Agnes sedang mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam lemari pakaian ketika dia mendengar suara ketukan pintu. Ditaruhnya bungkusan itu di sudut ranjang saat dia berjalan menuju pintu. Agnes refleks melangkah mundur tatkala mendapati Clarissa berdiri dengan wajah sinis di depan pintu. Tanpa dipersilakan, Clarissa langsung masuk. Bola matanya bergerak liar menyapu seluruh permukaan kasur. “Apa ini?” tanyanya sambil meraih bungkusan yang diletakkan Agnes di atas tempat tidur. “Oh, itu … hadiah kecil untuk Tante,” sahut Agnes. Dia tersenyum canggung. Tidak menyangka kalau ibu mertuanya itu akan mendatangi kamarnya. “Kamu ingin menyogokku?” “Maksud Tante?” “Aku tahu apa hubunganmu dengan Aksa.” “Kalau Tante pikir aku takut kebenaran ini akan terungkap, Tante salah.” Clarissa melengos. Bantahan Agnes menyentil egonya. Dia sudah terlanjur senang karena dia punya senjata untuk menaklukkan Agnes, tetapi dia kecele. Wanita itu punya perisai kepercayaan diri yang cukup kuat untuk menaha
Meski resepsi pernikahan Chana hanya mengundang tamu dalam jumlah yang sangat terbatas, mereka bukanlah orang-orang dari masyarakat biasa. Mereka adalah kalangan atas dan kaum sosialita. Tubuh-tubuh berotot dan terawat baik itu dibalut oleh setelan jas dan gaun mewah yang bernilai puluhan atau bahkan ratusan juta. Ainun dengan penampilannya yang sederhana tampak mencolok, seperti seekor domba di tengah kawanan rusa. Ainun memutuskan untuk menyudut agar tidak menjadi pusat perhatian. “Lihat! Katanya perempuan itu masih keponakan Tuan Haidar,” bisik seorang wanita berusia mendekati kepala lima. Tubuhnya yang terbalut gaun berwarna hitam tampak elegan dan lebih muda dari usia sebenarnya. “Kalian percaya?” Tiga orang rekan yang duduk semeja dengannya serentak memusatkan tatapan mereka pada satu titik yang sama. Tampak Agnes duduk anggun seorang diri dalam balutan gaun berwarna lavender. “Kata siapa?” timpal rekannya yang duduk di sebelah kiri. “Aku dengar Nyonya Clarissa menjawab sep
Suara mesin berhenti meraung ketika Agnes memutar kunci ke kiri. Dia menoleh ke samping. Lelaki yang diyakininya sebagai Aksa tampak masih tertidur pulas. 'Energinya benar-benar terkuras habis,' komentar Agnes dalam hati. Dia ingin membangunkan Aksa agar segera masuk, tetapi rasa tidak tega membuatnya menarik lagi sebelah tangannya yang sudah terulur. Akhirnya, Agnes memutuskan untuk menunggu selama beberapa waktu. Agnes menumpukan kepala pada putaran roda kemudi dengan lengan kanan melingkar anggun. Kesempatan yang bagus untuk dapat menikmati wajah Aksa sepuas hati saat lelaki itu tertidur lelap. Drrrt! Agnes merasakan tas yang menyenggol pinggulnya bergetar halus. Dia sedikit mendecak kesal lantaran kesenangannya terganggu. Dengan gerakan malas, Agnes merogoh tas dan mengeluarkan ponsel. Menyadari sebuah nomor asing yang mengontaknya, Agnes memutus sambungan telepon tersebut dan menyimpan kembali gawai kesayangannya. Di saat bersamaan, Gugun terjaga. Dia tercengang selama beber
Gugun curi-curi pandang pada sosok Ainun yang sedang memakai pakaian. Dia merasa berdosa telah melakukan itu, tetapi sisi hatinya yang lain justru sangat menyukainya. Sekelebat bayangan muncul di benaknya. 'Hah! Apa itu tadi?' Sebuah adegan buram yang memperlihatkan seorang lelaki tengah mendekap hangat seorang wanita dengan tubuh yang masih terbalut handuk membuat kepala Gugun kembali berdenyut nyeri. Berulang kali Gugun geleng-geleng kepala. Entah sedang berjuang mengusir rasa sakit atau mencoba memperjelas bayangan samar yang tadi melintas dalam ingatannya. “Papa sakit ya?” tanya Kyra, mengusap pelipis kiri Gugun dengan jari-jari halusnya. Gugun seperti tersedot ke dalam lautan teduh bola mata Kyra. Dia memaksakan sudut bibirnya melengkung naik. “Tidak. Papa hanya capek,” sahutnya. Sedetik kemudian Gugun terkejut sendiri. Papa? Bagaimana bisa dia menyebut dirinya sendiri sebagai papa sementara seingatnya dia baru saja menjalani pesta pertunangan dengan Aileen. Apa ayah dari an
