Dira tidak tuli, meski dia tidak berdiri dekat dengan Maura. Namun, kata-kata Maura tadi terdengar jelas di telinganya.
Kini para wanita yang berkumpul di sana tampak tercengang dan langsung berebut melihat cincin yang melingkar dengan manis di jari Maura. Maura tersenyum dan mengizinkan siapa saja yang melihatnya.
“Astaga!! Ini pasti mahal. Apa ini artinya kamu akan menikah dengan Pak Alif?” tanya salah satu dari mereka.
Maura tersenyum. “Apa aku perlu memperjelasnya?”
“Eng … bukan begitu. Lalu bagaimana nasib Bu Dira?”
Maura tidak menjawab, hanya mengendikkan bahu dan terlihat acuh. Ia tidak bersuara, tapi dari gestur tubuhnya sudah menjelaskan apa yang akan terjadi pada Dira selanjutnya.
Dira yang berada tidak jauh dari tempatnya hanya diam sambil menatap dingin ke arah kumpulan itu. Mengapa mereka tidak tahu malu? Tega sekali membicarakan Tuan Rumah yang mengundang mereka. Apa memang seperti ini
Dira menyudahi makannya, menyeka mulutnya dengan tisu kemudian bergegas bangkit. Ia tidak mau terlalu lama di resto tersebut. Terlebih jika harus bertemu Alif. Cukup di rumah saja ia merasakan intimidasi ini.Tergesa, Dira berjalan keluar resto. Ia juga harus kembali ke kantor siang ini. Banyak hal yang harus ia kerjakan.Namun, semua keinginan Dira langsung menguap saat melihat Alif malah mengikutinya keluar dan kini tampak berdiri bersedekap menunggunya di depan mobil. Mobil mereka tidak sengaja terletak bersebelahan kali ini.“Mau apa lagi dia?” gumam Dira.Dengan malas, Dira mendekat hingga berdiri di depan Alif.“Minggir, Mas!! Aku mau balik kantor.”Seolah tidak mendengar, Alif malah balik mengajukan pertanyaan.“Apa yang kamu lakukan dengan Rayhan tadi?”Alif tahu jika Rayhan mempunyai perasaan istimewa pada istrinya. Bahkan Rayhan pernah mengatakannya ke Alif kala itu. Sayangnya, hing
Sudah empat hari Alif keluar kota dan kondisi Dira juga sudah lebih baik dari sebelumnya. Benar kata Dokter Rani, dia memang tidak boleh stress dan ketidakhadiran Alif telah berhasil mengurangi stressnya.Pagi itu Dira sengaja berkunjung ke rumah sakit miliknya. Selain hendak kontrol ke Dokter Rani, ada beberapa hal yang harus ia bahas dengan Dokter Wirya.Cukup banyak hal yang dibicarakan Dira dengan Dokter Wirya. Dira meninggalkan rumah sakit saat jam makan siang berlangsung. Namun, ketika tiba di parkiran Dira melihat Rayhan.“Kak Rayhan!!” pangil Dira.Rayhan tampak terkejut. Sebenarnya Rayhan tidak praktek di rumah sakit ini, tapi kadang tenaganya dibutuhkan untuk membantu di sana.“Dira!! Kamu di sini juga?”Dira tersenyum, menganggukkan kepala sambil berjalan mendekatinya. Rayhan tersenyum memperhatikan Dira dengan saksama dari ujung kepala sampai ujung kaki.Dira paham mengapa Rayhan bersikap seperti it
