Malati dan Aldino saling beradu pandang dengan pikiran masing-masing. Aldino yang terlihat berbicara dengan santai sedangkan Malati yang terlihat cukup serius mendengarnya.Eh hem,Aldino berdehem untuk menetralkan suasana.“Dokumen Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, Mala. Meskipun aku menikahimu sebatas pernikahan kontrak tetapi aku kepengen kita punya dokumen resmi,” lanjutnya menghela nafas.Njelimet! Malati tak memahaminya. Terlihat dari ke dua alis tipisnya yang menyatu di tengah.“Mala, jangan salah paham! Meskipun pernikahan kita pernikahan kontrak. Sejujurnya aku tak setuju dengan konsep pernikahan siri atau secara agama saja. Karena jelas pernikahan seperti itu tidak melindungi hak-hak wanita. Apalagi anak-anaknya kelak.”Aldino berkata setelah menyeruput es kelapa. Namun alis Malati semakin bertaut.‘Sakarepmu,’Andai Malati memiliki keberanian untuk bersuara.Tangan Aldino terangkat memanggil yang empunya warung. “Bu, kalau restoran ikan bakar terdekat di mana y
Aldino dan Malati duduk lesehan di restoran seafood dekat pantai. Sebuah tempat duduk berbentuk gazebo dengan atap rumbia yang menaunginya menjadi pilihan Aldino.Di depannya ada sebuah kolam teratai dengan air mancur yang indah di bagian tengah. Di samping kolam teratai ada kolam besar berisi ikan-ikan berukuran jumbo. Di belakang mereka ada pemandangan pantai yang bisa dinikmati secara langsung.Sengaja, Aldino memilih tempat duduk di luar, tepatnya di belakang restoran yang agak sepi. Tentunya, agar acara makannya tidak terusik.Aldino langsung memesan makanan; ikan bakar kuwe, sapo tahu, tumis kangkung dan nasi liwet serta jus jeruk sebagai minumannya. Malati hanya memesan menu yang sama dengannya. Sekarep Aldino.Ketika menunggu pesanan siap, Malati terlihat tengah mengamati teratai yang mengambang di atas kolam tanpa suara. Ragu-ragu, Aldino mulai membuka percakapan. “Mala …” panggil Aldino hingga membuat pemilik nama menoleh.“Um, siapa tadi yang menyapamu?” telisik Aldino me
Siang itu Malati mematut di depan cermin dengan agak lama, tak biasanya. Ia menatap pantulan wajah dan tubuhnya dengan banyak syak-wasangka di kepalanya.Pengamatan dimulai dari bagian alis tipis yang melengkung indah, yang membuatnya mengulum senyum. Bentuk alisnya presisi, murni dari lahir tanpa disulam.Lalu, tatapannya turun menatap bentuk matanya. Jika ia tersenyum maka matanya berbentuk garis horizontal tipis, tak kelihatan. Lantas, ia cemberut.Lalu ia mengamati bentuk hidung mancritnya dan bibirnya yang tipis. Fiks, ia menarik kesimpulan. Ia mewarisi kecantikan ibunya. Hanya saja, bentuk mata ibunya agak besar tak seperti dirinya yang sipit sehingga sering dikira keturunan Chindo.Saat melakukan pengamatan, Malati sedang merenung dan memikirkan kata-kata Aldino yang mengatakan bahwa ia ‘cewek gampangan’. Kata-kata Aldino itu tajam mirip sebilah pisau yang menggores kulit. Malati bahkan tak pernah punya pacar. Bagaimana bisa, dikatakan cewek gampangan.Apakah karena pertemuan d
Tok, tok, tok,Linda-guru BK mengetuk pintu ruangan Aldino dengan begitu kencang karena sedari tadi atasannya itu tidak keluar ruangan.Apa mungkin Aldino pingsan di dalam? Atau, dia sedang bersemedi.Ditempelkannya telinga Linda rapat tepat di pintu ruangannya. Tak terdengar suara apapun dari dalam hingga sekonyong-konyong tubuh Linda terhuyung jatuh ke muka ruangan ketika Aldino membuka pintu ruangannya.“Yalah, yalah, yalah,” seru Linda memekik kaget. Aldino sama sekali tak menolongnya. Beruntung, Linda terhuyung ke sofa bukan pada lantai keramik.Aldino berdiri dengan tangan masih mencengkeram handle pintu, menatap Linda dengan tatapan menghunus dan mengandung hawa permusuhan.“Ada apa?” tanyanya dengan suara bariton yang menggetarkan hingga ke palung jiwa.“Maaf, Pak. Dari tadi saya sudah mengetuk pintu dan sudah mengucapkan salam sampai lima kali tapi Bapak tidak menyahut.”Membenahi seragamnya Linda berusaha menegakan tubuh dan menghadap Aldino.Linda terkenal sebagai seorang g
