Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.
“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.
Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.
“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”
Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Brak!Ayesha yang sedari kemarin dikurung di ruangan gelap dan pengap itu membelalakan mata mendengar ucapan itu.Jadi, apa dirinya juga akan…?“Tante Mur, tolong. Aku tidak mau menjual diri,” mohonnya cepat. Ayesha bahkan berlutut di depan kaki wanita itu.Hanya saja, Murni justru menyentakkan kakinya, hingga tubuh Ayesha terjerembab dan terantuk tembok.Bugh!Ayesha dapat merasakan darah mengalir dari hidungnya. Namun, diabaikannya itu semua dan menggelengkan kepala cepat–tak setuju.“Tante, aku mohon. Aku akan bekerja keras mencari uang tapi tidak dengan cara ini. Aku janji akan melunasi hutang-hutang pamanku. Tolong beri aku kesempatan,” ucapnya kembali memohon pada Murni.Hal ini membuat salah seorang bawahan yang mengikuti mucikari itu merasa iba.“Mami, dia mimisan. Lebih baik, kita rawat dulu. Lagipula kalau dia kenapa-kenapa kita juga yang rugi.”Murni lantas memperhatikan kondisi Ayesha. Dengan tatapan dingin, dia pun berkata, “Hari ini, aku akan kasih kesempatan padamu untuk
“Kak Lily, aku harus bagaimana?”Begitu Murni pergi, Ayesha sontak bertanya pada Lily–berharap wanita itu dapat membantunya.Ayesha benar-benar tidak bisa membiarkan kesuciannya terenggut di tempat menjijikan ini.Lily tersenyum lembut. “Kau pakai baju ini dan ikut denganku, ya?”Ia menyerahkan dress merah hati pada Ayesha.“Tidak! Aku ini berhijab, mana bisa aku pakai baju terbuka ini. Aku tidak mau!”“Ayesha, dengar aku. Ini kesempatanmu untuk keluar dari tempat ini.”Lily menoleh ke arah pintu dan memelankan suaranya. Takut Murni atau dua pengawalnya itu mendengar.“Setelah ini, aku akan mengantarmu pergi ke alamat pria itu. Di perjalanan, jika ada yang lengah, kau harus lari secepat mungkin.” Lily berbisik pada Ayesha dan menyerahkan gaun itu.Ayesha menatap Lily bimbang.Apa dia harus menggunakan gaun itu dan berlari di tempat umum?Ironis sekali, hijab inilah yang melindungi harga dirinya dan menjauhkannya dari pasang mata jahat agar tidak bisa melecehkannya. Namun, sekarang di
Tanpa terasa, Ayesha sudah berjalan ke parkiran. Mobil pun sudah dipersiapkan. Bersama Lily dan dua pengawal Murni, mereka bersiap menuju apartemen tujuan. Namun, sebuah mobil mewah tiba-tiba datang. Dan, seorang berjas rapi dan berkaca mata hitam tampak turun dari mobil menghampiri Murni. Mucikari itu sontak menyuruh yang lain ke dalam terlebih dahulu. “Ada apa ya, Tuan?” tanyanya sopan. “Kami akan menjemput langsung nona yang dipesan bos kami,” ucapnya. “Kenapa begitu?” Murni tampak heran. Baru kali ini, ada pembeli seperti ini? Alih-alih menjawab, pria di depannya itu justru bertanya kembali, “Bukankah tuan kami sudah mentransfer uang yang banyak? Dia berjanji akan memberi bonus jika gadis itu bisa memuaskannya.” Kali ini, Murni terbelalak. Dia merasa beruntung mendapatkan pelanggan yang royal sepertinya. Dengan cepat, Murni tersenyum menghampiri pria itu dan mengelus pundaknya. “Baiklah, tuan. Tunggu sebentar. Aku akan briefing dulu anakku itu!” ***** “Kalian semua t
