Bahkan tawaran Adam yang memberinya tumpangan juga Mutia tolak, karena tak ingin terjadi kesalahpahaman lagi di antara Firheith dan Adam yang berujung pertengkaran atau hukuman di ranjang yang akan Mutia dapat.“Ah, ini sudah akan gelap!” Mutia menaikkan pandangannya ke langit yang mulai berganti kelabu. Kilatan petir membelah, angin berembus cukup kencang menerpa kulit Mutia yang diusap karena merasa kedinginan. Hujan sepertinya akan turun, Mutia juga tak membawa payung atau pun jas hujan. Daripada pulang basah kuyup, lebih baik Mutia pulang sekarang berjalan kaki. ***Mansion Lander. “Fir, istrimu papa lihat belum pulang? Apa kau tidak menjemputnya?” tanya Gabriel saat menemui putranya di kamar. Firheith malah terlihat menyibukkan diri dengan pekerjaannya di laptop. Pria tampan berlesung pipi ini mendongak, menatap Gabriel. Diam lalu menghubungi Tobi, sopir rumahnya untuk menjemput Mutia. Keheranan, setelah telepon berakhir. Gabriel perlahan mensejajari duduk Firheith lalu bert
Ringis kesakitan hadir di wajah Mutia, bukannya Celine membantu kakak iparnya ini yang kesulitan bangun. Tetapi malah menertawakannya bersama Esmeralda, sehingga Mutia berusaha menopang tubuhnya sendiri dengan berpegangan pada kursi.“Nona Mutia!” pekik Espen. Melihat sang Nona muda kepayahan, Espen berlari menolong. “Anda tidak apa-apa?” tanyanya khawatir sambil memapah. Ia takut akibat jatuh kandungan Mutia dalam masalah. “Tenanglah, Espen. Aku baik-baik saja,” jawab Mutia pelan yang tidak ingin dianggap lemah di hadapan Esmeralda dan Celine. Namun, Espen yang kesal menatap berani pada Esmeralda yang tak ia sukai sejak menginjakkan kaki di mansion ini. “Apa kau lihat-lihat?! Turunkan matamu pelayan!” hardik Celine dengan bertolak pinggang angkuh. Seketika wajah Espen menunduk. “Maaf, Nona Celine.”“Dan kau?!” tunjuk Esmeralda pada Mutia yang kemudian menoleh nanar, “Jangan bangga mengandung anaknya Fir. Kalau hanya bayi saja, aku juga bisa memberinya. Itu mudah, karena kami
Sebelumnya. Firheith menyandarkan kepala di punggung kursi eksekutif nya. Tubuhnya terasa lemas dengan mata terpejam, namun ada sesuatu yang ia tahan dan banyak sekali yang Firheith pikirkan. Ekor matanya bergerak menuju atas meja di mana ponselnya tergeletak. Sejak tadi tak pernah berhenti berdering atau mendapat kiriman notif pesan dari klien dan para orang-orang yang bekerja untuknya. Firheith berada di sini bukan tanpa alasan, dia memang sengaja! Menghindari sesuatu yang belakangan membuatnya gundah. Antara perasaan, kesal dan dilema. Seperti kini, Firheith menatap ponselnya dengan ragu. Pada sebuah nomor yang baru ia gulir dan ingin dihubungi. Tapi selanjutnya, pria ini justru mengajak ngobrol sebuah foto wanita dengan posisi tidur, yang pernah ia foto diam-diam. “Bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja tanpaku?” Firheith tersenyum, hatinya merindu dengan rasa tak biasa saat menatap wajahnya itu. Lalu perlahan Firheith membuka pesannya yang sering ia abaikan. Seketika i
“Kau.” Mutia menunjuk Adam dengan kaget, setelah duda ini seminggu tak pernah muncul. Katanya dia dan Neil tengah berada di luar kota untuk urusan keluarga. Sehingga Neil harus libur sekolah. “Hai, Miss. Apa kabar?” Adam tersenyum menawan, terlihat senang kembali ke Brussel dan tak sengaja lewat malah bertemu wanita idamannya. “Baik,” jawab Mutia dengan menjaga jarak.Tetapi Adam terus maju, hingga tempat berpijak Mutia mentok ke gerbang.Semakin berkesan jika mereka berdua memang niat bertemu dan Mutia tak menyadari, jika Firheith tengah memperhatikan interaksinya dengan Adam. “Ehem! Kau sedang menunggu siapa Miss Mutia?” tanya Adam sambil mengedarkan pandangan ke jalanan yang cukup ramai. Sebab St. John’s berhadapan langsung dengan jalan utama komplek perumahan mewah ini. Rahang Firheith mengetat, bola mata tembaganya berubah memerah sambil meremas kasar buket mawar yang ia pegang dengan murka. Buket bunga itu yang rencananya akan Firheith berikan pada Mutia sebagai kejutan.