“Yeay!!” sorak sorai Erlangga the geng terdengar gempita diiringi tepuk tangan. Mereka kegirangan karena berhasil mendapat nilai A untuk presentasi dan makalah mata kuliah Kewirausahaan. Predikat yang sempurna untuk tugas kelompok. Atas jasa Malati semua tugas selesai tepat pada waktunya meskipun sempat terjadi insiden kamera menghilang.“Go Malati! Go Melati!”Melakukan selebrasi, Satria bergoyang pargoy bikin semua anak mahasiswa yang lewat tergelak melihat kekonyolannya.“Gila lo! Keren! Two thumbs up buat Putri Melati! Emang lo genius!!”Reynaldi mengangkat dua ibu jarinya menyelamati Malati. “Pantes aja lo dapat juara terus olimpiade.”“Well, ternyata anak bebek itu sudah berubah jadi anak angsa. I am proud of you, Mala!” puji Erlangga dengan tetap mempertahankan raut wajahnya yang angkuh. Sebetulnya, ia iri pada gadis berwajah oriental itu karena kecerdasannya. Ia menatap Malati dengan begitu dalam, penuh kagum.“Cie,,,cie!!”Satria menggoda Erlangga dengan menyikut lengannya.H
“Apa aku mengganggu, Mr Bon?” seru Malati berdiri di bibir pintu dengan memutar ke dua bole matanya jengah melihat pria itu yang tengah mencak-mencak memarahi karyawannya. Sepulang kuliah ia tak lantas pulang namun pergi menuju kantor Mr Bon.Tatapan Mr Bon mengikuti sumber suara.“Sudah lama kau di situ?” tanyanya menurunkan suaranya. Tangannya mengibas di muka karyawannya, memintanya pergi.Malati melesak masuk ke dalam ruangan itu, “Sejak zaman Edo! Assalamualaikum!”“Waalaikumsalam. Tumben, kau datang kemari.”Mr Bon mendaratkan bokongnya dan memutar kursinya membelakangi Malati. Berlagak menjadi seorang detektif populer. Malati duduk diatas kursi plastik berseberangan dengannya, terhalang oleh meja.“Mr Bon, mengapa kau menyuruhku menghentikan tugasku memata-matai cucunya Tuan Waluyo?”Mr Bon tertawa hingga menampilkan gigi taring emasnya. Malati mencengkram kaki kursi saking terkejut mendengarnya tawa yang menggelegar.“Kau mau menyelidiki suamimu sendiri?” sahut Mr Bon berbal
“Mbak baru pulang?” sapa Mbok Darmi membukakan pintu rumah ketika Malati baru saja tiba di kediaman Aldino.Alih-alih menjawab pertanyaan Mbok Darmi, Malati hanya menyematkan senyum tipis dan bertanya balik, “Mas Aldino sudah pulang?”Mbok Darmi terlihat mengubah ekspresi raut wajahnya ketika mendengar pertanyaan Malati. Ingatannya berputar dalam hitungan detik. Aldino pulang dalam keadaan marah dan dongkol. Entah apa alasannya sebab biasanya pria bertubuh besar itu tidak pernah terbuka soal masalahnya. Meskipun cukup dekat dengan dirinya.Hanya saja, dari aura yang tersirat secara tidak langsung menunjukan bahwa suasana hatinya tengah buruk. Apabila suasana hatinya buruk maka siapapun takkan berani mendekatinya. “Mbok! Kau melamun?” Malati melambaikan tangannya di depan muka Mbok Darmi.Mbok Darmi tersentak melihat Malati dalam jarak yang begitu dekat.“Eh, ngapunten, Mbak. Mas Aldino sudah pulang dari tadi. Tapi …”Ada jeda yang muncul dalam kalimat yang ia susun. Sebuah kalimat y
Pagi itu Aldino nampak panik sebab tak mendapati Malati di kamar ataupun di ruangan lantai dua. Ia tak melihatnya semenjak sholat subuh. Mungkin Malati turun ke bawah membantu Mbok Darmi memasak. Namun ternyata tidak demikian.“Di mana Mbak Malati?” tanya Aldino pada Mbok Darmi yang tengah wara-wiri di ruang tamu.“Mbak nya sudah berangkat pagi, Mas,” jawab Mbok Darmi yang tengah membimbing para pekerja di rumah dengan teliti. Terlihat ia cekatan dan selalu mengecek furniture jika masih kotor karena debu dengan menempelkan ujung jarinya.“Berangkat? Jam berapa?” telisik Aldino- yang sudah memakai setelan olahraga. Hari ini ia akan berangkat ke sekolah agak siangan. Ia akan melakukan rutinitas olahraga pagi, berlari mengelilingi komplek perumahan elit tersebut.“Jam lima pagi,” jawab Mbok Darmi setelah menyuruh pekerja lain untuk kembali mengerjakan tugas masing-masing.“Hah? Kemana? Bukankah hari ini ngampus.”Aldino cukup tersentak mendengar kepergian Malati. Bahkan ia tak meminta ij