"Apa ini, Mi?" tanya Syamil saat ummi-nya menyodorkan sebuah kartu mirip kartu ATM. "Buat kamu bulan madu. Biar gak digangguin pembaca, he he he.... ""Ya Allah, Ummi, makasih ya, Mi." Syamil memeluk ummi-nya dengan penuh rasa haru. "Ummi ini kapok, mungkin karena waktu pernikahan kamu yang pertama Ummi gak kasih hadiah nginep di hotel, makanya jadi gitu. Sekarang Ummi mau memperbaiki kesalahan Ummi. Kamu dan Hani selamat menikmati menginap di hotel selama empat hari. " Kalian bisa jalan-jalan naik speedboat, bisa ke Dufan sekalian, bisa main ke sea world. Menikmati makan malam romantis di depan pantai Ancol." Bu Umi menjelaskan dengan penuh antusias. Ia memang sudah menyiapkan semua untuk Syamil dan juga Hani. "Mi, terima kasih ya," ujar Hani akhirnya, setelah sejak tadi hanya memperhatikan Syamil dan ummi-nya berbincang. "Sama-sama Hani. Ummi lega ternyata kamu ibu kandung Syam, sehingga Ummi dan Syam tidak akan dipisahkan." Bu Umi sudah berkaca-kaca. Hani memeluk mertuanya. "
Keduanya sudah mandi dan juga solat magrib berjamaah. Syamil memimpin dengan membaca surah Ar Rahman yang isi surah tersebut adalah tentang cinta kasih. Bahkan Syamil menangis saat membacakan surah tersebut. Hani pun ikut menangis, sehingga Syamil begitu terharu melihat sang Istri. "Sudah, kan sudah selesai solat, air matanya masih turun aja! Neng terharu dengan surah itu ya?" Syamil mengusap kepala Hani dengan lembut. "Saya nangis bukan karena terharu, tapi karena kecapean berdiri. Surahnya kepanjangan. Rokaat pertama surah Ar-Rahman, rokaat kedua Surah Yasin, hiks.... " Syamil tertawa terpingkal-pingkal. Ia benar-benar keterlaluan pada istrinya. Bisa-bisa nanti Isya, Hani gak mau jama'ah lagi gara-gara kepanjangan ayat. Hu hu hu... "Neng, maaf ya. Sini, biar saya pijitin!" Syamil tidak tega dan tentu saja langsung meminta maaf. Kedua kaki istrinya ia pegang dan ia pijat dengan lembut. Hani pun membiarkan Syamil memijat kakinya karena memang rasanya sakit dan pegal. "Maaf ya, sa
"Benar, Om, cewek ini rumahnya di depan kosan, Syamil. Kenapa memangnya?" "Bagus kalau begitu, saya minta tolong, kamu jadi mata-mata ya. Awasi saja dari kejauhan. Jangan perhatiin istri orang dari dekat, bisa repot nanti.""Amit-amit, Om. Tipe saya bukan ibu-ibu, walaupun masih muda banget kayaknya, Om. Mungkin beda dua tahun saja dari saya. Lagian, bajunya seksi-seksi terus. Pahanya keliatan. Ketiaknya juga. Aduh, saya kalau lagi lihat cewek itu langsung istighfar.""Istighfar, kemudian alhamdulillah ya, kan ha ha ha.... ""Udah ya, Om, sekian laporan dari Syamil. Mau berangkat kampus dulu. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam, Hati-hati, Syamil. Ingat, istri orang cukup dilihat dari jauh saja, jangan dekat-dekat!"Syamil segera mematikan ponselnya. Bicara dengan pria dewasa seperti calon kakak iparnya memang sangat menguras emosi, tapi tak apalah, demi uang wifi yang akan ia dapatkan setiap bulan dari Om Didin, ia rela menjadi mata-mata Hani. Pemuda itu turun dari lantai dua kam
"Ummi, kenapa?" tanya pria dewasa yang tidak lain adalah Abah Haji Sulaiman yang merupakan ayah dari Syamil. Ia baru saja pulang dari mengisi majlis ta'lim dan mendapat laporan dari Rukmini dan Nela, bahwa istrinya jatuh pingsan setelah menelepon Syamil. Abah Haji mengusap rambut sang Istri perlaham, sambil menanti cerita yang akan keluRmar dari bibir istrinya. "Bah, besok kita harus ke Bandung. Syamil, Bah, t-tadi Ummi telepon karena rindu, tapi yang angkat perempuan dan perempuan itu bilang, Syamil lagi sakit dan baru aja tidur habis dikerik. Anak kita bukan kuliah di sana, Bah, tapi malah pacaran. Ayo, kita jemput, Bah!" Bu Umi merengek pada suaminya. Bahkan air matanya sudah turun dengan sangat deras karena terus membayangkan hal buruk yang akan terjadi pada putra bungsunya yang solih. "Ummi berarti belum percaya dengan Syamil. Anak lelaki kita tidak mungkin seperti itu. Bisa saja wanita yang di telepon itu adalah teman sesama anak kos yang mungkin memang tengah merawat Syamil.
