cocok, mau apa lagi, kan?" Daffa senyam senyum puas.
"Ibu tanya sama kamu, Bang. Pertama, kamu kerja masih baru empat bulan dengan gaji lima juta. Kedua, masih kontrak enam bulan, belum tentu kamu diangkat jadi pegawai tetap. Ketiga, nggak ada ya kamu nikahin Yasmin kerjaan kamu belum tetap. Jangan bikin malu keluarga kita!" pelotot Gendis.
"Bu ... rejeki bisa ngalir sambil ibadah menikah, Bu ...," rengek Daffa.
"Betul, Bang. Masalahnya ini kamu ... kamu lho ... Daffa anak Ibu dan Ayah yang leletnyaaaa super! Berangkat kerja kalau nggak bareng Ayah bisa bedug dzuhur kamu sampe. Setiap hari Ibu bekalin makanan sama snack ngalahin cucunya Wanda yang udah SD kelas satu! Nggak pake ... nggak pake! Nikah lima tahun lagi. Umurmu pas dua enam!"
Raffa bergeliat, ia melirik Daffa lalu menepuk-nepuk bahu abangnya.
"Nurut, Bang. Dari pada lo dimasukin ke perut Ibu lagi. Udah gue nasehatin ngeyel sih," tukan Raffa.
"Tau lo, Bang. Ntar aja sih nikahnya. Sekarang mau wisuda aja Ibu segala pake acara syukuran kayak mau hajatan, apalagi lo nikah. Sebagai anak pertama mana mungkin Ibu bikin acara sederhana." Kirana mengingatkan Daffa.
"Udah ... jangan bahas nikah. Tuh, udah ramai, banyak orang. Diundangan cuma bisa orang tua yang masuk di kursi VIP. Raffa, Kirana dan Nanda masuk lewat pintu tamu umum, bayar, ya, Bang?" Agung memarkirkan mobil.
"Iya, Yah. Satu orang gocap." Daffa bersiap memakai topi toganya.
"Nih, Raf, pegang uangnya." Agung memberikan dua lembar seratus ribuan ke Raffa. Ia masukan uang ke dompetnya.
Gendis merapikan penampilannya, kebaya pink fusia cetar di mata siapapun yang memandang. Agung memakai setelan jas warna hitam berkemeja putih dipadu dasi warna fusia.
"Bu, Yah, nanti kalau disebutin nama Abang, sorak sorak gembira, ya," pinta Daffa.
Gendis melirik sebal. "Maaf, ya, Bang, attitude Ibu mahal," sahut Gendis mengamit lengan Daffa berjalan ke dalam gedung.
Gendis dan Agung duduk di kursi bagian depan. Keduanya menunggu para wisudawan dan wisudawati masuk.
"Ibu, orang tua siapa?" tegur seorang wanita di samping Gendis.
"Daffa Pradana, jurusan teknik sipil. Ibu?" balas Gendis.
"Saya Ibunya Firman Husada Putra, teknik sipil juga. Kayaknya temenan sama Daffa, ya?"
Gendis mengernyitkan kening. Firman mana, lupa juga Gendis, kan?
"Saya yang jualan buah di pasar, Bu."
Gendis terbelalak. "Ya ampun! Iya inget. Akhirnya ketemu kita. Apa kabar, Bu?" Keduanya bercipika cipiki. "Sehat?" Gendis tersenyum lebar.
"Sehat, Bu. Saya mau ucapin makasih ke Ibu, waktu itu pesen jeruk, apel, anggur sampai berpeti-peti. Makasih, ya."
Gendis tersenyum. "Sama-sama, kita sesama pedagang harus saling dukung. Lagian buahnya bagus-bagus."
"Iya, Bu. Pasti kualitas super yang saya pilih. Ngomong-ngomong, Ibu tau kalau Daffa cumlaude? Kata Firman, urutan pertama setelah itu Firman."
"Hah?" Gendis menganga. Ia sungguh tak percaya. Daffa, anak sulungnya yang terkenal manja dan lelet, kalau tidak dibawelin tidak akan gerak, bisa cumlaude?