Ayesha tercengang. Tanpa sadar, dia pun mengangguk. Pria itu pun membenarkan posisi duduk keduanya. “Berapa usiamu?” tanya Hilbram menatap wanita itu lekat-lekat. “Dua puluh empat, Tuan!” lirih Ayesha menahan tangis. Hilbram tampak menghela napas. “Kenapa kau berharap aku melepaskanmu?” Ayesha mendongak pada pria itu. Entah mengapa, dia berharap ada rasa belas kasihan padanya. “Pamanku terlilit hutang dan menjadikanku tebusan. Aku ini bukan wanita pelacur. Anda bisa melihatnya bukan?” tukas Ayesha dan yakin pria ini tentu bisa melihat pakaiannya. “Kenapa dengan pakaianmu? Aku bisa membuatmu telanjang sekarang kalau aku mau!” tantang Hilbram balik. “Kalaupun, aku melepaskanmu. Bagaimana dengan uang yang sudah aku keluarkan?” “A-aku berjanji akan menggantinya, tapi tolong lepaskan aku!” balas Ayesha sembari berlutut. Meski dia tentu akan kesulitan untuk mengembalikan uang itu. Tapi demi harga dirinya, dia tidak mau menyerah begitu saja. Hilbram tersenyum miring mendengar pe
Ayesha terdiam. Saat ini, dia tengah duduk di atas tempat tidur setelah dua orang pelayan masuk ke kamar dan meletakan beberapa perlengkapan wanita di sana. Mereka juga menyampaikan bahwa sarapan pagi sudah tersedia. Saat pintu tertutup, barulah Ayesha memeriksa perlengkapan yang dibawa tadi. Hanya saja, dia benar-benar terkejut karena baju ganti yang disediakan merupakan dress panjang berikut jilbabnya. “Baik juga dia memberikan baju ganti yang sopan,” gumamnya dalam hati. Tapi, pikiran Ayesha terusik karena sikap aneh pria itu. Dia sepertinya bukan pria jahat. Buktinya, pria itu membiarkan Ayesha beristirahat dengan baik tanpa menidurinya. Kruk! Perut Ayesha tiba-tiba berbunyi karena lapar. Dilihatnya sarapan yang sudah disediakan dan mulai memakannya. “Terima kasih, Allah.” Senyum manis terlukis di wajahanya. Ayesha tak tahu ada kejutan baru yang disiapkan Hilbram. *** “Duduklah!” Begitu Ayesha selesai sarapan, Hilbram tiba-tiba memanggilnya ke ruangan lain. Anehny
Ayesha menerima surat perjanjian itu gemetar. Dibacanya berkas yang baru disodorkan. Tidak ada yang aneh di sana. Hanya saja, Ayesha tidak bisa menerima kenapa harus ada perjanjian pernikahan? “Saya hanya kurang paham tentang perjanjian ini,” ucap Ayesha, dari nada bicaranya sepertinya mulai memikirkan tawaran itu, “mengapa harus melakukan perjanjian pernikahan?” Hilbram menyender di kursinya. “Keluargaku mendesak agar aku menikah paling tidak tahun ini. Dan aku tidak punya waktu sekedar memikirkan wanita.” “Hidupku hanya tentang mengurus bisnis. Aku tahu kau wanita baik. Aku juga sudah memahami kesusahanmu karena hutang-utang pamanmu itu. Meskipun aku melepasmu, apakah kau yakin pamanmu itu tidak lagi menjualmu untuk hutang-hutang yang lainnya? Setidaknya kita saling menguntungkan dalam hal ini!” jujur Hilbram. Pria itu sadar tidak bisa memanipulasi gadis di hadapannya ini. Lagipula, dengan tahu alasannya, mungkin Ayesha akan mempertimbangkan dengan tenang. Dan benar saja, al
Sebulan yang lalu, tepatnya setelah dari acara hari ulang tahun yayasan pendidikan yang dikelola keluarganya, Hilbram tampak resah dan gelisah. Dia merasa enggan untuk balik secepat ini. Bukan karena acaranya, tapi karena gadis yang tak sengaja dilihatnya di taman. Diusap layar ponselnya dan melihat lagi rekaman gadis yang diambilnya di taman tadi. Sepertinya gadis itu terlalu manis untuk tidak segera didapatkan. “Berhenti!” ujar Hilbram pada supirnya. Rahman yang duduk di samping supir pun terlihat menoleh dan bertanya-tanya. “Ada masalah, Tuan?” tanya Rahman. Hilbram tiba-tiba saja, berjingkat keluar yang membuat pengawal di mobil belakang pun keluar. Rahman juga melakukan hal yang sama. “Tuan Bram, apa yang Anda lakukan?” Rahman bertanya karena sang tuan melepas jasnya lalu melemparnya ke dalam mobil. “Jangan ikuti aku, kalian pulanglah dulu!” tukasnya berlalu. Ketika dua pengawal itu membuntutinya, Hilbram berhenti dan menatap mereka tajam. “Kau tidak dengar tadi?” Mere