“Selamat malam, Ibu,” tutur Jade berhenti sejenak di hadapan Leah.CEO dari Oran Brewery itu akhirnya datang ke mansion besar Herakles untuk memenuhi panggilan sang kakek. Manik tegasnya menatap Leah, tapi ibunya itu sama sekali tak sudi memandangnya. Jangankan menyahut sapaan Jade, bahkan Leah rasanya mual mengetahui putra sulungnya tersebut berada di depan matanya.“Untuk apa kau datang ke sini, hah?” sungut Denver dengan sorot masamnya.Namun, alih-alih menjawab, Jade justru merapikan kancing jasnya dan lekas berlalu menuju ruangan Hans. Dia tak ada niat sama sekali untuk mendengar ocehan adiknya yang tak berotak. “Sialan, berani sekali anjing liar itu mengabaikanku?” Putra kedua Leah tersebut menggerutu sengit.“Tutup mulutmu, Denver. Bukan ini yang harus kau khawatirkan sekarang. Cepat ikuti dia dan cari tahu apa yang Kakekmu bicarakan dengannya!” sambar Leah memicing tajam.Dirinya tak bisa berpangku tangan saat Jade mendapat kesempatan. Meski dia adalah darah dagingnya sendiri
Manik hazel Anais terbelalak melihat sang pria, dia sungguh tak menyangka mendapati sosok itu di sini. Namun, tangannya bergerak otomatis membuka pintu mobilnya seakan terhipnotis arahan orang tersebut.Iris wanita itu melayap buncah saat kilatan cahaya kamera memotret dirinya.Dengan sigap, pria yang membantu Anais itu pun merengkuh bahunya dan lantas menyeru, “Mohon tenang, semuanya. Nona Anais pasti akan memberikan klarifikasi setelah situasinya kondusif!”“Kami sudah lama menunggu, setidaknya tolong jawab satu pertanyaan saja. Mengapa seorang Seniman seperti Nona Anais berselingkuh?!” Dengan entengnya mulut Wartawan itu terbuka.Sontak, pria tadi langsung menghunus tatapan sengitnya pada si juru warta.“Jaga bicara Anda. Kata-kata Anda sangat keterlaluan!” sentaknya dengan air muka mengeras.Tanpa menunggu tanggapan, dia pun lekas membimbing Anais pergi. Keduanya segera masuk ke dalam galeri untuk menghindari para pemburu desas-desus tersebut.Jajaran pegawai di Dante’s Gallery pu
“Ah!” Anais pun seketika terkejut dengan leher menegang.Dia tak mengerti mengapa Jade mendadak bertingkah aneh padanya.Namun, mengingat situasi awal saat Aretha menuduhnya sebagai penguntit, Anais pun mengambil kesempatan ini.“Tidak, aku juga baru datang,” tukasnya seraya mengulas senyum lembut pada Jade.Sungguh, Aretha dan Denver yang sudah tertegun, kini semakin melebarkan bola matanya begitu melihat interaksi dua orang di hadapannya.‘Apa-apaan mereka? Mengapa anjing liar itu bisa dekat dengan Anais? Sejak kapan mereka menjalin hubungan?’ Denver bertanya-tanya dalam batinnya.Gelombang kedongkolan langsung menyapu benaknya. Entah mengapa hatinya terasa risih mendapati sang mantan terlibat dengan kakaknya. Meski sangat penasaran, tapi cucu kedua Tigris Devante itu memilih bungkam sebab egonya yang tinggi.“Apa hubungan Kakak dengan pria ini? Apa kalian berpacaran?” Tanpa ragu Aretha pun menguarkan rasa ingin tahunya.Sungguh berbanding terbalik dengan Denver. Tatapannya yang sen
“Anda sangat tidak sopan pada seorang wanita!” Manik Jade gemetar seiring dengan nadanya yang meninggi. Cekalannya pada si pelayan pun bertambah erat seolah dia ingin mematahkan tulangnya. Ya, Jade sungguh terusik kala mendapati pegawai restoran itu menatap Anais penuh nafsu. “Ba-baik, Tuan. Tolong lepaskan saya!” sahut Pelayan tadi terbata. ‘Dasar, sialan!’ Dia segera menarik tangannya saat Jade melonggarkan cengkeraman. Irisnya pun menggulir buncah ke arah Anais dan lantas membungkukkan badannya berulang kali. “Saya benar-benar mohon maaf, Nona. Saya sudah ceroboh dan malah menumpahkan minuman ini pada—” “Baiklah, saya tidak apa-apa. Saya harap lain kali Anda lebih berhati-hati.” Anais lekas memangkas ucapan Pelayan tadi sebab canggung menjadi bahan tontonan. Wanita itu memilih untuk menahan diri. Sudah banyak perkara yang membelit kepalanya, jika dia juga menangapi masalah sepele seperti ini, maka hanya akan membuang energi dengan sia-sia. Meski Anais tak memperpanjang perka
