Share

Kebaikan Hati

~Happy Reading All~

***

"Bibi dan Pak Yadi saling kenal?" tanya Tantri penasaran melihat interaksi kedua manusia paruh baya di sekelilingnya. 

Baik pak Yadi atau sang bibi tak ada yang mau buka mulut. Kini, bibinya malah pergi meninggalkan Tantri bersama Yadi dan masuk ke rumah untuk melanjutkan kegiatannya meracik jejamuan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. 

"Bibi!" panggil Tantri yang diacuhkan sang bibi. Ia merasa tak enak hati pada pak Yadi. "Maaf ya, Pak. Nggak tahu juga ada apa sama bibi, mungkin beliau mau langsung nerusin bikin jamu," jelas Tantri sekenanya. 

Yadi mengerti. Ia tak mau banyak bertanya. Ia mengangguk sembari mengulas senyum tipis. 

"Jangan cuma dilihatin aja, Pak! Mari silakan diminum! Keburu dingin loh, Pak. Takutnya nanti nggak manis loh, Pak," paksa Tantri dengan jurus rayuannya. 

"Oh iya, terima kasih. Maaf loh, merepotkan Mbak Tantri!" 

"Ah, Pak Yadi pakai ngomong gitu segala. Buruan diminum, Pak!" 

"Iya!" 

Kerincingg kerincingg

Tantri mengeluarkan kotak uang yang ia kumpulkan selama beberapa waktu lalu di samping Yadi. 

Kening Yadi mengernyit heran. Garis horizontal yang berjejer di sana bertambah setelah melihat kelakuan gadis di sampingnya. Tantri menghitung satu per satu koin berwarna perak dan emas tersebut menjadi susunan tinggi. 

Pria yang telah menginjak usia empat puluh lima tahun itu tak mau ikut campur atau bertanya pada Tantri. Lebih baik ia menandaskan minuman yang ada di genggamannya secepat mungkin. 

Mengingat ekspresi kesal dari bibi Tantri yang tak suka pada dirinya di sini, membuatnya terburu-buru meneguk cairan berwarna coklat bening beraroma melati mengaliri tenggorokannya. Beruntungnya cairan itu tak membuatnya tersedak. 

Cairan manis itu telah berhasil ia tandaskan tanpa sisa dan ia berniat pamit pada pemilik rumah yang notabene adalah Yusti, bibi Tantri. Sekali lagi, ingatan tentang bibi dari gadis di sampingnya membuat dirinya meralat keinginannya. 

"Mbak, saya mau pulang dulu. Takut nyonya Mona nungguin saya kelamaan di rumah sakit. Tolong sampaikan salam dan terima kasih saya pada bibi Mbak Tantri, ya!" pamit Yadi tampak sungkan dengan senyum kikuk. 

"Saya panggilkan bi Yus dulu, ya!" cegah Tantri. 

"Nggak usah, Mbak. Lain kali aja!" tolaknya cepat. Ia segera beranjak dari bangku panjang tersebut. 

Yadi merasakan bulu kuduknya meremang. Ia mendongakkan kepala menatap ke atas, di sana ranting pohon tampak biasa-biasa saja, tak ada hembusan angin sama sekali. 

Kenapa mendadak bulu kuduknya berdiri seperti itu? Apakah ada makhluk tak kasatmata yang tengah memperhatikannya atau ada seorang perjahat yang menargetkan dirinya? Pikirannya mendadak parno dan sedikit panik karena pemberitaan media massa baru-baru ini di layar kaca. 

Benar saja dugaannya, kali ini ia menebak sedikit kurang akurat. Di mana saat ini sepasang mata tengah memperhatikannya dengan sorot mata tajam, bukan makhluk tak kasatmata apa lagi seorang penjahat, melainkan, Yusti. 

Mendadak pria itu merasa nyeri di bagian kepala, efek terantuk setir mobil yang ia kendarai pagi tadi dan membuatnya mengalami kecelakaan bersama majikannya. Refleks, ia memegangi kepalanya. 

"Pak, bapak kenapa?" tanya Tantri merasa panik. Ia memegangi bahu Yadi dan membantu mendudukkan tubuh pria itu kembali ke bangku. 

"Kepala saya pusing sekali, Mbak! Sepertinya ini efek kecelakaan tadi pagi. Tapi nggak apa-apa, saya yakin nanti akan segera sembuh kembali. Saya pamit, ya, Mbak…" ucap Yadi memaksakan diri. 

"Tunggu, Pak! Ini uang yang tadi saya pinjam, ini saya kembalikan. Tujuh puluh lima ribu rupiah. Lunas ya, Pak!" ucapnya tegas sambil memaksa telapak tangan pria itu menerima uang pemberiannya dalam bungkusan plastik transparan. 

