“Nanti malam pernikahan akan segera dilaksanakan, saya harap anda mempersiapkan diri dengan baik,” ucap Rahman–menyadarkan Ayesha dari lamunan.
Dia kemudian pamit undur menyisakan Ayesha terduduk dan termenung.
Dia baru sadar bahwa dalam hitungan jam nanti dia akan segera menjadi istri pria itu.
Hatinya menjadi resah dan gelisah.
Mengapa tiba-tiba perasaannya menjadi kacau begini dan merasa tidak sanggup melakukan apa yang sudah mereka sepakati semalam?
Apakah dia siap menanggung segala resikonya?
****
Tanpa disadari, akad selesai dengan lancar tanpa ada pengulangan.Tiba-tiba saja, Hilbram meminta waktu sebentar untuk berbicara dengan pria yang sudah menjadi wali Ayesha.
Dia harus memastikan bahwa pria yang tidak berperasaan ini tidak lagi memanfaatkan keadaan gadis yang kini sudah sah menjadi istrinya itu.
“Kau sudah mendapatkan yang kau mau, jadi kalau sampai aku mengetahui kau masih mencoba menganggunya lagi, kupastikan hidupmu akan menderita!” ancam Hilbram pada paman Ayesha yang bernama David itu.
Pria tua itu terkekeh. “Oh, jangan kuatir keponakanku. Apa yang terjadi kemarin hanyalah kesalahan saja. Murni dulunya tetangga kami. Jadi ketika tidak mendapatiku, dia langsung membawa Ayesha sebagai jaminan hutang-hutangku.”
David tampak berbaik-baik pada pria kaya raya yang sekarang menjadi suami keponakannya itu.
Dia sungguh sangat senang. Nanti kalau dia butuh apapun, tidak akan kesulitan lagi ke mana mencari pinjaman uang, kan?
Namun, pemikirannya itu terpatahkan oleh ucapan Hilbram selanjutnya. “Aku sudah memberimu lebih dari yang kau butuhkan. Jadi jangan temui Ayesha lagi untuk alasan apapun.”
David jelas hendak protes, tetapi Hilbram sudah kembali bicara, “Jangan beralasan bahwa Ayesha adalah keponakanmu, lalu kau bisa datang sesuka hati untuk memanfaatkannya lagi. Kau tidak pantas disebut seorang paman!”
“Haha, kau takut aku datang dan meminta uang?” tanya David yang sudah tersinggung. Dia pria yang temperamen dan mudah tersulut emosi.
“Jangan sombong! Tanpa aku, kau dan keponakanku itu tidak akan bisa menikah. Dan harus kau tahu, sejak dulu Ayesha sudah banyak yang mengincar. Kau tahu Gilga Andreas pengusaha yang memiliki banyak hotel megah itu? Dia tergila-gila pada Ayesha dan bersedia mengeluarkan banyak uang jika keponakanku itu mau menikah dengannya. Hanya saja aku tidak mau terlalu memaksa Ayesha.” ucapnya lagi dengan pongah.
Dia tak menyadari bahwa Hilbram sudah mengepalkan tangannya menahan emosi.
“Rahman!” Hilbram memanggil sang asisten, hingga pria itu pun muncul.
Dia tentu juga mendengar perbincangan antara tuannya dan paman sang nyonya.
“Baik, ada yang bisa saya bantu?” tukas Rahman.
“Kau dengar sendiri tadi? Pria ini sepertinya tidak mau menerima pemberian kita yang tidak seberapa baginya itu!”
Hilbram sedikit muak dengan sikap David, apalagi membandingkannya dengan Gilga Andreas.
Pria itu adalah teman sekampus dengannya di Oxford university. Namun sepertinya, aura persaingan diantara keduanya sangat ketara sejak jaman di perkuliahan hingga di dunia bisnis.
Jika David tiba-tiba menyebutnya dan membandingkannya, Hilbram jelas tak nyaman.
“Baik, kalau begitu akan saya tarik ulang transferan ke rekening Anda!” ucap Rahman yang juga tidak suka basa-basi.
Toh, David mau menolak pemberian Hilbram juga tidak jadi soal.
Mendengar itu, David panik. “Eh, maksudku bukan begitu, keponakanku!” Tiba-tiba ia mengubah sikapnya. “Tadi, aku hanya tidak terima kau melarangku menemui keponakanku. Aku ini pamannya, lho! Bagaimana nanti kalau keponakanku itu merindukanku?”
Hilbram mendengus kesal sambil tersenyum miring.
