~Happy Reading All~
***
"Mbak Tantri!" pekik Yadi yang berhasil menemukan gadis cantik penolong majikannya tersebut dengan susah payah.
Langkah kaki Tantri sudah sampai di trotoar jalan hendak menunggu bus lewat. Untung saja teriakan Yadi berhasil mengurungkan niat Tantri memasuki kendaraan umum di mana belasan manusia berjejal di dalamnya.
Tantri menoleh ke belakang tanpa membalikkan badan. Senyum manis terbit di kedua sudut bibir ranumnya. Amat manis dan teduh.
"Mbak Tantri, biar saya antar pulang, ya!" tawar Yadi bersungguh-sungguh. "Nyonya minta saya mengantar Mbak Tantri pulang ke rumah dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Mau, ya?"
Tantri belum menerima tawaran dari pria yang berprofesi sebagai sopir pribadi nyonya Mona tersebut. Gadis cantik berlesung pipi itu merogoh saku celana pendeknya, di mana saat ini ia menemukan selembar uang berwarna hijau. Sisa dua puluh ribu.
Gawat!
Tantri menepuk kening mulusnya dengan telapak tangan. Ia merutuki keteledorannya karena meninggalkan barang bawaannya di jalan dekat tempat kejadian perkara tadi. Bungkusan plastik berisi tanaman herbal itu pasti sudah hilang atau dibuang orang ke tempat sampah.
Ya Tuhan!
Ia sudah merasa ketakutan membayangkan hal itu.
"Pak Yadi, kalau tidak keberatan, bisakah Bapak mengantar saya ke tempat kecelakaan tadi? Saya meninggalkan barang bawaan saya di sana. Pasti Bibi saya akan menanyakannya. Bagaimana, Pak?" tanya Tantri tampak sungkan dan tak enak hati telah merepotkan Yadi.
"Tidak perlu sungkan seperti itu, Mbak. Mari saya antar!" ujar Yadi meyakinkan.
Tantri tak bisa menolak tawaran itu karena ia memang membutuhkan bantuan dari Yadi. Gadis itu mengangguk perlahan mengiyakan ajakan Yadi padanya. Sebuah tawaran yang dapat membantunya lepas dari satu masalah di rumah karena kelalaiannya. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri. Tanpa sadar ia mencebik bibir.
"Kenapa, Mbak?" tanya Yadi penasaran dengan ekspresi aneh yang ditunjukkan Tantri.
"Oh, nggak apa-apa, Pak. Hehehe," sahut Tantri malu-malu.
***
"Aduh, di mana ya plastik bungkusan itu? Masa iya, di tempat sampah nggak ada, di pinggir jalan juga nggak ada bekasnya? Ya Allah…" gumamnya lirih sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ekspresi lucu tampak di netra hitam Yadi yang sedari tadi mengawasi dalam diam.
Tantri berjalan mondar-mandir ke sana kemari berharap menemukan bungkusan tersebut. Merasa putus asa, gadis itu menghela napas kasar dengan disertai menggembungkan kedua pipinya. Tampak menggemaskan.
Yadi mulai penasaran. Ia memilih mendekati gadis muda tersebut. "Mbak, memangnya isi di dalam bungkusan itu apa saja? Kalau itu benar-benar penting, bagaimana kalau kita membeli lagi? Beres, bukan?" usul Yadi mengeluarkan ide brilliant dari pikirannya.
Tantri menggeleng pelan sambil merogoh saku celana. Ia memamerkan selembar uang yang ada di genggamannya.
"Uangnya nggak cukup, Pak. Tinggal ini yang ada di saku celana. Bibi pasti akan memarahiku. Ya ampun, kenapa aku bisa sembarangan begini?" rutuknya yang tak henti menyalahkan diri sendiri.
Yadi tampak tak enak hati, kalau bukan karena menyelamatkan dirinya dan nyonya Mona, mungkin gadis ini tidak akan memiliki masalah dengan keluarganya.
"Mbak, ayo kita beli bahannya! Memangnya Mbak Tantri butuh uang berapa? Bapak masih ada uang kok, kebetulan masih ada seratus ribu. Cukup nggak buat gantiin isi bungkusan itu?" tawarnya memberi bantuan.
Tantri menolak tawaran Yadi. Ia tak mau merepotkan orang yang sudah memberikan tumpangan padanya.
"Tidak usah, Pak! Biar saya cari lagi. Isi bungkusan itu adalah tanaman herbal yang biasa diracik oleh Bibi saya untuk dijadikan jamu. Kebetulan, pekerjaan utama keluarga saya adalah berjualan jamu di depan rumah," tolak Tantri sembari menjelaskan.