"Assalamu'alaikum, Syamil, kata ummi kamu sakit. Apa benar itu, Nak?""Wa'alaykumussalam, benar, Bah, tapi sudah baikan. Hanya saja belum bisa ke kampus lagi hari ini. Padahal masih masa pengenalan lingkungan kampus.""Kenapa gak bisa?" "Karena Syamil lagi banting tulang, Bah. Syamil sakit, Bah, gimana mau ke kampus, orang dijemur di bawah sinar matahari.""Ya pasti kalau berjemur itu di bawah matahari, Syamil, kalau di atas matahari namanya apa?" Abahnya mulai konyol. Pasti karena Abahnya senang akan segera mempersunting Nela untuk menjadi istri kedua. Batin Syamil. "Minum obat ya? Semalam kata ummi ada yang kerik, siapa? Lelaki atau perempuan?""Oh itu, iya, Bah, karena saya udah gak kuat masuk angin, jadinya ditolongin sama Mbak Hani.""Siapa Mbak Hani? Kakak kampus kamu atau kakak kos?""Ibu muda tetangga Syamil yang lagi hamil, Bah.""Hah? Apa? Ibu-ibu hamil? Siapa yang menghamili ibu muda itu? Apakah k-kamu... "Bu Umi yang ikut menguping pembicaraan antara suami dan putra bu
"Sudah sana berangkat ngampus! Aku gak papa." Hani mengangkat suaranya begitu ia sudah siuman dari pingsan. "Udah terlambat. Mau masuk juga udah gak semangat." Syamil bangun dari duduknya, lalu mengambilkan minum untuk Hani. Pemuda itu mengulurkan ujung sedotan pada bibir Hani yang seksi. Dengan cepat Syamil menggelengkan kepala agar tidak terlalu fokus pada bibir Hani yang padat. "Udah, Syamil, apa yang mau disedot, orang airnya udah habis!" Syamil menggaruk rambutnya yang tidak gatal, diikuti seringai lebar. Pemuda itu meletakkan kembali gelas yang telah kosong di atas nakas. Ia ingin pulang, tetapi ia tidak tega juga dengan Hani. Ingin bertanya lebih detail tentang suami atau keluarga wanita itu, tetapi rasanya sungkan. "Sya, ini udah jam satu, kamu makan dulu sana! Aku gak papa kok. Kata dokter klinik juga aku cuma kecapean aja. Bayi aku juga sehat. Sore ini mungkin aku sudah boleh pulang juga. Jadi kamu jangan terlalu khawatir." Hani tersenyum penuh hangat. Jauh di dalam hatin
Syamil tengah berjalan di trotoar sambil menenteng nasi bungkus. Awalnya ia ingin makan di tempat, karena sudah tidak kebagian bangku duduk, Syamil memutuskan pulang saja. Perutnya masih tidak nyaman kalau memaksakan makan mie instan lagi. Waktu ia sakit, untunglah Hani memberikan makanan sehat untuknya sehingga ia lekas pulih. "Eh, bungkusan apa itu?" Syamil berjalan lebih cepat untuk melihat bungkus makanan yang terjatuh, rupanya berisi buah jambu potongan. Kepalanya menoleh ke kanan dam ke kiri untuk mencari pemilik buah yang mungkin tanpa sadar sudah menjatuhkan bungkusan tersebut. Syamil mengangkat bungkusan itu dan seketika itu juga ia melihat sandal yang sangat ia kenali. Sandal Hani. Ditambah dengan bungkusan buah jambu, Syamil yakin pemilik buah ini adalah Hani. "Mbak Hani! Mbak Hani!" Syamil berlarian ke sana-kemari mencari keberadaan Hani, tetapi ia tidak menemukan wanita hamil itu. Syamil semakin panik, ia mencoba menghubungi Joko, tetapi tidak diangkat. Suara berisik
Pria yang bernama Didin sudah tiba di Bandung. Hari ini ia memang sedang ingin membawa bus tujuan Bandung untuk menemui Syamil, sekaligus melihat dari kejauhan sosok Hani. Hani adalah anak dari wanita yang hampir membunuh putranya. Ia tidak dendam dengan gadis itu, justru ia iba dengan Hani. Dalam satu keluarga, hanya Hani yang benar, tetapi ia terjebak dengan pernikahan kontrak bersama dosennya. Untuk itu ia meminta Syamil untuk mengawasi Hani memastikan gadis itu baik-baik saja, meskipun di dalam hati dan pikiran gadis itu terluka. "Om!" Teriakan Syamil membuat Didin menoleh. Syamil melambaikan tangan, lalu berlari menghampiri Didin dengan senyuman. Pemusat itu mencium punggung tangan calon kakak ipar yang sampai saat ini belum bisa ia panggil dengan sebutan Mas' , tetapi 'Om. Mereka berada cafe yang letaknya tidak jauh dari kampus Syamil. Didin memang sengaja yang menjumpai Syamil agar ia bisa melihat juga keadaan Hani. "Gimana, Hani?" tanya Didin pada Syamil. "Masih begitu, O