"Ummi, kenapa?" tanya pria dewasa yang tidak lain adalah Abah Haji Sulaiman yang merupakan ayah dari Syamil. Ia baru saja pulang dari mengisi majlis ta'lim dan mendapat laporan dari Rukmini dan Nela, bahwa istrinya jatuh pingsan setelah menelepon Syamil.
Abah Haji mengusap rambut sang Istri perlaham, sambil menanti cerita yang akan keluRmar dari bibir istrinya."Bah, besok kita harus ke Bandung. Syamil, Bah, t-tadi Ummi telepon karena rindu, tapi yang angkat perempuan dan perempuan itu bilang, Syamil lagi sakit dan baru aja tidur habis dikerik. Anak kita bukan kuliah di sana, Bah, tapi malah pacaran. Ayo, kita jemput, Bah!" Bu Umi merengek pada suaminya. Bahkan air matanya sudah turun dengan sangat deras karena terus membayangkan hal buruk yang akan terjadi pada putra bungsunya yang solih."Ummi berarti belum percaya dengan Syamil. Anak lelaki kita tidak mungkin seperti itu. Bisa saja wanita yang di telepon itu adalah teman sesama anak kos yang mungkin memang tengah merawat Syamil. Gak papa, Mi. Abah yakin, kalau Syamil bisa menjaga diri dan kehormatan orang tua. Kalau Ummi terus berprasangka, nanti malah anaknya benar-benar berbuat nekat loh. Sudah, besok pagi lagi kita telepon ya. Sekarang Ummi istirahat, Abah mau mandi dulu." Pria dewasa itu bangun dari duduknya dan langsung berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.Ia pun sama cemasnya dengan sang Istri, tetapi rasa percaya dan yakinnya pada Syamil lebih besar daripada pikiran buruk yang baru saja istrinya sampaikan. Biarlah besok ia menelepon Syamil lebih dulu untuk menanyakan kabar.Hani sudah tiga kali mengganti kompres Syamil. Bahkan ia sempat membelikan bubur ayam tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Agar Syamil bertenaga dan bisa minum obat. Namun, Syamil hanya makan tiga sendok saja, karena ia merasa mual."Kamu kayaknya payah banget deh, Syamil," kata Hani sambil memeriksa kening pemuda itu yang semakin panas saja. Ini sudah pukul setengah sebelas malam dan Syamil belum ada perubahan sama sekali. Ia ingin meninggalkan Syamil di kamar, tetapi tidak tega."Ya, gimana saya gak payah, itu rok yang Mbak Hani pakai, terangkat ke atas. Tentu saja saya semakin sakit kepala dan demam," jawab Syamil tanpa membuka matanya. Hani tertawa pendek, lalu membetulkan rok yang tersingkap."Kamu mau ke dokter gak?" tanya Hani lagi."Gak mau, Mbak. Saya mau tidur saja, tapi kalau Mbak Hani masih di sini, saya pasti gak bisa tidur. Ini lagian sudah malam, pulang deh, Mbak. Besok juga saya sembuh." Kali ini, Syamil membuka matanya untuk melihat Hani yang sudah bangun dari duduknya."Iya sudah, aku pulang ya. Kabari saja kalau kamu butuh bantuan. Ponsel kamu lowbatt banget, jadinya aku charger. Oh, iya, itu aku bawa teko dari rumah, isinya air teh panas. Jangan lupa diminum ya biar kamu keringetan.""Makasih, Mbak Hani.""Sama-sama." Hani tersenyum. Lalu mengusap rambut Syamil seperti seorang kakak tengah mengusap rambut adik lelakinya. Pemuda itu hanya bisa pasrah, karena kalau ia larang jangan sentuh, maka Hani akan bertanya kenapa, mengapa, dan itu artinya wanita hamil di dalam kamarnya ini tidak pulang-pulang. Lebih baik ia pasrah saja terhadap perlakuan Hani padanya.Begitu suara pintu ditutup, Syamil bernapas lega. Pemuda itu membuka matanya perlahan. Lalu meraba handuk basah kompres yang masih ada di keningnya. Jika sejak tadi yang melakukannya ada Hani, maka kali ini ia harus bisa mengompresnya sendiri. Ia paksakan menutup mata agar besok sudah lebih sehat.Pukul