Jika rindu menjadi sehelai pintalan benang kusut, maka sualah yang menjadi pengungkainya. Ainun merasakan damba yang selama ini berkelindan dalam resah, perlahan menemukan titik pengurai dalam perubahan sikap suaminya. Tajamnya bilah ketakutan yang sempat memangkas kebahagiaannya jatuh terempas setelah semburat senyuman menawan terukir indah di wajah Gugun. “Benarkah?” tanya Gugun, menampilkan ekspresi polos. “Memangnya, sebelumnya panggilanku apa?” Ainun melongo. Dia bahkan sampai menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Setelah beberapa detik, dia baru tersadar dari kekagetan. “Kamu benar-benar tidak ingat, Mas?” Ainun tak percaya Gugun melupakan nama panggilannya sendiri. Gugun menggeleng. Pikirannya kosong akan peta kenangan itu. Yang ada hanyalah rasa penasaran. Kesalahpahaman ini semakin menarik saja. Ainun memberanikan diri menjamah wajah Gugun dengan jari-jari yang sedikit bergetar. “Sejak kita pacaran, aku selalu memanggilmu Gugun …” Ainun menjeda sejenak penjelasan
Gugun keluar dari kamar dikawal Ainun. Dia masih rungau. Langkahnya pun sempoyongan. Gugun tertegun. Memandangi wajah Haidar dan Clarissa yang menghujaninya dengan tatapan penuh amarah. Lagi-lagi dia merasa déjà vu. “Mas!” Ainun segera menangkap tubuh Gugun yang terhuyung ke belakang sambil memegangi kepala. Agnes yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu tergabas keluar begitu mendengar pekik Ainun. “Aku yang membawa Aksa pulang, Om!” tegasnya setelah melirik wajah pucat Gugun dalam papahan Ainun. Dia tidak ingin Ainun menjadi korban amarah Haidar dan Clarissa atas apa yang telah dilakukannya. Haidar meneleng dengan mata menyipit. “Kalau nanti kau sudah merasa lebih baik, temui papa secepatnya!” Tampak jelas Haidar berusaha menahan gejolak emosinya. Dia mencuri pandang pada Agnes sekilas, sebelum berbalik dan berjalan menuruni tangga. Clarissa mengekor di belakangnya. 'Sial! Kenapa juga istri muda Aksa harus ikut campur?' dumel Clarissa dalam hati. Menoleh pada Agnes, lalu be
“Papa memanggilku?” tanya Aksa begitu tiba di hadapan orang tuanya. Dia tegak tidak jauh dari sofa yang diduduki Haidar. Sementara Agnes, selangkah di belakangnya dan sedikit ke kiri. Berjarak sekitar satu meter dari Ainun yang berada di sisi kanan Aksa. Haidar meletakkan lembaran koran sore yang dibacanya. Dia mendongak dengan wajah menegang. “Pilih satu dari mereka!” titah Haidar tanpa tedeng aling-aling. Melirik sekilas pada Ainun dan Agnes bergantian. Aksa terperangah. “Maksud Papa?” Haidar menyilangkan kaki. Melendehkan punggung lelahnya pada sandaran sofa. Dia melipat tangan di depan dada, seperti seorang bos yang sedang memberikan pilihan sulit kepada karyawan yang telah melakukan kesalahan pada perusahaannya. “Di antara mereka berdua, pilih siapa yang akan kau pertahankan sebagai istri,” tegas Haidar. “Lalu, ceraikan yang lainnya!” Netra gelap Aksa berkilat laksana kilau samurai tertimpa cahaya. “Tak ada yang harus kupilih, Pa,” tegas Aksa. Dia mendaratkan tatapan pada w
Haidar tergolek di ranjangnya. Tak mampu membuka mata akibat kepalanya yang terasa sangat berat. Setiap kali dia mencoba menyalangkan mata, dunia seakan berputar. “Agung mana, Ma?” tanya Haidar. Clarissa sedang merias diri di depan cermin. Bersiap untuk turun, menikmati sarapan pagi. Mulut Clarissa melancip ketika dia meraih ponsel di dekatnya. Dia tidak senang rutinitas paginya terganggu. “Panggil dokter! Papamu kambuh!” Clarissa langsung memberi perintah begitu Agung mengangkat panggilannya. Dia meneruskan lagi dandanannya. “Tunggu saja, Pa!” ujarnya. “Sebentar lagi Dokter Ryan datang.” Haidar mengembuskan napas kencang. Sikap cuek Clarissa menyenakkan dada. Wanita itu tak begitu mengkhawatirkan keadaannya, padahal dia selalu bersedia melakukan apa saja untuk Clarissa. “Makanya, Pa … sudah tahu darah tinggi, masih saja marah-marah,” omel Clarissa. Dia meninggalkan meja rias. Meraba kening Haidar. “Untung enggak demam.” Di kediaman Agnes, Aksa sedang bersiap memanaskan mobil.