“Mbak!” Agnes mengerem langkah ketika salah satu karyawan memanggilnya. Dia menoleh ke kanan. Tampak Serra menunggu responsnya. Sementara, tangan gadis itu terus bekerja merapikan baju-baju yang terpajang di butik tersebut. “Ya?” “Anu … Mbak. Tadi … ada yang nyariin Mbak,” lapor Serra ragu-ragu. “Oh ya? Siapa?” Agnes bukan tipe orang yang rajin mengundang teman untuk datang ke butiknya. Kenalan yang datang berbelanja pun jarang sekali mau bertemu langsung dengannya. Mereka cukup memahami kesibukannya dan sangat menghargai waktunya. “Katanya sih keluarga Mbak.” Agnes mengerutkan alis. Dia tidak punya keluarga di kota itu kecuali mama dan asisten rumah tangga yang sudah dianggapnya seperti keluarga. Rasanya tidak mungkin Asih datang ke butik. 'Tunggu! Apa jangan-jangan mamanya meminta Asih untuk memata-matainya? Gawat!' Hati Agnes mulai dialiri perasaan waswas. “Bi Asih?” tanyanya mengonfirmasi. “Bukan, Mbak. Kami sudah kenal kalau sama Bi Asih.” “Kamu enggak nanya, namanya si
“Dasar menantu tidak tahu sopan santun!” omel Clarissa. Dia melangkah masuk ke rumah setelah mengambil paket yang dikirim Agnes melalui jasa seorang kurir. “Mama ngatain aku?” tanya Marsha. Dia merasa tersinggung karena hanya dia satu-satunya menantu Clarissa yang sedang berada di rumah. “Eh, enggak. Bukan kamu,” bantah Clarissa. “Terus siapa? Ainun? Dia kan sudah pulang, Ma.” “Itu … Agnes.” “Oh, istri mudanya Aksa? Iya, Ma. Karyawannya juga enggak punya etika,” celoteh Marsha. “Eh, apa ini, Ma?” Perhatiannya tiba-tiba tertumbuk pada paket yang dibawa Clarissa. “Ya … ini nih,” sahut Clarissa. “Mama minta supaya dia mengirim Aksa untuk mengantar ini, eh … enggak tahunya malah nyuruh kurir.” Marsha makin antusias melihat bungkusan di tangan Clarissa. “Baju lagi, Ma?” “Ada buat aku enggak, Ma?” lanjutnya setelah Clarissa merespons pertanyaannya dengan anggukan kepala. “Wah, mama lupa,” timpal Clarissa. “Mama cuma minta sepasang.” “Yaaa, Mama ….” Marsha terlihat kecewa. “Waktu ak
Seulas senyuman tipis merekah di bibir merah Agnes. Dia berpuas hati menyaksikan cara kerja dua orang karyawan unggulannya dalam menangani Marsha. “Wow! Kelihatannya ada yang seru nih!” Aksa melenggang santai mendatangi meja kerja Agnes. “Lagi nonton apa?” Dia ikut mengintip dari balik pundak kiri istrinya itu. “Oh, enggak ada yang istimewa,” kilah Agnes. “Cuma mengawasi beberapa karyawan yang sedang bekerja.” Beruntung sekali Marsha telah menghilang dari rekaman CCTV. Demi gengsi, wanita itu memaksa Agung untuk mentransfer sejumlah uang untuk membayar tagihannya. Terpaksa dia menggunakan kartu debit. CUP! Aksa mengecup puncak kepala Agnes. Gesture tanda kasih itu sontak membekukan aliran darah Agnes untuk sesaat. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agnes tanpa menoleh pada Aksa. “Hanya hadiah kecil untuk istri cerdasku.” Sekali lagi Aksa mengecup ubun-ubun Agnes, lebih lama dari sebelumnya. “Kamu marah?” Aksa beranjak dan duduk di sudut meja kerja Agnes. “Enggak. Tindakanmu sudah
Perlahan Agnes bangkit dari posisi berbaring. Dia menarik kedua kakinya. Duduk melendeh pada kepala ranjang. Dalam diam, dia melabuhkan tatapan sejuta tanya pada sosok Aksa yang tertidur di atas sofa. Malam itu, Aksa memutuskan untuk menginap di rumah Agnes. Percakapan samar melalui telepon tadi kembali terngiang-ngiang di telinga Agnes. Bos? Uang bulanan? Tambahan satu milyar? Gema semua suara itu menancapkan pancang rasa ingin tahu tingkat dewa pada tapal batas logika pemahaman Agnes tentang Aksa. Dia sangat meyakini bahwa suaminya itu tak lain hanyalah seorang lelaki biasa yang menjalani kehidupan sederhana setelah terusir dari rumah. Sekarang, keyakinan tersebut mulai goyah. Seorang pria kebanyakan tidak mungkin mengiriminya uang belanja bernilai ratusan juta ditambah bonus yang tidak sedikit. Setelah dihitung-hitung, uang tambahan yang dikirim Aksa nilainya setara dengan total harga pakaian yang dihadiahkannya kepada orang tua Aksa. Refleks Agnes ternganga, kemudian membekap mu