lima subuh, Hani sudah keluar dari rumahnya. Ia melakukan rutinitas pagi sebelum matahari terbit yaitu jalan pagi selama satu jam, dari jam lima pagi sampai jam enam. Ia harus rutin melakukan olah raga agar bayinya juga sehat di dalam perutnya.Sepanjang jalan, Hani diperhatikan para tetangga yang mayoritas mahasiswa dan mahasiswi karena ia jalan pagi dengan hot pants dan juga baju besar. Pahanya terekspos menantang, sehingga membuatnya menjadi pusat perhatian.Pulang dari jalan pagi, Hani mampir ke pedagang yang menjual sayuran matang. Ia membeli sop baso dan juga tempe goreng. Ia sengaja membeli lebih untuk ia berikan juga pada Syamil.Tok! Tok!"Syamil, kamu udah sembuh?" tanya Hani begitu ia bisa mendorong pintu kamar Syamil. Pemuda itu rupanya tengah berbaring lemas di ranjang, dengan memakai sarung. Pasti Syamil baru saja salat subuh. Batin Hani."Mbak, kamu jangan masuk dulu! Coba sebutkan, saat ini kamu pakai kostum apa?" tanya Syamil yang masih saja memejamkan matanya."Hot pants kuning dan baju besar," jawab Hani bingung."Berarti kamu pulang dan ganti baju, Mbak, setelah itu baru ke sini juga terserah. Tidak juga gak papa.""Oke, berati aku ganti kostum ya." Hani pun langsung pergi dari kamar Syamil untuk mengganti pakaiannya. Setelah ia yakin rapi, Hani kembali ke kosan untuk menjenguk Syamil."Syamil, kalau begini gak papa?" Hani melebarkan senyumnya pada Syamil."Mbak, maksud saya ya bukan pakai mukena juga." Syamil merasa ia akan segera terkena penyakit komplikasi jika terlalu lama berteman dengan Hani. Bayangkan saja, atasnya memang Hani memakai mukena, tetapi ia tetap saja menggunakan hot pants di balik mukenanya itu."Ish, kamu ribet deh. Padahal pahaku udah gak keliatan kan? Emang masih salah? Udah, ah, orang aku cuma mau ngantar ini, biar kamu sarapan. Oh, iya, semalam sebelum HP kamu lowbatt banget, ibu kamu telepon nanya kamu. Ya udah, aku bilang baru saja tidur, habis aku kerik.""Apa? Ummi saya telepon?" Syamil yang tadinya lemas mendadak bersemangat, lebih tepatnya terkejut. Hani mengangguk. Tanpa disuruh, Hani sudah membuka makanan yang ia bawa untuk Syamil. Hani juga membawakan teh baru dalam tumbler untuk pemuda itu."Terus, Mbak bilang apa sama orang tua saya?" tanya Syamil panik."Baru saya mau bilang teman, ibu kamu malah nebak, pacar Syamil ya? Ya udah, aku bilang aja iya. Biar orang tua kamu tenang kalau kamu punya pacar saat merantau." Hani tersenyum, mengulurkan piring berisi makanan untuk Syamil."Apanya yang tenang? Aduh, habis deh hidup gue!""Assalamu'alaikum, Syamil, kata ummi kamu sakit. Apa benar itu, Nak?""Wa'alaykumussalam, benar, Bah, tapi sudah baikan. Hanya saja belum bisa ke kampus lagi hari ini. Padahal masih masa pengenalan lingkungan kampus.""Kenapa gak bisa?" "Karena Syamil lagi banting tulang, Bah. Syamil sakit, Bah, gimana mau ke kampus, orang dijemur di bawah sinar matahari.""Ya pasti kalau berjemur itu di bawah matahari, Syamil, kalau di atas matahari namanya apa?" Abahnya mulai konyol. Pasti karena Abahnya senang akan segera mempersunting Nela untuk menjadi istri kedua. Batin Syamil. "Minum obat ya? Semalam kata ummi ada yang kerik, siapa? Lelaki atau perempuan?""Oh itu, iya, Bah, karena saya udah gak kuat masuk angin, jadinya ditolongin sama Mbak Hani.""Siapa Mbak Hani? Kakak kampus kamu atau kakak kos?""Ibu muda tetangga Syamil yang lagi hamil, Bah.""Hah? Apa? Ibu-ibu hamil? Siapa yang menghamili ibu muda itu? Apakah k-kamu... "Bu Umi yang ikut menguping pembicaraan antara suami dan putra bu
"Sudah sana berangkat ngampus! Aku gak papa." Hani mengangkat suaranya begitu ia sudah siuman dari pingsan. "Udah terlambat. Mau masuk juga udah gak semangat." Syamil bangun dari duduknya, lalu mengambilkan minum untuk Hani. Pemuda itu mengulurkan ujung sedotan pada bibir Hani yang seksi. Dengan cepat Syamil menggelengkan kepala agar tidak terlalu fokus pada bibir Hani yang padat. "Udah, Syamil, apa yang mau disedot, orang airnya udah habis!" Syamil menggaruk rambutnya yang tidak gatal, diikuti seringai lebar. Pemuda itu meletakkan kembali gelas yang telah kosong di atas nakas. Ia ingin pulang, tetapi ia tidak tega juga dengan Hani. Ingin bertanya lebih detail tentang suami atau keluarga wanita itu, tetapi rasanya sungkan. "Sya, ini udah jam satu, kamu makan dulu sana! Aku gak papa kok. Kata dokter klinik juga aku cuma kecapean aja. Bayi aku juga sehat. Sore ini mungkin aku sudah boleh pulang juga. Jadi kamu jangan terlalu khawatir." Hani tersenyum penuh hangat. Jauh di dalam hatin
Syamil tengah berjalan di trotoar sambil menenteng nasi bungkus. Awalnya ia ingin makan di tempat, karena sudah tidak kebagian bangku duduk, Syamil memutuskan pulang saja. Perutnya masih tidak nyaman kalau memaksakan makan mie instan lagi. Waktu ia sakit, untunglah Hani memberikan makanan sehat untuknya sehingga ia lekas pulih. "Eh, bungkusan apa itu?" Syamil berjalan lebih cepat untuk melihat bungkus makanan yang terjatuh, rupanya berisi buah jambu potongan. Kepalanya menoleh ke kanan dam ke kiri untuk mencari pemilik buah yang mungkin tanpa sadar sudah menjatuhkan bungkusan tersebut. Syamil mengangkat bungkusan itu dan seketika itu juga ia melihat sandal yang sangat ia kenali. Sandal Hani. Ditambah dengan bungkusan buah jambu, Syamil yakin pemilik buah ini adalah Hani. "Mbak Hani! Mbak Hani!" Syamil berlarian ke sana-kemari mencari keberadaan Hani, tetapi ia tidak menemukan wanita hamil itu. Syamil semakin panik, ia mencoba menghubungi Joko, tetapi tidak diangkat. Suara berisik
Pria yang bernama Didin sudah tiba di Bandung. Hari ini ia memang sedang ingin membawa bus tujuan Bandung untuk menemui Syamil, sekaligus melihat dari kejauhan sosok Hani. Hani adalah anak dari wanita yang hampir membunuh putranya. Ia tidak dendam dengan gadis itu, justru ia iba dengan Hani. Dalam satu keluarga, hanya Hani yang benar, tetapi ia terjebak dengan pernikahan kontrak bersama dosennya. Untuk itu ia meminta Syamil untuk mengawasi Hani memastikan gadis itu baik-baik saja, meskipun di dalam hati dan pikiran gadis itu terluka. "Om!" Teriakan Syamil membuat Didin menoleh. Syamil melambaikan tangan, lalu berlari menghampiri Didin dengan senyuman. Pemusat itu mencium punggung tangan calon kakak ipar yang sampai saat ini belum bisa ia panggil dengan sebutan Mas' , tetapi 'Om. Mereka berada cafe yang letaknya tidak jauh dari kampus Syamil. Didin memang sengaja yang menjumpai Syamil agar ia bisa melihat juga keadaan Hani. "Gimana, Hani?" tanya Didin pada Syamil. "Masih begitu, O
"Abah sudah telepon Syamil lagi? Firasat Ummi gak enak, Bah. Ummi khawatir kalau Syamil memang dekat sama wanita di sana." Bu Umi mengadu pada suaminya, setelah mereka baru saja selesai makan malam. Abah Haji hanya tersenyum samar. "Belum, anak bujang jangan terlalu sering ditelepon. Pasti dia bisa jaga diri, Mi. Lagian yang kemarin itu cuma tetangga yang kebetulan ada di sana pas Syamil sakit. Udah ibu-ibu juga, Mi.""Tuh, apa lagi ibu-ibu, Bah. Justru ibu-ibu itu yang perlu diwaspadai. Soalnya Abah dulu juga pernah dekat ibu-ibu kan? Untung Ummi langsung nyamber, kalau nggak, ya Abah nikahnya sama ibu-ibu itu. Tetangga Abah yang suaminya gak pulang-pulang itu." Bu Umi mengoceh dengan wajahnya yang masam. Wanita itu tidak mau kejadian masa muda suaminya, malah diwariskan pada Syamil. "Jangan suudzon, Mi, nanti malah kejadian, he he he .... " Laila; teteh dari Syamil ikut menghampiri abah dan umminya yang sedang berada di ruang makan. Bu Umi semakin cemberut. Di dalam hatinya mengup
Syamil tidak bisa berhenti tertawa, bahkan setelah ia masuk ke dalam kamar kosnya. Pemuda itu berhenti sejenak saat mengucapkan salam, setelah itu kembali terbahak. Ya ampun, habis ketemu bini orang, Syamil jadi gak waras. Batin Didin yang memperhatikan pemuda itu tanpa berkedip. "Ada apa, Sya? Pulang-pulang malah ngakak. Istighfar, Sya. Kamu kenapa?" tanya Didin saat Syamil tak kunjung berhenti tertawa saat ia sudah duduk di kasur. "Sya!" Didin semakin panik dengan mengguncang tubuh Syamil yang tidak beraksi saat ia tegur. "Audzubillahi minassyaitonirrojiim. Bismillahirrahmanirrahim. Cuih! Cuih!""Jiah, kenapa disembur, Om? Ih, jijay!" Syamil mengambil dua lembar tisu untuk membasuh wajahnya yang terkena air liur Didin yang muncrat. Merasa tidak puas dan sangat mengerikan dengan baunya, Syamil berlari keluar kamar untuk mencuci muka. Kali ini Didin yang tertawa terpingkal-pingkal. Ia sudah salah sangka dengan mengira Syamil kerasukan jin istri tetangga, rupanya bukan. Syamil ma
"Oh, jadi kamu mau pulang ke Jakarta?" tanya Hani pada Syamil yang tengah sibuk di depan laptopnya. Pemuda itu mengangguk, tanpa melepas pandangan dari layar laptop. Sore ini Hani membuat kolak pisang dan ia mengantarkan ke kamar kos Syamil. Pintu kamar terbuka dan Hani duduk di depan sambil menemani Syamil mengerjakan tugas. "Lama gak?" tanya Hani lagi. "Nggak, saya kan kuliah, Mbak. Paling hari senin pagi saya pulang. Besok dari kampus saya langsung ke terminal, gak balik ke kosan lagi," jawab Syamil sambil tersenyum. "Wah, berarti aku gak bisa lihat kamu pergi dong! Apa mau aku antar?" Syamil tidak langsung menjawab, melainkan tawa yang menggelegar membuat teman kos yang kebetulan lewat di depan kamarnya ikut menoleh. "Makasih, Mbak, Hani, tapi saya udah besar, bukan anak TK lagi, jadi gak usah diantar. Lagian Mbak Hani lagi hamil, gak boleh pergi jauh-jauh." Hani diam sejenak, kemudian wajahnya berubah cemberut. "Tapi aku mau antar," kata Hani sedih. Syamil menggelengkan kep
Syamil tiba di Jakarta sebelum azan magrib. Pemuda itu sempat melaksanakan salat berjamaah di masjid besar yang ada di lingkungan pesantren milik orang tuanya. Tentu saja abahnya yang mengimami. Saudara dari kampung juga nampak di masjid, melaksanakan salat bersama. "Bah," sapa Syamil pada abahnya setelah pria dewasa itu selesai memimpin zikir dan doa. Syamil mencium punggung tangan Abah Haji Sulaiman dengan penuh takjub. "Kamu sendirian?" tanya Abah Haji pada putranya. "Nggak, Bah, rame gini gimana dibilang sendiri? Ini saya sama Abah." Syamil mendadak bingung, sembari menunjuk jamaah yang lain, sedangkan Abah Haji malah tertawa. Sejak kapan anaknya bisa kocak seperti sekarang? "Maksudnya kamu dari Bandung sendirian?" tanya Abah Haji lagi saat mereka berdua hendak keluar masjid. "Ya kalau sendirian, sopirnya gak mau bawa Syamil, Bah. Pasti ada penumpang lain di bus. Jadi saya rame-rame dari Bandung." Jawaban Syamil membuat Abah Haji tidak kuasa untuk tidak terbahak. Bahkan pria