Yadi semakin takjub, di era modern seperti ini masih bisa menemukan gadis yang begitu sopan dan jujur bernama Tantri.
"Ayo, Mbak! Saya memaksa! Kalau Mbak nggak mau menerima bantuan saya, berarti Mbak nggak menghargai saya!" tegas Yadi.
"Ta-tapi Pak --..."
"Mari!" paksa Yadi memberikan jalan untuk Tantri kembali ke dalam mobil.
Tantri mengangguk pasrah dan berkata, "Maaf Pak, merepotkan sekali lagi. Nanti sesampainya di rumah, saya akan mengganti uang itu. Harus Pak! Saya nggak mau punya hutang!"
Tak ada jawaban dari bibir Yadi. Ia hanya tersenyum penuh arti dan fokus pada jalanan menuju pasar mencari tanaman herbal untuk bibi dari Tantri. Mobil melaju dengan kecepatan sedang membawa keduanya ke tempat yang dituju.
***
"Aaaaaaarrggg! Menyebalkan! Kenapa Mama ngambek seperti ini? Astaga! Hanya karena cewek kampungan itu tadi, Mama jadi marah sama aku! Aku harus cari cara biar Mama maafin aku," umpat Arsaka di dalam mobil menuju ke kantornya.
Pria itu merasa frustasi hanya karena perkataan ketusnya pada gadis kampung dan juga miskin itu. Ia memukul stang bundar di hadapannya.
Kesal.
Drrt Drrt
Ponselnya bergetar di saku celananya. Ia merasa geli. Ia menyalakan handsfree di telinganya dan mulai berbicara pada seseorang yang kini menghubunginya.
"Sayang!" sapa seseorang dari seberang sana. "Kamu bisa ke apartemen nggak?" tanya Aleta manja.
Arsaka yang merasa bersalah karena tadi meninggalkannya pun mau tak mau mengiyakan.
"Oke, sebentar aja, ya! Aku masih harus nemenin Mama di rumah sakit soalnya," kilah Arsaka. Sebenarnya ia ingin mencari jawaban dari keinginan sang ibu. Haruskah ia menceritakan hal ini pada kekasihnya yang mudah cemburu itu?
Ah, tidak perlu!
Ia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Pasti bisa!
"Iya, Sayang. Aku tunggu!" sahut Aleta yang senang bahwa kekasihnya akan berkunjung ke apartemen. Itu artinya akan ada quality time untuk keduanya. Sebentar akan berubah lama, pikirnya.
Panggilan dimatikan dari Arsaka. Aleta bisa mengertikan.
Arsaka memutar haluan kendaraan mewahnya menuju apartemen elit milik Aleta. Berharap bertemu sang kekasih dapat meringankan beban pikirannya.
***
Hampir sejam berlalu.
Yadi dan Tantri telah membawa barang belanjaan yang dibelinya dari pasar kota. Karena waktu hampir menjelang sore, banyak pedagang telah kembali ke rumah. Mereka berdua memburu waktu dan bisa menemukan aneka tanaman herbal di sana.
Tak mau membuang waktu keduanya telah sampai di depan rumah sederhana milik keluarga Tantri. Di dalam rumah yang asri dan dipenuhi tanaman hias berwarna hijau di samping kiri kanan tampak meneduhkan siapa saja yang melihatnya. Sejuk, dengan hembusan angin menerpa kulit dari pohon mangga yang ditanam di depan rumah.
"Pak, jangan pergi dulu! Tolong tunggu sebentar, ya! Mari masuk dulu, Pak!" pinta Tantri saat membuka pagar rumahnya.
Yadi mengangguk dan menyerahkan dua bungkusan plastik yang baru saja ia ambil dari bagasi mobil pada Tantri. Pria itu mengikuti langkah Tantri dan menerima tawaran gadis cantik tersebut. Tatapannya kini tertuju pada sebuah bangku panjang berbahan kayu yang tampak telah berumur. Ada sedikit gigitan rayap di ujung kanan dan kiri bangku, tapi ia tak mempermasalahkannya.
Yadi menjatuhkan pantatnya di sana sambil menunggu Tantri.
Tak lama, Tantri keluar bersama sang bibi yang sedari tadi kepikiran ke mana perginya keponakan cantiknya tersebut sedari pagi.
"Pak, silakan diminum! Oh iya, ini bibi saya, Pak!" ucap Tantri memperkenalkan wanita paruh baya di sampingnya.