Benar saja, saat nama Daffa dipanggil lengkap beserta title sarjana juga nilai cumlaude, Gendis hanya bisa tersenyum meringis keheranan sembari tepuk tangan. Sedangkan Agung begitu bangga dan haru.
Tiga adik Daffa, semua keheranan. Bak mimpi ternyata kakak sulungnya sepintar itu.
Selesai acara wisuda, di depan gedung tersebut Yasmin datang membawa buket bunga untuk Daffa.
Lirikan mata Gendis membuat Kirana menyikut lengan ibunya. "Bu, jangan gitu," bisik Kirana.
"Biarin. Ke acara wisuda masa pake bajunya kayak gitu. Kamu nggak lihat dressnya kayak menerawang. BHnya kemana-mana gitu. Buruan ke mobil. Kita ke studio foto!" ajak Gendis kesal.
"Tante, mau kemana?" sapa Yasmin.
"Ke mal. Mau ikut?" Gendis basa basi.
"Mm... nggak, Tante. Yasmin buru-buru mau pergi sama temen-temen. Tante Gendis sehat, kan?"
Gendis mengangguk. Ia lantas menarik Agung berjalan ke arah mobil. Mereka meninggalkan Daffa yang masih ngobrol dengan Yasmin.
***
"Anak sekarang emang kayak gitu, Dis. Kamu kayak nggak pernah muda," tegur Soraya. Teman satu arisan, satu klub jalan santai dan satu klub line dance.
"Enak aja memaklumi gaya anak sekarang apalagi sampe berani pake baju kayak gitu." Gendis bersingut sebal. "Apa orang tuanya nggak negur? Gemes aku, mau tak ceramahi."
"Jangan. Belum jadi mantumu. Kita tunggu Endah sama Yuni, setelah itu ke tempatmu." Soraya duduk kembali di sofa ruang tamu rumahnya.
"Mau ngapain ke tempatku? Reservasi arisan? Bosan, ah, jangan di tempatku," tolak Gendis.
"Bukan buat arisan, tapi buat acara lamaran keponakanku."
"Oh, yaudah kita ke sana. Eh, Ya. Aku bikin syukuran Daffa udah wisuda juga kali ya, undang warga satu RT aja, gimana?"
Soraya berpikir sejenak. "Mau ngapain? Kamu nanti dibilang pamer sama tetangga ujung. Si ratu julid lambe jeber."
"Syukuran sama dengan berbagi, Ya," bela Gendis.
"Bikin masi box, kamu taruh di masjid, bagi-bagi ke yang pulang jumatan. Lebih berkah. Lagian orang tau siapa kamu dan Agung, kok, butuh validasi apalagi?" Soraya merapikan tatanan rambutnya.
"Aku nggak mau validasi, cuma bentuk syukur anakku ada yang sudah sarjana." Gendis masih sedikit keras kepala.
Soraya tetap melarang, ia tak mau temannya jadi bahan gossip tetangga lagi karena dikit-dikit bikin acara ini dan itu. Biasa, kan, pembenci akan selalu ada.
"Daffa tau kamu nggak suka sama Yasmin?" Soraya kembali ke topik awal.
"Nggak. Kasihan. Biar aku perhatiin dulu sejauh mana sikap Yasmin. Mau jadi bagian keluargaku, nggak usah neko-neko. Sederhana dan apa adanya aja, bukan ada apanya."
Gendis sendiri pemilik rumah makan khas sunda, toko roti dan kue yang sudah sepuluh tahun berdiri.
Berawal dari iseng karena bosan di rumah, ia nekat minta izin Agung untuk buka usaha. Tabungan dikuras, menyisakan dana untuk hidup sehari-hari saja.
Ia rintis dari nol besar. Sedangka suaminya bekerja sebagai direktur keuangan perusahaan maskapai penerbangan.
