“Maaf ya, Pak, Bu, saya sangat lambat mengantar Yunita kembali.” Anthony memulai bicara lagi setelah sesi saling kenalan di teras. Kini dibawa keluarga Yunita ke dalam rumah sebab permintaannya sendiri. Tuan rumah tampak terpaksa sebab sudah malam. Ibunya terus beraura cerah dan ramah tamah tetapi tidak dengan bapaknya. Menatap dingin dan penuh selidik pada Anthony. “Maaf, ini sudah malam, Mas. Jika Yunita memang dalam keadaan baik-baik dan tidak kenapa-kenapa, sebaiknya masnya segera pamit saja.” Pak Agus terlihat tegang. Anthony mengambil napas panjang untuk disimpan dalam dada sesaat sebelum dihembuskan keras. Terus mengingat jika dua orang tua Yunita pasti akan menjadi mertuanya tidak lama lagi. Maka dirinya berusaha keras menjaga sikap. “Maaf sebelumnya, Pak. Putri Bapak memang merasa gembira dan baik-baik saja, tetapi saya ingin menyampaikan maksud sangat penting saat ini. Saya tidak menunda besok sebab domisili tinggal saya cukup jauh, di Surabaya. Jadi mohon maaf, mesk
Yunita berdiri tegak kaku saat tiba-tiba Anthony berbalik badan. Tidak jadi masuk ke kamar mandi tetapi berjalan ke arahnya kembali. Mendekat dengan senyum yang susah diartikan. "Mau apa ...?" tanya Yunita dengan mimik sangat gugup. "Apa kamu berharap aku menyentuhmu?" tanya Anthony dengan senyuman sambil mengulurkan tangannya. Menyentuh leher Yunita dengan hanya ujung jari tanpa kukunya yang panjang. Hingga kulit halus di leher jenjang itu tampak jelas meremang. “Jangan kurang ajar, Pak Azlan. Tepikan tanganmu!” tegur Yunita. Tangannya menepis dan kakinya mundur ke belakang. Tetapi Anthony segera maju mengikuti. "Jangan munafik dan jangan mengumpatku. Dengar Yunita, aku akan berbicara dengan orang tuamu malam ini juga. Aku serius ingin menikahimu, demi bayiku dalam perutmu. Aku menahan tidak menyentuhmu sebab aku menghargaimu dan bayimu. Aku tidak perlu berbuat kurang bagus lagi padamu. Karena kamu akan menjadi istri Azlan Anthony." Yunita kembali terperanjat. Menata
Ketukan di pintu masih terus diulang meski masih dengan cara dan nada yang sama. Terdengar sopan dan terkesan enggan. Tentu saja itu bukan dari petugas razia, kemungkinan memang dari pegawai hotel. “Ada orang, Pak Azlan, aku gak enak. Sebaiknya ditemui dulu.” Yunita memaksa menjauhkan wajahnya dan menegur dengan panik. Anthony coba bertahan dan enggan. Sekuat daya, mendorong dada Anthony. Entah kenapa, tidak ingin untuk mendorong di perutnya bahkan di jendralnya seperti waktu itu. Perasaan Yunita berubah tidak tega. Jauh dalam hati berpikir jika lelaki nakal itu, meski bagaimana juga adalah bapak dari bayi di kandungan. “Sini!” Anthony dengan mengejutkan telah menggendong Yunita. Membawanya ke atas pembaringan dan meletak lembut tubuh menegang kaku itu di sana. “Kenapa…?” tanya Anthony berbisik. Wajah Yunita saat terkejut dan mata beningnya melebar, sangat cantik. Andai tidak hamil, tanpa pikir panjang pun sudah disikatnya! “Aku kaget…,” jawab Yunita dengan pipi telah m
Kenyataan tidak sesuai harapan. Mengira setelah dari klinik langsung menuju jalan pulang ke perkebunan, nyatanya salah. "Kenapa mengambil jalur ke kanan, arah ke Wlingi adalah jalur yang kiri tadi ...," tanya Yunita bermaksud menegur. Merasa curiga dan waswas. Namun, Anthony tidak menyahut. “Aku ingin pulang saja, Pak Azlan. Ini sudah malam!” Yunita benar-benar panik kali ini. Mobil memasuki latar dari sebuah penginapan berbintang di pusat kota. “Belum juga pukul sembilan, Yunita.” Kali ini Anthony menyahut tegas. “Tapi ini bukan di Surabaya, Pak Azlan. Aku tinggal dengan orang tuaku di kampung. Tolong hargai saja orang tuaku jika aku tidak ada harganya bagimu.” Yunita berubah sensitif. Hal yang menyangkut perasaan orang tua, dirinya sangat hati-hati. Pasti mereka akan cemas jika makin malam anak perempuan mereka belum kembali. Meski ibunya tampak tidak berat hati saat dia pamiti. “Aku akan bertanggung jawab. Jangan resah, Yunita.” Anthony menyahut singkat dan meninggalkan
Meski sempat kesal dengan kekerasan hati Yunita yang tidak bersedia pergi periksa, Anthony merasa senang dengan cara makannya. Cepat, tidak gengsi, dan hampir dihabisi. Kecuali nasi di baki, juga salad buah yang katanya enak tetapi sudah kenyang dan ingin dibawanya pulang. “Ini … banyak sekali, Pak Azlan.” Yunita terkejut dan tidak sanggup berkata-kata lagi. Seorang pramusaji membawa sekantong besar berisi dua lusin kotak salad di dalamnya. Yunita merasa segan. Ini memang bernilai kecil dibanding berapa rupiah yang sudah lelaki itu berikan. Tetapi kali ini rasanya berbeda, seperti sebuah perhatian. “Letak saja itu di lemari dingin. Kamu bisa makan tiap hari. Barangkali ibumu pun suka. Meski kamu tidak mengenalkan dengan orang tuamu, setidaknya ada oleh-olehku.” Anthony menyahut tenang. Mengulur kartu bayarnya pada seorang pegawai tagihan yang datang dengan membawa mesin register mini. Melakukan transaksi pembayaran itu di tempat. “Terima kasih, Pak Azlan. Aku jadi segan,”
Mobil sedang memasuki pelataran parkir sebuah klinik kandungan. Kali ini yang membawa bukan Rendra. Tetapi seorang sopir dan kendaraan yang mendadak disewa. Sedang asisten sudah meluncur kembali ke Surabaya petang tadi membawa bubuk kopi. Tangisan Yunita membuat perasaan Anthony jadi iba. Terasa berat untuk kembali ke Surabaya dengan Rendra. “Kenapa ke sini?” Ekspresi Yunita tampak terkejut. Tidak menyangka dirinya dibawa ke tempat ini. Klinik kandungan terbaik di pusat kota. Selama ini Yunita hanya melihat di postingan dan ulasan tentang klinik yang dimuat di media sosial. “Aku temani periksa, Yunita. Meski aku sangat kesal, kamu tidak terbuka mengenai siapa ayah bayimu.” Anthony bicara santai sambil meraup wajahnya. Menatap ke arah klinik yang terlihat ramai antrian. “Aku tidak mau.” Yunita tegas menolak. Rasa sakit yang dia bayangkan dari pertanyaan mengenai ayah bayi di kandungan, membuat pikirannya jadi sempit. “Kamu primitif, Yunita! Apa hingga lahir nanti kamu teta