Plok! Plok! Plok! Tepuk tangan meriah mengakhiri kuliah Agnes. Sebagai dosen tamu, kelas umum yang dihadirinya selalu penuh. Animo mahasiswa desain busana untuk menggali pengalaman berharga darinya sangat tinggi. Terlebih dengan nama besar yang disandangnya. “Apa Anda berkenan untuk melihat-lihat kota ini sebelum pulang, Nona Agnes?” tawar seorang dosen muda yang menjadi moderator kelas kuliah umumnya. Agnes melirik jam di pergelangan tangannya. Masih pukul dua belas lewat. Tidak ada salahnya jika dia meluangkan waktu sejenak untuk menikmati pesona Kota Surabaya. “Anda punya rekomendasi tempat yang bagus, Pak Amaar?” Agnes balik bertanya. “Saya rasa, Anda akan tertarik untuk mengunjungi Rumah Batik Jawa Timur.” “Hem … boleh juga!” Setelah melaksanakan salat zuhur di masjid kampus universitas tersebut, Amaar segera memboyong Agnes ke tempat wisata yang dijanjikannya. Detik dan menit terus berlalu. Agnes tiba di rumah batik tersebut dengan perasaan takjub. Dia tak mampu menyembun
Tangan Aksa terus bergerak maju dan semakin mendekati bagian leher Agnes. Sedikit lagi ujung jemari tersebut akan menyentuh helaian selembut sutra yang menyelimuti sebagian leher Agnes, mata Agnes mendadak nyalang. Kantuknya pun hilang tanpa jejak. Wanita itu refleks melayangkan tangan untuk menyerang Aksa. Lalu, tergabas bangkit dan duduk di tepi ranjang. Matanya terpaku pada sosok Aksa yang terhuyung akibat terkena hantamannya. Tidak sia-sia mendiang papanya selalu memaksanya untuk mengikuti latihan bela diri sejak kecil. Hal itu sungguh berguna. Instingnya tetap waspada, walaupun dia sedang lena. Aksa memegangi dadanya yang terasa nyeri. Dia tak menyangka Agnes akan menyerangnya tiba-tiba. Mati-matian Aksa berjuang menahan jatuhnya bulir bening yang menggenang di sudut matanya. Agnes menatap lekat ekspresi duka Aksa dalam heran. Apa pukulannya terlalu keras hingga nyaris membuat Aksa menangis? “Ya Tuhan! Kamu benaran nangis?” Agnes terperangah. Kali ini mata Aksa tidak hanya mem
“Pastikan dia sedang sendiri,” tegas suara di seberang telepon. “Dan jangan membuat kesalahan!” “Siap, Bos!” Lelaki berkumis tipis dengan tato kepala macan di punggung tangan kanannya itu menjawab mantap. Postur tubuhnya tegap dan berotot. Celana jeans dan jaket hitam yang dikenakannya memberi kesan sangar dan beringas. “Jack! Jack!” Seorang rekan yang bertubuh cungkring menepuk pelan pundak lelaki tersebut. Pandangannya tertuju pada sebuah mobil yang baru saja meninggalkan pekarangan. Lelaki bernama Jack itu menggerak-gerakkan pundaknya. Pertanda bahwa dia merasa terganggu dengan ulah temannya itu di saat dia masih sibuk berkomunikasi dengan si bos. “Apa sih? Enggak lihat aku masih si—” Protes Jack terhenti tatkala matanya mengikuti arah telunjuk si cungkring. “Ayo kita kejar!” titahnya. Berlari masuk ke mobil. “Kenapa enggak bilang dari tadi, Emaaan?” omelnya seraya menginjak pedal gas. “Lah, kan situ yang sok sibuk!” balas Eman. Merasa tak terima dirinya disalahkan oleh Jack.
Aksa bersiul kecil dengan langkah santai. Sebuah gulungan dasar bertengger di bahunya. Dia ikut membantu dua pekerja yang ditugaskan Agnes di gudang. Karena sudah terbiasa mengerjakan hal itu, dia merasa canggung jika hanya berdiri mengawasi mereka bekerja. Getar ponsel di dalam saku celana mengerem langkah Aksa. Dia merogoh kantong dan tersenyum ceria begitu nama Agnes muncul di layar monitor. “Dengan Pak Aksa?” tanya suara di seberang telepon sebelum Aksa sempat mengucap salam. Suara wanita tersebut terdengar asing di telinganya. Itu bukan milik Agnes. “Ya?” Aksa menyahut ragu. Perasaannya mendadak tidak enak. Aliran darahnya terasa dingin. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. “Nona Agnes Fan mengalami kecelakaan dan se—” “Katakan di Rumah Sakit mana!” potong Aksa. Gulungan dasar yang dipanggulnya, dia buang begitu saja ke lantai. Mendua katak dia berlari menuruni tangga. Buru-buru Aksa menyimpan kembali ponselnya setelah perawat yang meneleponnya menyebutkan nama rumah sa