Tanpa melirik pria yang memuakkan itu, dia berlalu pergi kembali ke tempat acara.
Dibiarkannya Rahman yang mengurusnya.
Prosesi pernikahannya belum selesai.
Meski sudah sah secara agama, dia dan Ayesha belum menandatangani akta nikah.
Yang jelas, Hilbram tidak akan membiarkan Ayesha menemui pria yang sudah dengan kejam menjualnya ke tempat pelacuran itu.
Mana ada seorang paman yang tega menjual keponakannya demi hutang-hutangnya? Keparat sekali dia!
***
Di sisi lain, Ayesha menautkan jari-jemarinya erat.
Detak jantungnya pun memburu dengan cepat.
Ayesha tidak tahu apa yang terjadi di luar sana.
Barulah saat Momo bersama seseorang masuk menghampirinya, dia sedikit tenang.
“Nyonya, anda sudah dipersilahkan keluar!” tukas Momo menenangkan,“Selamat, Nyonya! Acara ijab qobulnya sudah terlaksana dengan lancar dan cepat.”
“Oh, sudah akad?” Ayesha terkejut. Dia mengira saat pengucapan akad itu dirinya dihadirkan di sana. Ternyata tidak.
Walau begitu, dia tahu, dalam agama hal itu sudah dianggap sah.
“Benar, mari saya rapikan kerudungnya. Nyonya harus segera keluar untuk menanda tangani akta nikah!” ucap seorang wanita yang datang bersama Momo membantu Ayesha merapikan dirinya. Mereka kemudian mendampingi Ayesha keluar kamar.
Tatapannya mengedar ke seluruh ruangan mencari keberadaan biang keladi dia harus menghadapi pernikahan ini.
‘Tapi di mana dia?’ batin Ayesha yang masih sangat kesal.
Ingin sekali dia protes pada adik ayahnya itu. Mengapa sebegitu tega membuatnya mengalami hal ini?
“Duduklah! Pamanmu buru-buru ke bandara tadi,” ucap Hilbram sudah bisa menebak apa yang dipikirkan Ayesha.
Ketika tangan itu memegang pena untuk membubuhkan tanda tangannya di atas surat akta nikah, perasaannya kembali terbawa.
Tidak menyangka saja bahwa hari ini dia menyandingkan tanda tangannya dengan pria yang bahkan baru ditemuinya dalam beberapa hari ini. Hilbram Yusuf.
“Selamat, Tuan dan Nyonya Hilbram Yusuf! Semoga pernikahannya langgeng sakinah mawaddah warohmah!” ucap petugas pencatat nikah itu. Setelahnya masih memberikan beberapa petuah tentang sebuah komitmen pernikahan.
Hilbram memasangkan cincin nikah di jari Ayesha, lalu dengan canggung Ayesha mencium tangan Hilbram.
Setelahnya, Hilbram pun meletakan tangannya di kepala Ayesha dan berdoa seperti yang disampaikan seorang ustad yang mendampingi mereka.
Terakhir, dia mencium kening gadis itu dan memeluknya.
Semua berjalan dengan cepat, hingga tau-tau dia sudah kembali ke kamar!
Momo menyodorkan beberapa gaun malam pada Ayesha yang masih terbengong.
Cemas dan memikirkan hari-hari setelah menjadi istri pria itu.
Pintu terbuka dan Ayesha menjadi membeku.
Dia yang sedang duduk di atas tempat tidur sambil memikirkan banyak hal menjadi tegang melihat pria itu masuk lalu menutup pintunya.
Deg!
Apa malam ini mereka akan tidur bersama?
“Kau belum mengganti bajumu?” ucap pria itu dengan suara yang berat membuat Ayesha seketika meremang.