Hembusan napas Jade yang mengenai wajah Anais terasa begitu hangat. Bahkan hidung bahari mereka yang nyaris bersinggungan, membawa sensasi berdebar yang membingungan bagi sang wanita.Jade yang sengaja menggoda Anais untuk melepas tegangnya pun menaikan salah satu alisnya. Di bawah remang lampu depan pintu toilet itu, dirinya berbisik, “Saya akan memikirkannya nanti.”Seketika, kelopak mata Anais terangkat. Dirinya terkejut kala tangan Jade melangkupkan jas hitam ke tubuhnya untuk menutupi bagian yang basah.“Sekarang Anda memiliki satu hutang lagi pada saya, Nona,” tukas Jade yang kini menarik dirinya agak menjauh.Sungguh, garis wajahnya yang menguarkan otoritas, sangatlah mengusik Anais. Maniknya yang setegas elang, juga sudut bibir yang kerap kali tersungging miring, sungguh terasa menekan.Anais membeku. Tulang selangkanya yang terpahat indah menonjol seiring dengan rasa geramnya terhadap Jade.“Anda benar-benar pria yang tak ingin rugi rupanya. Berapa yang Anda inginkan agar ki
Wajah Anais tampak mengeras dengan segala bendungan amarah. Bahkan sampai langit menggelap pun, dirinya masih dibuat dongkol juga. “Ah, ternyata Kak Anais baru kembali?” tukas Aretha melempar tanya. “Bagaimana kencan Kakak dengan pria itu? Tumben sekali Kakak ingat pulang?” Sungguh, bibir Aretha yang tersungging sinis sangatlah memacu pertikaian. Anais yang sudah geram, kini menyorot tajam dan segera menyambar, “Telan saja basa-basimu itu! Katakan, untuk apa kau masuk ke kamarku?!” Bukannya langsung menyahut, Aretha malah mengerutkan keningnya kesal, seolah-olah tak terima mendapat amukan tanpa alasan. “Mengapa Kak Anais begitu marah? Memangnya kita orang lain? Aku hanya memeriksa, apa Kakak sudah pulang atau belum?!” Sang Adik menimpali dengan tedasnya. Lucu sekali. Dia berlagak menjadi saudara, padahal sebelumnya telah berkoar pada Denver jika Anais bukan bagian dari keluarga sahnya. Sungguh gila, bukan? Tingkahnya itu seketika membuat rasa mual naik ke tenggorokan Anais. Wan
Belum juga Jade menjawab, mendadak ada ketukan di jendela mobilnya. Sepasang manik elangnya melirik malas, terlebih dia sudah tahu siapa orang yang mendatanginya.“Keluarlah!” tukas Denver sengit.Jade sama sekali tak menanggapi, tapi sang adik malah kian keras menggedor kaca limosin yang masih terparkir itu.“Aku bilang keluar, sialan!” Cucu kedua Hans tersebut kembali memberang, sampai-sampai menarik perhatian para Karyawan yang tengah berlalu.Carlein-asisten Jade yang berada di bangku kemudi pun bimbang. Dia merasa sang tuan sudah tak nyaman berada di tempat ini, tapi dirinya juga tak bisa langsung melesat saat adik Jade melaung-laung di dekat mobilnya.“Haruskah kita pergi sekarang, Tuan?” tukas Carlein bertanya.Jade tak merespon. Dengan dahi mengerut, ekor matanya memicing ke arah sang adik.“Jagalah sikapmu, Denver. Saat ini kau sedang tidak berada di hutan!” cecar Jade usai menurunkan sebagian kacanya.Sederet ucapan itu seketika memacu rasa geram naik ke pipi Denver. Tangann
“Ada apa, Nyonya Velma? Berita buruk apa yang Anda maksud?” tanya Anais seiring dengan irisnya yang berubah lebar.Dirinya menatap pegawai wanita dengan setelan ungu muda yang dijumpainya di lobi tadi. Dari tampang kurator itu, Anais bisa menerka bahwa dia memang membawa warta tak sedap.“Apakah ini tentang karya Cosseno tadi?” tukasnya menebak.Namun, jawaban yang dia dapatkan rupanya salah. Velma menggeleng dengan gelombang kecemasan melekat di wajahnya.“Ah, itu ….” Kata-katanya terpaksa dia hentikan saat menggulir maniknya pada Eldhan.Gelagatnya seolah meminta sang pria untuk pergi. Dan Eldhan menyadari, pasti perempuan itu membutuhkan ruang privat untuk berbicara dengan Anais.“Sepertinya kita harus sarapan bersama lain waktu. Hari ini ada kasus mendesak, jadi aku pergi dulu, Anais.” Pria tersebut menutur setelah meletakkan bungkusan makanan di meja.“Oh … baiklah,” balas sang wanita singkat.Dia lega karena Eldhan bisa mengerti keadaan ini. Bibirnya tersenyum sabit saat teman p