"Loh, kamu 'kan…" ujar Yadi tampak sedikit terkejut melihat bibi dari gadis muda tersebut.
***
Kalau suka dengan cerita ini, mohon dukungannya ya, monggo yang berkenan memberikan saran dan kritik. Diterima sekali…
~Happy Reading All~***"Bibi dan Pak Yadi saling kenal?" tanya Tantri penasaran melihat interaksi kedua manusia paruh baya di sekelilingnya.Baik pak Yadi atau sang bibi tak ada yang mau buka mulut. Kini, bibinya malah pergi meninggalkan Tantri bersama Yadi dan masuk ke rumah untuk melanjutkan kegiatannya meracik jejamuan tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Bibi!" panggil Tantri yang diacuhkan sang bibi. Ia merasa tak enak hati pada pak Yadi. "Maaf ya, Pak. Nggak tahu juga ada apa sama bibi, mungkin beliau mau langsung nerusin bikin jamu," jelas Tantri sekenanya.Yadi mengerti. Ia tak mau banyak bertanya. Ia mengangguk sembari mengulas senyum tipis."Jangan cuma dilihatin aja, Pak! Mari silakan diminum! Keburu dingin loh, Pak. Takutnya nanti nggak manis loh, Pak," paksa Tantri dengan jurus rayuannya."Oh iya, terima kasih. Maaf loh, merepotkan Mbak Tantri!""Ah, Pak Yadi pakai ngomong gitu
~Happy Reading All~***Wanita paruh baya yang tersenyum di ambang pintu itu membuat Mona seketika merasa malas dan risih berurusan dengannya."Kenapa kamu diam saja dan tak menyambut kedatanganku, Mona? Kita sudah lama tak berjumpa, loh!" sapanya basa-basi. Senyumnya mengembang sempurna saat mendekati Mona di atas bed rumah sakit yang didominasi warna putih tersebut."Aku ingin tidur, tolong jangan menggangguku!" sahut Mona dengan ketus."Mana mungkin aku ingin mengganggumu? Aku datang karena ingin berkunjung karena kita sudah lama sekali tak berbincang santai," kilahnya memberi alasan yang sekiranya masuk akal. Ia berusaha mengajak berdamai dengan Mona.Mona tersenyum sinis dan berkata, "Wah, artis besar sepertimu masih punya waktu untuk menemuiku, baik sekali, ya! Ck! Ck!" sindir Mona."Mona! Bisakah kita kembali seperti dulu? Bukankah kita bersahabat baik? Kenapa kamu tega sekali mendiamkanku setelah
~Happy Reading All~***Belum sampai bibir gelas itu menyentuh bibir Arsaka, sebuah panggilan yang berasal dari ponsel di saku celana pria tersebut menghentikan niatnya untuk meminum teh buatan sang kekasih.Arsaka meletakkan kembali cangkir itu ke atas nampan. Aleta tetap mengulas senyum manis di hadapan Arsaka. Mencoba sabar, kini perempuan itu beralih pada ponselnya sendiri dan menggulir beberapa pesan masuk. Sesekali Aleta melirik dan berniat mencuri dengar apa yang akan dibicarakan Arsaka pada lawan bicaranya."Halo, Pak Yadi! Ada apa?" tanya Arsaka serius. Tampak guratan kencang di keningnya.'Den Saka sedang di mana kalau boleh tahu?' tanya balik Yadi."Aku lagi di apartemen Aleta. Kenapa, Pak? Kok kayaknya serius banget?"'Begini, Den. Anu, begini, aduh gimana, ya ngomongnya?'"Kenapa sih, Pak? Jangan buat aku penasaran kayak gini!" seru Arsaka.'Begini, Den, Nyonya Mona
~Happy Reading All~***Tantri merasakan detak jantungnya berdegup hebat. Perasaan itulah yang harus ia tahan sekian lama, karena ia tak mau melanggar kata hati dan berujung menghambat masa depannya nanti.Ia mencoba menetralkan detak jantungnya yang sedemikian kencang dengan memalingkan muka. Memilih menghadap ke sembarang arah demi menutupi rasa yang berkecamuk di hati.Ia menggerakkan bungkusan plastik tersebut maju mundur sembari memilin anak rambutnya yang terurai dengan satu tangan yang lain."Buruan naik, yuk! Langitnya udah gelap, takutnya bentar lagi ujan gede," ajak Banyu pada Tantri. Tantri mengangguk mengiyakan.Pemuda itu menunggu Tantri naik melewati pijakan footstep dan berpegangan pada pundaknya. Maklum, motor yang pemuda itu gunakan adalah sebangsa motor gede.Motor pun melaju. Hati Tantri dan Banyu tampak berdesir hebat. Entah apa yang mereka saat ini rasakan?Tantri menghel