"Aku..."“Kau belum mengganti bajumu?” ucap pria itu dengan suara yang berat. Hilbram sebenarnya heran karena Ayesha masih dengan kebayanya. Ayesha tidak bergeming. Dia seolah masih belum bisa menerima status barunya saat ini. Mulutnya memang sudah menyepakati perjanjian itu, tapi siapa sangka bahwa hatinya sungguh masih tidak bisa menerima semua ini. “Apa kau mau aku panggilkan Rahman karena kau berubah pikiran?” Hilbram melepas jasnya dan tahu bahwa Ayesha sedih dengan kenyataan hidupnya. Astaga, pria ini! Tidak bisakah dia memberinya sedikit waktu untuk menyiapkan mentalnya? “Baik, Tuan!” ucap Ayesha sedikit bergetar di nada suaranya. Dia bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Hilbram hanya menatapnya dengan pandangan rumit. Saat di kamar mandi dan mencari baju ganti di walk in closet, dia hanya menemukan beberapa baju tidur. Momo tadi sudah bilang sementara baju-bajunya yang lain masih dalam pengerjaan dan besok pagi akan di antar dari butik langsung. Namun sepertinya, itu akal-akaln
Ayesha belum bisa berpikir jernih dan menentukan sikap dalam menjalani kehidupan barunya ini. Mungkin, dirinya masih sangat shock dengan pernikahan yang tiba-tiba ini hingga harus menolak pria yang sudah menikahinya itu. Beruntung sepertinya Hilbram bukan pria yang tidak punya belas kasihan. Sebagai pria yang punya hak penuh atas dirinya, Hilbram masih bisa membiarkannya malam ini meski dengan tatapan yang kecewa. * Pagi pun tiba, Ayesha memilih-milih gamis di lemari yang sudah tersedia untuknya. ‘Bagus-bagus sekali,’ batinya sambil mengambil satu yang segera dipakainya. Dia mengagumi model yang elegan yang tampak anggun saat dipakainya itu. Namun, ketika melihat merk baju itu dia melongo, dia sudah menabung untuk mambeli setidaknya satu dress dari merk tersebut. Sayangnya, tak pernah kesampean. Bagaimanapun dia seorang perempuan. Menyukai fashion dan barang-barang bagus adalah fitrahnya. Apalagi dia mengajar di sekolah ternama. Dimana penampilan juga menjadi salah satu yang
Ketika mobil sudah berhenti di sebuah tempat yang seperti sebuah vila, Ayesha berdecak kagum. Dua puluh empat tahun tinggal di kota ini kenapa tidak sekalipun melintas di jalan ini?Benar-benar seperti kastil yang penuh dengan bunga indah. “Apa kau berpikir aku tidak serius?” tanya Hilbram setelah mengajak Ayesha keluar mobil dan berjalan ke dalam.“Yang ada di otakmu pasti berpikir aku merencanakan hal buruk, bukan?” Hilbram berkata seolah tahu isi kepala Ayesha. “Bukan begitu,” ujar Ayesha lirih walau sebenarnya dia memang sempat berpikir pria ini akan memberinya hukuman. “Saya hanya merasa terkejut anda tiba-tiba mengajak saya menemui orang tua anda.” “Kenapa?” dengan kata tanya favoritnya, Hilbram mendesak Ayesha terus mengungkapkan isi hatinya. Pikirannya juga sama dengan Ayesha, tidak ingin hubungan ini berjalan dalam kebekuan. Saling mengobrol akan bisa memahami satu sama lain. “Orang tuaku tidak bisa memarahimu, tidak bisa membulimu, jadi apa yang kau cemaskan?” lagi Hil
Tanpa Ayesha sadari, suaminya itu diam-diam menyesal karena membuat perjanjian dengannya.Persetan jika Ayesha berakhir memanfaatkannya! Asal bisa bersama gadis ini, Hilbram toh akan memberikan apapun.Di sisi lain, Ayesha tertegun. Dia meraba-raba perasaannya ketika mendengar pernyataan dari bibir Hilbram. Hanya saja, Ayesha tidak lagi membantah apa pun. “Kau tidak setuju?” tanya Hilbram melihat raut wajah Ayesha yang tampak berpikir.“Maafkan saya. Tadi hanya terpikir sudah seminggu ini tidak masuk dan berharap kepala sekolah tidak memberiku teguran! Itu saja.” Hilbram mengangguk. “Hmm, biar Rahman yang mengurusnya.” “Tidak usah, Tuan!” sahut Ayesha segera setelah mendengar ucapan Hilbram. Jika Rahman yang mengurus, takutnya semuanya bisa tahu status barunya sekarang. Menjadi istri pria ini. “Kenapa?” tanya Hilbram bingung. Gadis di depannya ini tidak tahu saja, kalau pihak sekolah mengetahui statusnya sebagai istri pemilik yayasan itu, cuti setahun pun tidak akan jadi soal.
