Suara bariton Tama yang tiba-tiba terdengar itu membuat Syera terlonjak. Buru-buru ia menyimpan kembali figura foto mendiang istri Tama itu. Namun … PYAR! Syera yang panik hanya menyimpan asal figura tersebut dan akhirnya benda itu malah jatuh di samping nakas dan pecah. Syera semakin panik dan langsung berjongkok untuk mengambil benda tersebut. Tama pasti mengamuk karena dirinya telah menghancurkan benda yang sangat berharga. “Aw!” Ujung telunjuknya tak sengaja tergores serpihan kaca figura yang telah hancur itu. “Apa yang kamu lakukan?! Minggir!” sentak Tama yang langsung mendorong Syera menjauh dari sana. Ia langsung mengambil foto Kirana—mendiang istrinya dari serpihan figura tersebut dan memastikan foto itu tidak rusak. Dengan jantung yang berdetak dua kali lebih cepat, Syera bangkit dari posisinya. Mengabaikan jemarinya yang terluka dan masih mengeluarkan darah, ia lebih takut mendapat hukuman tidak masuk akal lagi dari lelaki di hadapannya yang tampak sangat murka itu. “Siap
Langkah Utari spontan terhenti setelah mendengar pertanyaannya. Syera pun sontak menghentikan langkahnya dan memperhatikan gelagat aneh yang ditunjukkan oleh wanita di hadapannya. Sudah sejak lama ia menyadari ada sesuatu yang disembunyikan Utari. Syera tak ingin berpikiran negatif, apalagi pada Utari, satu-satunya orang yang berpihak padanya saat ini. Namun, gelagat aneh yang wanita paruh baya itu tunjukkan membuatnya semakin penasaran. Siapa tahu saja Utari mengetahui sesuatu yang dirinya perlukan untuk mencari bukti. “Kenapa kamu malah menanyakan hal seperti itu? Mana mungkin aku tahu siapa yang melakukannya. Sudahlah, jangan berpikir macam-macam. Fokus saja mencari bukti jika kamu tidak bersalah,” sahut Utari setelah lama terdiam. Kemudian, wanita paruh baya itu kembali melanjutkan langkah dengan terburu-buru, seolah sengaja menghindar. Syera yang merasa belum puas atas jawaban Utari bergegas mengejar wanita paruh baya itu. Ia ingin mendapatakan kejelasan sekarang juga. “Justru
Sontak saja, Syera langsung mengubah posisinya menjadi duduk sembari mengeratkan selimut yang membalut tubuhnya. Ia menatap lelaki yang sedang sibuk membereskan sesuatu di lantai, tepat di samping ranjang yang ditempatinya. Jika dilihat dari penampilan lelaki itu, sepertinya dia adalah seorang dokter. Dan alat-alat yang lelaki itu bereskan juga merupakan peralatan medis. Menyadari itu, Syera segera bangkit dari ranjang dan membantu dokter itu. “Maaf, aku tidak sengaja menjatuhkannya dan membuat gaduh. Kamu jadi terbangun. Tapi, aku malah senang karena aku bisa melihat mata indahmu. Ternyata istri baru Tama secantik ini, pantas saja dia menyembunyikanmu,” tutur dokter tampan itu serampangan. “Aku sampai lupa memperkenalkan diri. Namaku Dareen. Kamu Syera, ‘kan?” Syera yang masih terkaget-kaget melihat sikap mengejutkan dokter bernama Dareen itu tetap membalas uluran tangan lelaki itu. Nyawanya masih belum terkumpul dan dirinya malah disuguhi dengan sikap aneh dokter yang menangan
Kalimat terakhir yang Tama bisikkan tepat di samping telinganya membuat jantung Syera berdebar keras. Belum lagi dengan pelukan erat lelaki itu di perutnya. Syera mengerjapkan matanya berulang kali, meyakinkan diri jika yang terjadi saat ini bukanlah mimpi. Syera tidak berani menoleh ke belakang sama sekali. Untuk menggerakkan tubuhnya pun, dirinya tidak berani. Apalagi ia juga merasakan embusan napas panas Tama menerpa tengkuknya. Bisa diperkirakan seberapa dekatnya jarak di antara mereka saat ini. Syera berdeham pelan, berusaha kembali mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. “An-anda harus makan dan minum obat, Tuan. Aku juga harus mengecek Elvina, siapa tahu dia terbangun dan aku tidak ada di sana.” Bukannya menurut, Tama malah semakin mengeratkan rangkulannya pada perut ramping Syera. “Diamlah, aku tidak lapar. Aku hanya ingin tidur, temani aku sebentar saja di sini.” Syera yang biasanya selalu memberontak tak bisa berkutik lagi karena permintaan tersebut. Entah kenapa rasa ibany