Bukan uang lembaran melainkan recehan sejumlah nominal yang disebutkan gadis itu dengan lantang. 

"Lah Mbak, cuma tujuh puluh lima ribu kok dibalikin! Saya tuh ikhlas bantuin Mbak Tantri. Karena Mbak Tantri udah nolongin saya dan nyonya Mona, makanya barang bawaannya hilang," tolak Yadi. Ia kembali memaksa gadis itu menerima uangnya kembali. 

"Pak, tujuh puluh lima ribu juga uang! Satu juta kurang seratus perak namanya juga bukan satu juta. Bener, nggak? Sudahlah Pak, terima saja!" kilah Tantri mengeluarkan trik sudut menyudutkan. 

Ada benarnya juga ucapan gadis cantik tersebut. Tak mau basa-basi dan sudah menyelesaikan tugasnya dari sang majikan pada Tantri, lebih baik ia kembali ke rumah sakit. Ditambah lagi seorang wanita yang berdiri di ambang pintu itu terlihat menakutkan melebihi sosok tak kasatmata. 

"Baiklah kalau begitu, ini uangnya saya terima ya, Mbak Tantri! Kalau begitu saya permisi dulu," pamitnya sekali lagi sambil mencoba mengacuhkan wanita di ambang pintu. 

"Iya, Pak. Terima kasih banyak sudah mengantar saya pulang kembali ke rumah dengan selamat dan membeli belanjaan untuk membuat jamu. Terima kasih sekali. Tolong sampaikan rasa terima kasih saya pada Nyonya Mona," ucap Tantri disertai senyum meneduhkan mata siapa pun yang menatapnya. 

Yadi mengangguk tanpa menjawab. Dalam hati, pria itu begitu menyanjung kebaikan yang tulus tanpa dibuat-buat dari gadis cantik tersebut. 

Mobil yang dikemudikan Yadi melaju dengan kecepatan sedang, semakin lama kendaraan roda empat mewah itu semakin hilang ditelan jalanan ramai. 

Hendak membalikkan badannya menuju ke dalam rumah, Tantri dikejutkan adanya sang bibi di belakangnya persis. 

"Astaga, Bibi! Untung jantung Tantri nggak copot, kalau copot gimana coba?" pekik Tantri refleks memegangi dadanya yang berdegup kencang. "Astaghfirullah… Bibi…" lirihnya sambil mengelus bagian itu guna menetralkan degub jantungnya yang kalang kabut tak karuan karena kedatangan sang bibi. 

"Kamu kok bisa pulang sama orang itu?" tanya Yusti tanpa basa-basi. Tatapan tak suka tampak di manik matanya. Ia mengerucutkan bibir dan itu tertangkap jelas oleh Tantri. 

"Itu? Namanya Pak Yadi, Bi. Orangnya punya nama, bukan itu!" timpal Tantri membenarkan. 

"Mulut-mulut siapa?" 

"Bibi!" 

"Nah itu tahu, ya biarin aja bibi mau ngomong dia namanya itu, anu atau apa, terserah bibi!" ketus sang bibi, mengerutkan kening keponakannya tersebut gara-gara ucapannya. Buru-buru ia mengalihkan pertanyaan, "Dari mana kamu kenal sama dia?" 

"Oh, Pak Yadi?" 

"Iya, Yadi Setiawan! Itu namanya. Puas?" 

"Eh!" 

***

Mona berada di dalam ruangan VIP seorang diri. Ia memang masih kekeuh dengan keinginannya yang hendak menjadikan Tantri sebagai calon menantunya. Entah kenapa rasa itu begitu menggebu. 

Air matanya menetes di pipi mengingat wajah sendu gadis tadi, gadis yang telah menyelamatkannya dari maut. Maut seolah terasa dekat, tapi ia belum menemukan pasangan yang tepat untuk sang putra. 

"Arsaka, suatu saat nanti kamu akan tahu alasan kenapa Mama menginginkanmu menikahi gadis penyelamat seperti Tantri. Seiring berjalannya waktu kamu akan sadar. Siapa sebenarnya orang-orang yang tulus mencintaimu, lambat laun kamu akan menemukan jawabannya, Arsaka putraku… " lirihnya seorang diri. 

Tok Tok Tok 

Seseorang mengetuk pintu dari luar. Buru-buru ia menyela deraian air mata yang membasahi kedua pipinya. 

"Masuk!" 

Ceklek 

Pintu terbuka. 

"Hai, Mona. Lama tak bersua!" 

"Dari mana kamu tahu aku ada di sini?" 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status