Rahman nampak hadir menjeda pembicaraan mereka dan memberikan sesuatu pada Hilbram. Seperti segan mengatakan di depan Ayesha, dia meminta pendapat.“Tidak apa, Rahman. Katakan saja!” tukas Hilbram.“Saya sudah menyampaikan surat izin atas nama Nyonya ke pihak sekolah. Jadi seharusnya tidak ada masalah saat Nyonya kembali mengajar,” ujar Rahman.Ayesha yang di sana tentu mendengarnya.“Good job! Terima kasih!” Hilbram pada Rahman. Ayesha tampak tidak sabar untuk menanyakan sesuatu. Setelah Rahman berlalu, dia segera melakukannya.“Anda sudah meminta Rahman datang ke sekolah tempat saya mengajar?” tanya-nya terlihat heran.“Ya,” jawab Hilbram singkat.“Tapi bukankah kita baru saja membicarakannya?”“Kenapa memang?”Gadis ini bawel juga. Bukankah lebih sederhana jika dia mengucapkan terima kasih. Mengapa masih harus memikirkan hal tersebut?Ayesha hanya bingung dan terkejut karena pria ini sebenarnya sudah memikirkan tentang masalahnya. Sebelum dirinya menyampaikannya tadi. Itu bahkan
Ponsel berdering saat Hilbram sibuk melaksanakan zoom meeting di ruang kerjanya. Dia tidak bisa segera mengangkatnya karena sedang bicara. Tidak berapa lama, terlihat Rahman datang mencoba meminta waktu Hilbram sejenak.“Ada apa?” tanya Hilbram setelah mengetuk tombol mute di layar laptopnya.“Maaf, Nyonya Hamidah dalam panggilan. Beliau sepertinya mendesak untuk segera disambungkan dengan anda,” tukas Rahman menyodorkan ponselnya.“Bilang aku sedang meeting penting. Nanti aku akan menghubunginya,” ujar Hilbram menolak meski tahu bahwa tantenya itu akan marah besar kalau panggilannya ditolak.“Baik, Tuan!” Rahman terlihat gelisah atas penolakan itu. Setelah ini dia akan bersiap untuk mendapatkan kemarahan Hamidah. Keponakan dan Tante ini kenapa tidak bisa sedikit akur?Balik dari ruang kerja sang tuan, Rahman langsung menyampaikan apa yang diminta Hilbram. Padahal sudah disampaikannya dengan sesopan dan sehormat mungkin, namun Hamida tetap juga memarahinya. Segenap kata-kata pedas ya
Momo mengetuk pintu kamar Ayesha dan segera mendapati sang nyonya sudah tampak rapi pagi ini. “Nyonya, cantik sekali!” Pujinya pada Ayesha.“Jangan berlebihan begitu, Momo. Ini karena set baju dan hijab yang aku pakai saja bagus, bukan karena akunya.” Ayesha yang tidak terbiasa mendapat pujian pun justru merendah. “Ah, Nyonya terlalu merendah. Itu baju kalau saya yang pakai pasti sayanya tetap kelihatan buluk!” Momo menertawai dirinya sendiri.Ketika melihat Ayesha tidak ikut menertawai dirinya, Momo segera sadar dan memperbaiki sikapnya. Tidak seharusnya terlalu akrab dengan sang Nyonya meski dia tahu Ayesha wanita yang baik dan humble. “Kenapa, Momo?” Ayesha heran Momo dengan cepat bersikap seperti biasanya.“Maaf, jika Nyonya tidak suka. Saya seharusnya tidak bersikap demikian.”Ayesha tersenyum dan mendekati wanita itu. “Aku tidak keberatan kok, kalau kita ngobrol biasa seperti teman. Akan sangat menjemukan bukan sepanjang hari harus seformal itu.”Dia akan menghabiskan banya
Hilbram menyukai tempat yang bisa menjaga privasinya. Namun pagi ini dia ingin sarapan di luar rumah dan mencari suasana baru karena sekalian ingin menghabiskan sedikit waktu bersama wanita yang kini sudah menjadi istrinya itu.Rahman memilihkan sebuah resto dan kafe yang bernuansa alam, di mana viewnya langsung gunung dan air terjun dari kejauhan yang terlihat mempesona. Cocok sekali untuk pasangan pengantin baru yang seharusnya hari-hari ini dihabiskan untuk berbulan madu.Tempat itu sengaja ditutup untuk umum karena hanya akan melayani seorang pegusaha kaya raya yang ingin sekedar sarapan bersama istrinya.Ketika Ayesha sudah duduk di sana bersama Hilbram dengan sajian menu yang beraneka macam, dia sedikit merasa aneh. Kenapa tempat ini sepi sekali?“Apa yang membuatmu resah?” tanya Hilbram menatap sang istri yang pagi ini terlihat cantik sekali. Udara yang sejuk menambah suasana hatinya menjadi damai.“Tempat ini b