Syera yang baru saja terjaga kembali dibuat terlonjak ketika tubuhnya ditarik paksa oleh Rebecca—ibu mertuanya. Wanita itu meringis pelan ketika lututnya bergesekan dengan lantai dan sepertinya sedikit terluka. Rebecca menghempas lengan Syera yang diseretnya, kemudian menepuk-nepuk kedua tangannya, seakan sedang membersihkan kotoran dari sana. “Semakin hari, tingkahmu semakin berani saja! Kamu pikir setelah putraku menikahimu, kamu bisa menjadi nyonya di rumah ini?” Syera yang tak terima atas perlakuan buruk Rebecca langsung berusaha bangkit dari posisinya. Dihiraukannya nyeri yang bersarang di lututnya. Sebelumnya ia tidak sempat melakukan perlawanan, tetapi sekarang tidak lagi. “Apa Anda tidak bisa bertanya baik-baik dulu sebelum melakukan sesuatu, Nyonya? Perlu Anda tahu kalau aku tidak seperti yang Anda tuduhkan. Aku tidak pernah memggoda siapa pun! Putra Anda sendiri yang memintaku menemaninya di kamar ini semalam.” Syera tak menyangka paginya kali ini akan menjadi suram karen
Tanpa sadar Syera melangkah mundur, seakan sedang memberi ruang untuk Tama dan seorang wanita asing yang bersama lelaki itu masuk. Ia berusaha menerka siapa gerangan wanita cantik berpakaian modis itu. Namun, wajah itu terasa cukup familiar baginya. Rasanya Syera sudah seperti seorang istri yang memergoki suaminya sendiri bermesraan dengan wanita lain. Meskipun kenyataannya memang seperti itu, tetapi banyak perbedaan di dalamnya. Ia tidak merasa sakit hati atau dikhianati. Mungkin hanya sedikit kecewa, karena dirinya sudah menunggu lelaki itu berjam-jam dan ternyata yang ditunggu olehnya malah asyik bersama wanita lain. Sesaat, Syera menatap keduanya secara bergantian tanpa membuka suara. Karena tak ingin dianggap pengganggu, wanita itu nyaris membalikkan tubuhnya dan beranjak pergi. Akan tetapi, suara wanita yang datang bersama Tama itu menginterupsi langkahnya. “Jadi, kamu yang menabrak Kirana?” Wanita bernama Viandra itu sembari bergerak memutari Syera dan melipat kedua tangannya
Helaan napas berat berulang kali lolos dari bibir Syera. Wanita itu menatap ke arah jendela di sampingnya dengan pikiran berkelana ke mana-mana. Ia tidak tahu mengapa dirinya malah nekat melakukan ini. Padahal jelas-jelas lebih baik jika ia berpura-pura tidak tahu saja. Pesan terakhir dari pengirim misterius itu cukup mengganggu pikiran Syera. Membuat dirinya yang seharusnya sudah bergelung di bawah selimut saat ini malah berada di sini. Menunggu sampai mobil yang dikendarai oleh salah satu supir Tama ini tiba di alamat yang dirinya tunjukkan sebelumnya. Tama pernah memberikan ultimatum jika dirinya tidak diperbolehkan keluar rumah dan seharusnya ia cukup menurut saja. Sayangnya, entah kenapa hatinya malah tergerak untuk mendatangi alamat tersebut tanpa memedulikan segala risikonya. “Nona, kita sudah sampai di alamat yang Anda berikan tadi,” ucap sang supir yang berhasil membuyarkan lamunan Syera. Syera mengedarkan pandangan, menatap gedung bertingkat di hadapannya dengan soro
Syera bertingkat kaget mendengar pintu yang tertutup dengan suara nyaring. Setelah memastikan jika Tama telah pergi, ia baru berani mengubah posisinya. Pelan-pelan wanita itu bangkit dengan bibir meringis karena tubuhnya terasa remuk redam. Alih-alih langsung beranjak dari ranjang, Syera malah sengaja mengeratkan selimut yang membalut tubuhnya. Manik matanya kembali berkaca-kaca karena tak sengaja melirik bercak darahnya yang mengotori seprei. Netranya bergulir menatap pakaiannya yang berceceran di mana-mana dengan kondisi terkoyak. Syera memejamkan matanya sembari menghela napas berat. Setetes cairan bening kembali lolos dari matanya yang membengkak. Ia membiarkan air matanya kembali mengalir dan membasahi wajahnya. Hidupnya yang telah lama hancur semakin hancur karena peristiwa semalam. “Sampai kapan kamu akan menangis di sini? Berharap ada orang yang ada dan mengasihani dirimu?” sindir Tama yang kembali datang dengan sebuah paper bag di tangannya. “Cepat pakai itu dan buang b