~Happy Reading All~******Arsaka terdiam selama beberapa saat, membiarkan segenap pikirannya terfokus pada satu hal.Kebahagiaan ibunya yang lebih penting atau egonya untuk tetap bersama Aleta?Sebuah keputusan harus ia pilih saat ini juga.Arsaka menggeleng samar sembari tersenyum getir. Kenapa harus ada pihak yang tersakiti? Kenapa tidak dirinya saja yang harus menderita?Semua ini pasti akan menyakiti salah satu di antara dua wanita yang begitu berharga di dalam hidupnya. Aleta dan juga sang ibu.Pria itu menyandarkan kepalanya di atas bed pembaringan tubuh sang ibu yang terlelap, entah kenapa ia merasakan kantuk luar biasa dan tanpa sadar memejamkan mata.Sebelum benar-benar terbuai dalam arus mimpi, Arsaka sempat berucap, "Mama.. Aku sayang Mama, jangan tinggalkan aku sendiri…."******Sementara itu di sebuah apartemen mewah, seorang wanita cantik berhasil mem
~Happy Reading All~******"Sudah berapa kali Bapak dan Mama bertemu dengan gadis kumuh tadi?" tanya Arsaka tanpa meralat sebutan yang ia sematkan pada gadis tak bersalah tersebut.Yadi mengernyit. Beberapa garis horizontal tampak berjajar di kening menambah kesan tua pada dirinya.Diliputi tanda tanya besar di kepala, Yadi memilih bertanya langsung pada anak majikannya itu daripada salah menerka."Maksud den Saka bagaimana, ya? Jujur, Bapak kurang begitu menangkap pertanyaan dari den Saka. Bisa tolong dijelaskan secara detail? Maklum den, Bapak 'kan sudah tua, jadi harap sabar!" ungkap Yadi dengan raut wajah serius tak ada selintas pun ia sengaja melakukan hal itu.Bukan bermaksud menguji kesabaran sang majikan muda, melainkan pertanyaan Arsaka begitu membingungkan dan wajar saja jika ia bertanya. Seperti sebuah pepatah yang mengatakan malu bertanya sesat di jalan menjadi pedoman Yadi mengatakan hal tersebut.
~Happy Reading All~*******"Apakah benar itu rumahnya?" tanya Arsaka di seberang rumah Tantri pada Yadi.Yadi mengangguk mantap sambil menjawab, "Benar sekali, Den! Kan tadi saya yang mengantar ke rumahnya."Arsaka hanya memindai ke sekeliling rumah tersebut. Dari samping kiri sampai samping kanan. Rumah yang dipagari susunan kayu dipoles warna putih itu membuat Arsaka bimbang.Masuk atau mengamati dari jauh saja? Arsaka begitu sibuk berpikir."Kita mau di sini sampai kapan, Den? Apa tidak lebih baik kita bertamu secara sopan saja daripada mengintai dari kejauhan seperti ini? Saya takut nanti dikira mau maling sama orang-orang yang lewat, Den!" tanya Yadi serius yang seolah bisa membaca suasana hati sang majikan tampan.Arsaka belum menjawab, namun pemandangan di mata sungguh mengusik indera penglihatannya, di mana saat ini sebuah motor gede berhenti tepat di depan pintu pagar rumah gadis kumuh itu.
~Happy Reading All~******"Waduh, gawat!" pekik Yadi sedikit panik melihat wanita bernama Yusti terus mengamati kendaraan yang dikemudikannya."Buruan jalan, Pak! Ada apa memangnya sama mobil ini?" desak Arsaka yang mengamati keanehan pada diri Yadi."Nggak tahu juga nih, Den! Tadi Sakti ngasih mobil yang ini, kayaknya karena belum diservice, kalau dilihat dari tanda-tandanya! Nyonya juga jarang minta diantar pakai mobil ini. Saya periksa dulu ya, Den!" ijin Yadi pada Arsaka sambil membuka pintu mobil dan segera keluar usai menjelaskan sekenanya.Yadi sudah berada di luar dan membuka kap mobil yang ia kemudikan. Tidak ada yang aneh. Ada apa ini?Arsaka melihat seorang wanita paruh baya mendekati mobil yang ditumpanginya.Satu pertanyaan kecil di dalam benaknya, siapa dia?Kini, seseorang yang ia maksud mulai mendekati sang supir. Ia tidak tahu apa yang mereka berdua bicarakan. Netra hitamnya