Seharusnya mereka bisa membeli rumah mewah di kawasan elite, tapi bagi Gendis, hidup sewajarnya, beli mobil mewah jika mampu, jalan-jalan kemanapun jika mampu juga. Jangan sampai memaksakan diri.
Rumahnya juga sederhana, tak ada lampu kristal mahal, lantai marmer atau granit, semua apa adanya. Cenderung merendah.
Gendis berwatak keras, judes dan kalau sudah marah, cerewet tujuh hari tujuh malam sampai puas ia luapkan juga bisa.
Harapannya satu, anak-anak bahagia dengan cara yang baik juga wajar, maka ia akan bahagia. Pasalnya Gendis tau, mencapai kebahagiaan apalagi saat berumah tangga akan terjal jalanannya,
bersambung,
Selamat membaca, _____Gendis, wanita keras kepala itu bahkan tak mendengarkan saran dan tiga teman dekatnya. Ia yakin dirinya tak salah karena tujuannya baik, mau kehidupan anak-anaknya selalu mulus. Siapa yang bisa menyangka jika pada akhirnya rencana yang sudah disusun tak bisa berjalan sesuai harapan. Pertama, Nanda ngambek karena Gendis membeli mobil untuknya dan meminta itu dikembalikan ke penjual tanpa Nanda peduli ribetnya seperti apa. Tak sampai disitu. Anak yang selama ini penurut, perlahan membangkang karena ulah Gendis sendiri. Sepulang dari Semarang, Nanda pindah kosan tanpa izin dengannya juga Agung. Satu minggu tidak membalas telpon atau whatssapp Gendis juga ketiga kakaknya. Semua panik. Apalagi saat tau sedang marak penipuan yang pelakunya mahasiswa. "Nanda kemana kamu?" Gendis tak bisa tidur nyenyak, ia butuh tau anak gadisnya kemana. Di kampus juga tak ada. Gendis sudah bertanya ke teman kuliah Nanda. Suara sepeda motor berhenti di depan pagar rumah. Gendis be
Selamat membaca ____Aisyah dan Daffa tinggal dikosan sudah dua hari. Sebagai istri yang juga punya kegiatan berjualan secara online, Aisyah gunakan waktu saat Daffa kerja dengan mencari uang walau hanya di dalam kamar. "Ayo, cepetan. Promo dari aku masih lima menit lagi. Yakin nggak minat sama kerudung ini? Bagus lho, yok, buruan di check out!" Aisyah begitu bersemangat. Ia punya dua ponsel, yang satu khusus untuk jualan. Ponsel satunya berbunyi, Daffa menelpon, karena sedang siaran langsung, Aisyah tidak bisa menjawab, diabaikan saja. Sedangkan Daffa, di kantor tampak uring-uringan karena khawatir istrinya kenapa-kenapa. Entah kelelahan, atau jatuh karena wanita hamil besar suka mendadak lemas. Hasil artikel yang ia baca dan ingat saat Yasmin si mantan istri dulu hamil, terasa lemah sekali juga manja. Daffa mendengkus, ia meremas kedua jemari tangan. Gelisah. Ruangannya diketuk, seorang OB masuk sambil membawa nampan coklat. "Pak Daffa, ini ada kiriman makan siang dari istrinya
selamat membaca ----Tidak pernah dibayangkan Aisyah jika kini ia dan Daffa bisa jalan bersama apalagi di mall. Rasa canggung jelas saja menyapa keduanya. Aisyah mendadak gugup, sesekali membuang pandangan ke arah lain karena Daffa memperhatikannya. "kamu mau langsung makan apa mampir beli sesuatu?" Aisyah menoleh ke arah suaminya, kedua mata berkedip cepat karena merasa terkejut dengan pertanyaan tadi. "Makan dulu aja, aku laper," tukas Aisyah jujur. Daffa mengangguk. Ia meminta Aisyah memilih makan siang mereka, kembali wanita berhijab lavender itu bingung. Pasalnya, ia tak memilih makanan dan diajak makan kemanapun pasti mau. "kamu aja deh, Mas, yang pilih. Terserah." Daffa memandangi sekeliling hendak memilih keduanya makan siang di mana tapi tiba-tiba seseorang memanggil dirinya, sontak Aisyah ikut menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita melambaikan tangan ke arah Daffa. Aisyah memandangi suaminya, Daffa hanya diam dengan ekspresi bingung. "Pak Daffa, kok ada di sini