Bunga mawar merah yang masih terlihat segar. Tapi tangkainya patah juga terdapat noda darah saat Mutia perhatikan. “Siapa yang sudah membawa buket bunga ini ke kamar?” pikir Mutia sambil terduduk di kursi meja rias. Tidak ada yang masuk sebelum dirinya kecuali… Sepasang netra Mutia terbelalak. “Fir? Astaga! Benarkah Firheith yang membawa buket mawar merah ini. Lalu untuk siapa?" Mendadak, dada Mutia terbakar. Ia remas gulungan handuknya kesal, saat ia masih dengan posisi sama berbebat handuk. Kendati mengira jika buket bunga itu pastilah ditujukan untuk Esmeralda. Ya, memang wanita perebut suami orang itu tak ada lagi di rumah ini semenjak Firheith pergi. Bukan berarti Esmeralda tak akan kembali, setelah tahu Firheith pulang. “Dasar pasangan selingkuh tak tahu diri! Tidak punya perasaan dan tidak bisakah Firheith itu memikirkan bayi di perutku seperti omong besarnya?!” gerutu Mutia yang tiba-tiba sedih, kala netranya memanas. Dan tanpa disangka, perasaan ingin diperhatikan suam
Mutia menerima kotak perhiasan itu dengan perasaan tak menentu. Ia membukanya perlahan dengan jantung berdebar, karena penasaran isi di dalam kotak perhiasan ini."Ka-kalung berlian?" sebut Mutia dengan mengerling langsung pada Firheith yang ternyata juga sedang menatapnya dengan hangat dan tersenyum tulus."Itu aku pesan khusus dari Rusia dan tidak dijual bebas. Limited edition," jelas Firheith semakin membuat Mutia terkejut. "A-apa?" Mutia menelan ludahnya kasar. Rahangnya terbuka memandangi kilauan berlian itu yang sangat indah, terdapat liontin huruf "M" yang melambangkan namanya. Seumur hidup saja Mutia tidak pernah ke Rusia, tapi Firheith sudah memberikan hadiah berlian dari negara yang terkenal dengan banyak julukan itu. Salah satunya "Roma Ketiga" negara yang Mutia impikan untuk mengunjunginya. "Fir...," panggilnya lirih. Kedua matanya berkaca-kaca memandangi wajah tampan pria itu yang semakin tampan setelah mandi."Kau suka kalung berliannya?"Mutia cepat menganggukkan kepa
Tolong cubit pipi Mutia, apakah yang dikatakan Firheith barusan itu nyata ataukah hanya ilusi? Pria yang dulu merebut first kiss Mutia di pesawat waktu itu. Mutia yang ketakutan pertama kalinya naik pesawat ke Kongo, menemani Alda dan ayahnya untuk menemui Richard—yang waktu itu hampir menikahi wanita lain.Terjadi guncangan pada pesawat yang melewati langit mendung. Dan bermula dari kecupan di bibir itulah, getarannya sampai ke mata dan kemudian turun ke hati. Bahkan dari kecupan yang membekas itulah. Berkembang menjadi rasa yang tak biasa setiap kali mereka saling berdekatan. “Wow, Fir. Prank mu sangat keren! Hampir saja aku terlena,” kekeh Mutia tiba-tiba membuat Firheith keheranan. Ia tidak mau besar kepala, mengira pernyataan cinta Firheith palsu. Kedua mata Firheith membelalak begitu Mutia juga akan melepas tangannya dari perut. “Mati-matian aku berusaha mengungkapkan cintaku padamu, tapi malah kau anggap prank?” Gerakan tangan Mutia yang akan menyingkirian tangan Firheith
Tadi malam perasaan Mutia dan Firheith hanya melakukan sekali. Namun kenapa sampai pagi ini ketika bangun rasanya bekas penyatuan itu masih melekat? Mengulum bibirnya, Mutia memandangi Firheith yang wajahnya berada di samping lehernya. Firheith masih memeluknya erat saat baru membuka kelopak mata. Anehnya, kali ini Mutia tak bisa marah seperti biasanya, karena Firheith memenuhi janjinya yang tidak akan meminta lebih. Tidak seperti lalu yang tidak cukup sekali berhubungan. "Ogh!" Firheith menggeliat, Mutia menahan napas ketika kulitnya yang masih polos bersentuhan dengan Firheith. Walau malam itu sudah jelas tahu bagaimana bentuk tubuh masing-masing. Tetap saja Mutia merasa canggung. "Kau sudah bangun, hum?" Dengan suara serak yang terdengar jantan itu, Firheith menyapa Mutia tepat di telinganya. Mutia menyeret ludahnya susah payah dan mengangguk. "Iya," jawabnya lirih. "Selamat pagi istriku tercinta." Kemudian Firheith mengatakan itu dengan manis dan mengecup pipi Mutia. Pipi