“Asisten Pak Alif menginformasikan ke semua tamu yang datang tentang kepulangan Pak Alif yang mendadak.”Pria yang merupakan relasi kerja Alif itu kembali menambahkan kalimat seolah memperjelas keterangannya tadi. Dira hanya diam sambil sesekali mengangguk menunjukkan perhatian.“Baik, Bu. Mungkin lain kali kita sambung lagi pembicaraannya. Saya harus pergi.”Pria tersebut berpamitan dan meninggalkan Dira di ruang tunggu apotik. Dira tersenyum sambil menganggukkan kepala memberi salam.Dira tampak tertegun dengan benak yang terus mencerna penuturan relasi kerja Alif tadi. Kemudian perlahan Dira mengeluarkan ponsel dan mengetik sesuatu di laman pencarian.Matanya langsung melebar saat melihat ada foto Alif bersama beberapa rekan kerjanya, termasuk Pak Joni, Maura juga ada Firman dan beberapa rekan yang lain. Mereka berdiri di depan sebuah mall baru di kota ini.Dira kembali menatap foto itu dan ia melihat Alif mengenak
“Bapak juga bilang Ibu gak boleh terlambat makan. Jadi mulai hari ini saya yang akan mengingatkan.”Linda kembali menambahkan kalimatnya. Dira hanya diam, menatap Linda dengan tatapan tak percaya.Tanpa Dira ketahui, Alif memang menelepon Linda semalam dan meminta dia melakukan hal itu. Inginnya Alif mengurungkan perintahnya ke Linda esok paginya, tapi dia juga tidak mau dianggap asisten Dira sebagai orang yang plinplan.“Ternyata Pak Alif perhatian banget ke Ibu, ya?”Dira tidak menjawab, hanya tersenyum meringis sambil menganggukkan kepala. Andai saja Linda tahu semua sikap manis suaminya selama ini hanya sandiwara dan mempunyai tujuan tertentu.“Terima kasih, Lin. Kamu boleh kembali ke tempatmu.”Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Dira bersuara. Ia risih melihat tatapan asistennya seolah ia wanita paling beruntung di bumi ini karena menjadi istri Alif.Linda mengangguk kemudian segera undur
“MAS ALIF!!!”Pagi itu suara Dira sudah memenuhi atmosfer kamar berukuran 4x6 di lantai dua sebuah rumah mewah.Alif yang sedang terlelap langsung terjaga. Perlahan ia membuka mata, meski masih samar ia bisa melihat wajah Dira dengan mata membola dan rona merah padam menatap ke arahnya.“LEPASIN!!!”Kembali suara wanita cantik itu terdengar di telinga Alif. Kesadaran Alif yang belum seratus persen kembali hanya diam, tapi matanya sudah melirik ke arah Dira.Jakun Alif naik turun menelan saliva saat melihat tangannya sedang memeluk erat wanita cantik itu. Bahkan salah satu tangannya sudah menyentuh aset berharga Dira.Mata Alif melotot dan tangannya spontan mengurai pelukan. Dira langsung beringsut mundur dan bergegas bangkit lalu duduk di tepi kasur. Mata kecil wanita cantik itu tidak henti mengintimidasi Alif. Alif jadi serba salah dan terpaksa ikut bangun.“Siapa yang suruh Mas Alif tidur di sini?&rdquo
“A—aku disuruh Bunda melihatmu tadi,” ucap Alif.Tidak biasanya pria tampan itu terlihat gugup. Bahkan matanya tidak berani melihat ke arah Dira saat ini. Dira hanya diam, tidak menjawab sedikit pun.Alif mendengkus sambil memutar tubuhnya.“Ya sudah. Aku mau tidur.”Ia langsung berjalan cepat menuju kamarnya dan tak mau menoleh ke Dira lagi.Dira hanya diam, mengernyitkan alis sambil mengusap keningnya. Masih ada saliva Alif tertinggal di sana. Dira langsung mengibaskan tangan ke udara seolah enggan sisa suaminya tertinggal di tubuhnya.Sesudahnya ia langsung berjalan menuju dapur. Ia ingin membuat minuman hangat malam ini. Perutnya tiba-tiba mual dan ingin muntah.Selang beberapa saat Dira tampak asyik menikmati jahe hangat buatannya. Sesekali ia melirik ke arah ruang tengah. Entah mengapa Dira merasa mendengar suara di sana.“Akh … mungkin aku salah dengar,” gumam Dira.