Halo, selamat membaca-----Seketika Daffa kepikiran dengan kata-kata Aisyah. Sambil berjalan mengekor sang istri masuk ke dalam rumah, Daffa tak sanggup menegur. Rasanya kalimatnya tertahan di kerongkongan. "Aku mau ke rumah Raffa, kamu mau ikut?" ajak Daffa saat Aisyah duduk di ruang makan menikmati jajanan yang dibeli. Ia hanya menjawab dengan gelengan kepala. Kursi meja makan diseret perlahan, Daffa duduk berjarak dengan Aisyah. "Aku tau Bariq suka sama kamu karena ada informan yang bilang, Syah."Aisyah melirik tajam sebelum kembali menatap layar TV yang menyala. "Aku nggak mau rumah tanggaku hancur lagi." Kepala Daffa sedikit menunduk, ia juga remas kedua jemari tangannya yang diletakkan di atas meja makan. Kembali hanya lirikan yang bisa Aisyah layangkan ke suaminya. Keduanya sama-sama diam bahkan hingga Aisyah selesai makan, tak ada pembicaraan lagi. Daffa beranjak cepat menuju kamar, sedangkan Aisyah menatap kosong ke arah tempat menjemur baju dari jendela dapur. "Mbak A
Aisyah akhirnya makan buah-buahan di rumah juga minum susu ibu hamil supaya asupan untuk bayi yang dikandungnya tetap terjaga. Gendis dan Agung sudah tidur, jadi Aisyah tak perlu cari alasan lagi kenapa makan sendirian. Daffa sendiri sedang keluar rumah, kumpul dengan teman masa kecilnya yang juga Aisyah tau. Setelah Daffa pulang pukul sebelas malam, Aisyah masih terjaga sambil merapikan lemari pakaiannya. "Kenapa belum tidur?" tegur Daffa. "Belum ngantuk." Aisyah melipat beberapa pakaiannya yang kurang rapi. "Tadi aku juga makan buah dulu, laper," sindir Aisyah mencoba memancing perhatian Daffa. "Oh, sekarang udah kenyang?" Daffa merebahkan diri di ranjang. "Lumayan. Belum makan nasi jadi masih sedikit laper." Aisyah bicara tapi sambil melipat pakaiannya. "Mau beli? Aku pesenin biar diantar ojol." Daffa sudah meraih ponsel yang tadi ia letakkan di nakas samping ranjang. "Mau." Aisyah tak menolak. Lalu ia ingat ada hal yang
Hai, maaf ya lama nggak update. Selamat membaca!Perkara niat mau membeli rumah KPR akhirnya Aisyah urungkan sementara karena kurang setuju jika Gendis, sang mertua ikut campur kesekian kalinya. Aisyah diberitahu Daffa jika akan ada acara ulang tahun perusahaan yang diadakan di hotel berbintang yang ada di pusat Jakarta. Sejak dua hari lalu, Daffa sudah memberikan undangannya ke Aisyah, bahkan ada dress code yang diwajibkan. Setelan jas warna coklat muda, kemeja putih, sepatu pantofel coklat tua sudah Aisyah siapkan untuk dipakai Daffa. Sedangkan dirinya, tak punya gaun malam. Lagi pula ia tak pernah mau memakainya karena terlalu ribet juga memperlihatkan lekuk tubuhnya, tak nyaman. Daffa masuk ke dalam kamar setelah selesai membantu Agung menyiram tanaman di depan sambil berbincang sore. Ia melirik ke Aisyah yang berdiri sambil mencari kerudung warna coklat muda senada dengan setelan jas yang akan dipakai Daffa. "Kamu nggak punya gaun pesta?" tegurnya pelan. Aisyah menoleh ke arah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments