"Assalamu'alaikum, Syamil, kata ummi kamu sakit. Apa benar itu, Nak?"
"Wa'alaykumussalam, benar, Bah, tapi sudah baikan. Hanya saja belum bisa ke kampus lagi hari ini. Padahal masih masa pengenalan lingkungan kampus.""Kenapa gak bisa?""Karena Syamil lagi banting tulang, Bah. Syamil sakit, Bah, gimana mau ke kampus, orang dijemur di bawah sinar matahari.""Ya pasti kalau berjemur itu di bawah matahari, Syamil, kalau di atas matahari namanya apa?"Abahnya mulai konyol. Pasti karena Abahnya senang akan segera mempersunting Nela untuk menjadi istri kedua. Batin Syamil."Minum obat ya? Semalam kata ummi ada yang kerik, siapa? Lelaki atau perempuan?""Oh itu, iya, Bah, karena saya udah gak kuat masuk angin, jadinya ditolongin sama Mbak Hani.""Siapa Mbak Hani? Kakak kampus kamu atau kakak kos?""Ibu muda tetangga Syamil yang lagi hamil, Bah.""Hah? Apa? Ibu-ibu hamil? Siapa yang menghamili ibu muda itu? Apakah k-kamu... "Bu Umi yang ikut menguping pembicaraan antara suami dan putra bungsunya tentu saja terkejut bukan main, hingga wanita berusia empat puluh dua tahun itu merasa pandangannya menggelap."Ummi, Ummi!"Syamil menutup panggilan dari abahnya. Pemuda itu bisa menebak bahwa umminya pingsan karena mendengar percakapan tadi. Kepalanya yang masih berdenyut, terasa semakin panas saja. Maksud hati mengatakan ibu muda hamil agar orang tuanya tidak berpikiran buruk ia pacaran atau dekat dengan wanita lain, tetapi ia malah salah strategi. Umminya mengira mungkin ia adalah ayah bayi yang dikandung wanita itu.Tok! Tok!"Syamil, gue Joko!" Seru Joko dari balik pintu kamar Syamil. Pemuda itu sengaja mengunci pintu kamar agar Hani tidak tiba-tiba masuk ke kamarnya dengan pakaian kekurangan bahan."Bentar!" Syamil turun dari tempat tidur single bed dengan tubuh masih sangat lemas. Pemuda itu memutar anak kunci dua kali, lalu menekan kenop pintu perlahan."Kenapa, Ko?" tanya Syamil dengan mata sedikit memicing. Sinar matahari jam dua siang begitu silau, tepat berada di depan kamarnya."Nggak papa, Syamil. Gue tadi dimintain tolong sama Mbak Hani. Itu loh, cewek seksi di depan kosan kita itu rumahnya. Sodara jauh lu'kan?"Syamil mengangguk. Ia mengira urusan dengan Hani selesai saat tadi pagi, tetapi siang terik begini, Joko bertamu hanya karena Hani.Jika bukan karena calon kakak ipar yang akan mengisikan pulsa wifi setiap bulan, pastinya ia tidak mau menjadi mata-mata Hani."Iya, kenapa emangnya? Kalau gak terlalu penting, lu ke sini lagi besok aja ya. Gue lagi sakit kepala nih!" Syamil memijat pelipisnya."Kagak, tadi sodara lu itu minta tolong sama gue. Katanya lu sakit, ponsel lu gak aktif. Dia cuma minta gue pastiin kalau lu masih idup atau udah gak ada, ha ha ha.... " Bukan hanya Joko yang tertawa, Syamil pun ikut terbahak."Oh, iya, katanya kalau lu masih ada, ini buat lu!" Joko mengulurkan box makanan ukuran sedang pada Syamil."Enak banget bisa punya sodara cantik, seksi, dan baik seperti Mbak Hani. Coba gue jadi sodara lu ya. Pasti gue juga jadi sodara, Mbak Hani." Syamil memutar bola mata malasnya. Ia mengambil kotak makanan tersebut lalu mengucapkan terima kasih pada Joko.Pintu ia kunci kembali, lalu ia membuka kotak makan tersebut. Ada dua ekor paha ayam goreng yang baunya sangat sedap ditemani sambal dan nasi yang juga masih hangat. Langsung saja Syamil menyantap makanan itu dengan lahap. Memang ia kesal dengan Hani, tetapi wanita itu juga sangat baik dan sangat memperhatikannya disaat ia sakit seperti ini.Makasih makan siangnya, Mbak Hani. Rasanya enak. Mbak Hani pintar masak ya.SendSebuah pesan yang ia kirimkan pada Hani, lengkap dengan foto piring makan yang isinya hampir habis.Makasih, Syamil. Makan yang banyak ya. Kalau masih kurang paha ayamnya, masih ada paha saya ini, hi hi hi....Syamil melempar ponselnya karena ngeri. Ia sudah bertekad untuk tidak mau terlalu dekat dengan Hani karena matanya bisa katarak karena terus-terusan melihat wanita berpakaian seksi.Hani tertawa membaca balasan pesannya pada Syamil. Hatinya benar-benar terhibur dengan adanya Syamil yang bisa ia jadikan teman sekaligus adik di tempat asing seperti ini.Syamil mungkin sedikit aneh karena ia remaja solih, beda dengan teman-teman kosannya yang selalu saja terang-terangan menatap tubuhnya yang memang sering terekspos di beberapa bagian. Bukan karena sengaja, tetapi saat memasuki usia kehamilan lima bulan, dirinya selalu merasa gerah, sehingga sangat senang dengan pakaian terbuka, longgar, dan juga seksi.Kring! KringNama Arif muncul di layar ponselnya. Suaminya sudah lama sekali tidak menghubungi atau bahkan sekedar mengirimkan pesan padanya. Ia bahkan hampir lupa kalau sebenarnya ia masih memiliki suami."Halo.""Halo, Hani, kamu lagi apa? Gimana kabar kamu dan si bayi? Mm... kamu gak ada flek gitu?""Flek apa? Pak Arif berharap saya keguguran, iya? Kalau begini jadinya, kenapa kemarin mau saja menikahi saya? Kenapa menyentuh saya kalau tidak benar-benar iklas saya mengandung anak Pak Arif. Jangan telepon saya lagi! Jangan pedulikan saya lagi! Saya benci kalian!"Hani melemparkan ponselnya ke sembarang tempat. Gadis itu menangis sesegukan karena begitu sedih dengan nasibnya. Sudah menjadi istri kedua diam-diam, dibuang, dan kini ia benar-benar sendiri. Tidak ada yang peduli dengannya atau kasihan padanya.Hani benar-benar mengurung diri di rumah. Tidak keluar sekali pun untuk olah raga atau belanja sayuran. Menyapu teras rumahnya pun tidak. Tentu hal ini membuat Syamil bertanya-tanya. Sudah dua hari sejak Hani mengirimkan paha ayam padanya, gadis itu tidak terlihat lagi.Syamil yang sudah merasa sehat dan berencana masuk kuliah hari ini, memutuskan mampir sebentar untuk melihat keadaan Hani. Jangan sampai hal buruk terjadi pada gadis itu. Karena calon abang iparnya bisa sangat marah kalau Hani kenapa-napa.Tok! Tok!"Mbak, assalamu'alaikum!" Tidak ada jawaban. Lampu ruang depan menyala, tetapi rumah dalam keadaan sangat sepi. Syamil mengintip dari jendela dan betapa terkejutnya ia saat melihat Hani tengah tak sadarkan diri di atas karpet rumahnya.Brak!Syamil mencoba mendobrak pintu rumah Hani. Namun, tidak bisa. Tenaganya belum benar-benar pulih sehabis sakit.Brak!Pemuda itu mencoba sekali lagi dan berhasil. Syamil berlari masuk rumah untuk melihat keadaan Hani yang tak sadarkan diri dengan wajah sangat pucat bagaikan mayat."Tolong!""Sudah sana berangkat ngampus! Aku gak papa." Hani mengangkat suaranya begitu ia sudah siuman dari pingsan. "Udah terlambat. Mau masuk juga udah gak semangat." Syamil bangun dari duduknya, lalu mengambilkan minum untuk Hani. Pemuda itu mengulurkan ujung sedotan pada bibir Hani yang seksi. Dengan cepat Syamil menggelengkan kepala agar tidak terlalu fokus pada bibir Hani yang padat. "Udah, Syamil, apa yang mau disedot, orang airnya udah habis!" Syamil menggaruk rambutnya yang tidak gatal, diikuti seringai lebar. Pemuda itu meletakkan kembali gelas yang telah kosong di atas nakas. Ia ingin pulang, tetapi ia tidak tega juga dengan Hani. Ingin bertanya lebih detail tentang suami atau keluarga wanita itu, tetapi rasanya sungkan. "Sya, ini udah jam satu, kamu makan dulu sana! Aku gak papa kok. Kata dokter klinik juga aku cuma kecapean aja. Bayi aku juga sehat. Sore ini mungkin aku sudah boleh pulang juga. Jadi kamu jangan terlalu khawatir." Hani tersenyum penuh hangat. Jauh di dalam hatin
Syamil tengah berjalan di trotoar sambil menenteng nasi bungkus. Awalnya ia ingin makan di tempat, karena sudah tidak kebagian bangku duduk, Syamil memutuskan pulang saja. Perutnya masih tidak nyaman kalau memaksakan makan mie instan lagi. Waktu ia sakit, untunglah Hani memberikan makanan sehat untuknya sehingga ia lekas pulih. "Eh, bungkusan apa itu?" Syamil berjalan lebih cepat untuk melihat bungkus makanan yang terjatuh, rupanya berisi buah jambu potongan. Kepalanya menoleh ke kanan dam ke kiri untuk mencari pemilik buah yang mungkin tanpa sadar sudah menjatuhkan bungkusan tersebut. Syamil mengangkat bungkusan itu dan seketika itu juga ia melihat sandal yang sangat ia kenali. Sandal Hani. Ditambah dengan bungkusan buah jambu, Syamil yakin pemilik buah ini adalah Hani. "Mbak Hani! Mbak Hani!" Syamil berlarian ke sana-kemari mencari keberadaan Hani, tetapi ia tidak menemukan wanita hamil itu. Syamil semakin panik, ia mencoba menghubungi Joko, tetapi tidak diangkat. Suara berisik
Pria yang bernama Didin sudah tiba di Bandung. Hari ini ia memang sedang ingin membawa bus tujuan Bandung untuk menemui Syamil, sekaligus melihat dari kejauhan sosok Hani. Hani adalah anak dari wanita yang hampir membunuh putranya. Ia tidak dendam dengan gadis itu, justru ia iba dengan Hani. Dalam satu keluarga, hanya Hani yang benar, tetapi ia terjebak dengan pernikahan kontrak bersama dosennya. Untuk itu ia meminta Syamil untuk mengawasi Hani memastikan gadis itu baik-baik saja, meskipun di dalam hati dan pikiran gadis itu terluka. "Om!" Teriakan Syamil membuat Didin menoleh. Syamil melambaikan tangan, lalu berlari menghampiri Didin dengan senyuman. Pemusat itu mencium punggung tangan calon kakak ipar yang sampai saat ini belum bisa ia panggil dengan sebutan Mas' , tetapi 'Om. Mereka berada cafe yang letaknya tidak jauh dari kampus Syamil. Didin memang sengaja yang menjumpai Syamil agar ia bisa melihat juga keadaan Hani. "Gimana, Hani?" tanya Didin pada Syamil. "Masih begitu, O
"Abah sudah telepon Syamil lagi? Firasat Ummi gak enak, Bah. Ummi khawatir kalau Syamil memang dekat sama wanita di sana." Bu Umi mengadu pada suaminya, setelah mereka baru saja selesai makan malam. Abah Haji hanya tersenyum samar. "Belum, anak bujang jangan terlalu sering ditelepon. Pasti dia bisa jaga diri, Mi. Lagian yang kemarin itu cuma tetangga yang kebetulan ada di sana pas Syamil sakit. Udah ibu-ibu juga, Mi.""Tuh, apa lagi ibu-ibu, Bah. Justru ibu-ibu itu yang perlu diwaspadai. Soalnya Abah dulu juga pernah dekat ibu-ibu kan? Untung Ummi langsung nyamber, kalau nggak, ya Abah nikahnya sama ibu-ibu itu. Tetangga Abah yang suaminya gak pulang-pulang itu." Bu Umi mengoceh dengan wajahnya yang masam. Wanita itu tidak mau kejadian masa muda suaminya, malah diwariskan pada Syamil. "Jangan suudzon, Mi, nanti malah kejadian, he he he .... " Laila; teteh dari Syamil ikut menghampiri abah dan umminya yang sedang berada di ruang makan. Bu Umi semakin cemberut. Di dalam hatinya mengup
Syamil tidak bisa berhenti tertawa, bahkan setelah ia masuk ke dalam kamar kosnya. Pemuda itu berhenti sejenak saat mengucapkan salam, setelah itu kembali terbahak. Ya ampun, habis ketemu bini orang, Syamil jadi gak waras. Batin Didin yang memperhatikan pemuda itu tanpa berkedip. "Ada apa, Sya? Pulang-pulang malah ngakak. Istighfar, Sya. Kamu kenapa?" tanya Didin saat Syamil tak kunjung berhenti tertawa saat ia sudah duduk di kasur. "Sya!" Didin semakin panik dengan mengguncang tubuh Syamil yang tidak beraksi saat ia tegur. "Audzubillahi minassyaitonirrojiim. Bismillahirrahmanirrahim. Cuih! Cuih!""Jiah, kenapa disembur, Om? Ih, jijay!" Syamil mengambil dua lembar tisu untuk membasuh wajahnya yang terkena air liur Didin yang muncrat. Merasa tidak puas dan sangat mengerikan dengan baunya, Syamil berlari keluar kamar untuk mencuci muka. Kali ini Didin yang tertawa terpingkal-pingkal. Ia sudah salah sangka dengan mengira Syamil kerasukan jin istri tetangga, rupanya bukan. Syamil ma
"Oh, jadi kamu mau pulang ke Jakarta?" tanya Hani pada Syamil yang tengah sibuk di depan laptopnya. Pemuda itu mengangguk, tanpa melepas pandangan dari layar laptop. Sore ini Hani membuat kolak pisang dan ia mengantarkan ke kamar kos Syamil. Pintu kamar terbuka dan Hani duduk di depan sambil menemani Syamil mengerjakan tugas. "Lama gak?" tanya Hani lagi. "Nggak, saya kan kuliah, Mbak. Paling hari senin pagi saya pulang. Besok dari kampus saya langsung ke terminal, gak balik ke kosan lagi," jawab Syamil sambil tersenyum. "Wah, berarti aku gak bisa lihat kamu pergi dong! Apa mau aku antar?" Syamil tidak langsung menjawab, melainkan tawa yang menggelegar membuat teman kos yang kebetulan lewat di depan kamarnya ikut menoleh. "Makasih, Mbak, Hani, tapi saya udah besar, bukan anak TK lagi, jadi gak usah diantar. Lagian Mbak Hani lagi hamil, gak boleh pergi jauh-jauh." Hani diam sejenak, kemudian wajahnya berubah cemberut. "Tapi aku mau antar," kata Hani sedih. Syamil menggelengkan kep
Syamil tiba di Jakarta sebelum azan magrib. Pemuda itu sempat melaksanakan salat berjamaah di masjid besar yang ada di lingkungan pesantren milik orang tuanya. Tentu saja abahnya yang mengimami. Saudara dari kampung juga nampak di masjid, melaksanakan salat bersama. "Bah," sapa Syamil pada abahnya setelah pria dewasa itu selesai memimpin zikir dan doa. Syamil mencium punggung tangan Abah Haji Sulaiman dengan penuh takjub. "Kamu sendirian?" tanya Abah Haji pada putranya. "Nggak, Bah, rame gini gimana dibilang sendiri? Ini saya sama Abah." Syamil mendadak bingung, sembari menunjuk jamaah yang lain, sedangkan Abah Haji malah tertawa. Sejak kapan anaknya bisa kocak seperti sekarang? "Maksudnya kamu dari Bandung sendirian?" tanya Abah Haji lagi saat mereka berdua hendak keluar masjid. "Ya kalau sendirian, sopirnya gak mau bawa Syamil, Bah. Pasti ada penumpang lain di bus. Jadi saya rame-rame dari Bandung." Jawaban Syamil membuat Abah Haji tidak kuasa untuk tidak terbahak. Bahkan pria
"Wajah adik Teteh ceria sekali. Sepertinya jauh dari ummi, tapi dekat sama ibu-ibu jadi segar ya?" goda Laila yang sudah mendengar kabar dari Didin. Syamil mendatanginya saat wanita itu sedang dipakaikan hyna di punggung tangannya. "Ibu-ibu siapa?" tanya Syamil belum menyadari arah pembicaraan Laila."Tetangga sebelah yang seksi itu.""Oh, Mbak Hani, dah itu mah bukan ibu-ibu normal, tapi up normal. Teteh mah kalau ketemu dia, pasti bisa masuk rumah sakit jiwa. Untung saja Syamil anak baik dan tahan baday, kalau tidak, Syamil bisa ke IGD mulu setiap hari. Kadang capek, Teh, istighfar mulu kalau lihat Mbak Hani, ya ampun, gitu deh. Udah ah, jangan gibahin dia, nanti dia malah batuk-batuk di sana." Laila tertawa. Sekarang ia yakin betul, adiknya hanya sekedar teman saja dengan gadis muda bernama Hani yah tengah hamil enam bulan itu. Aura wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan rona merah orang sedang jatuh cinta, tetapi raut wajah orang kesal. "Tapi kamu jangan galak-galak juga sam