Pagi sekali seperti biasa, Ahem turun dari mobilnya tepat didepan pintu masuk hotel. Dia hanya mengenakan kemeja putih dengan dasi karena jas dan rompi sedang di mobil, Jono yang akan membawakan ke ruangannya.
Ahem berjalan santai di loby sambil menikmati suasana dan udara segar pagi. Tiba-tiba berlari kecil, dan tergesa-gesa Ishita, karena dia berada di tempat kerja yang baru. Dia tidak boleh datang terlambat karena teman-teman barunya akan menghukumnya.
Tanpa hati-hati dia bersenggolan dengan Ahem dan membuat tasnya terjatuh dan berhamburan isinya.
"Gimana sih kamu, jalan jangan meleng aja dong! Punya mata tuh dipake!" hardik Ahem. Sedang Ishita gugup memberesi isi tas nya yang berserakan.
"Maaf Pak, saya tidak sengaja! Saya buru-buru!" katanya sambil bangkit dari jongkoknya. Dan betapa terkejutnya baik Ahem maupun Ishita yang dipertemukan dengan cara seperti itu
Akhirnya tak lama kemudian Ahem sudah menyusul dan bertemu di perempatan traffic light. Dia turun dan membukakan pintu mobil buat Ishita. "Segera masuklah, kalau tidak mau viral." perintah Pak Raden. "Kalau sampai viral lagi, aku tidak mau klarifikasi lagi, tau!" kelakar Ishita setelah Pak Raden duduk di sebelahnya. "Kamu tidak perlu melakukan apapun untukku. Kita bersahabat, jangan sampai ada yang terlukai. Kita harus saling mendukung dan saling menguatkan. Aku akan selalu ada disaat suka maupun dukamu. Kuharap demikian juga dengan kamu, selalu ada untukku!" Kata Ahem penuh harapan. "Kamu serius amat sih...jadi Melo nih!" sahut Ishita. "Serius Ishita!" seru Pak Raden. "Iya serius." Jawab Ishita. "Kita cari makan dimana?" tanya Pak Raden kemudian. "Coba tanyakan ketiga putraku, Ishita. Mereka pingin makan
Ahem sudah membawa Enggar ke hotelnya. Enggar adalah teman sepermainan Ahem waktu kecil, dia sudah seperti saudara laki-laki. "Istirahatlah dulu di kamarmu! Nanti malam kita ke rumahku, kita makan malam di rumah." Ujar Ahem. "Iya, aku juga lama nggak ketemu Intan. Aku ikut sedih dengan apa yang menimpa istrimu, Ahem. Kamu jangan khawatir, kamu bisa angkat anak yatim piatu, Ahem. Tidak harus melahirkan sendiri untuk mendapatkan anak." Ujar Enggar menghibur. "Iya kawan, aku optimis." Katanya sambil menepuk pundak Enggar. "Sudah, istirahatlah dulu, aku meneruskan pekerjaanku sebentar!" lanjutnya, kemudian meninggalkan Enggar di kamar hotel. Ahem ingin segera masuk ke kantornya, agar bisa menatap wajah Ishita dari jauh. Dia ingin menyaksikan sendiri bahwa Ishita benar-benar baik-baik saja. Semakin lama menatapnya semakin dia jatuh cinta.&nbs
Selamat membaca! Novel ini berisikan perang antara hati dan pikiran yang bisa mengacak-acak emosi kita. *** Tiga orang tamu baru datang memesan VVIP juga. Kebetulan letaknya tak jauh dengan Ishita dan Afan duduk. "Ahem, Enggar, duduklah!" titah Intan sambil menarik kursinya. "Enggar, maaf tadi renacananya mau dimasakin sendiri sama istriku, tapi tiba-tiba penyakit malasnya kambuh, nggak jadi deh!" kelakar Ahem sambil tertawa diiringi Ishita dan Enggar. "Tidak perlu, jadi merepotkan, begini sudah cukup....santai aja!" bantah Enggar. Ishita terbelalak kaget, dia mengenal sekali suara mereka. Suara yang familier sekali, dia sangat mengenal suara itu. Perlahan Ishita menoleh ke belakang dan, "Hah!" peki
Ishita masih menunduk menangis, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dilihat. Seorang sahabat, satu-satunya orang yang dipercaya ternyata dia pengkhianat yang menyusup. "Ungkapkanlah seluruh kekesalanmu padaku. Aku siap dan setia mendengarkannya! Agar nanti kamu sampai di rumah, sudah tenang dan bisa tidur dengan nyenyak. Ayo bicaralah aku mendengarkannya!" pinta Afan sambil memarkirkan mobilnya di taman kota. Ishita menangis semakin histeris. Dan Afan meraih tubuh Ishita, di rebahkan kepalanya ke pundaknya. Dia membiarkan tangis itu semakin menjadi. "Menangislah... keluarkan apa yang yang membuat sesak didadamu. Aku akan menemanimu dan mendengarkanmu!" ujar Afan menghibur. "Aku tidak menyangka kalau dia yang ku anggap sebagai sahabatku, ternyata dia adalah suamiku. Aku selalu menangis kepadanya saat aku merindukan Kak
Intan terbelalak kaget, dia tidak mengira kalau Ishita akan dengan tegas mengatakan hal itu. Padahal selama ini dia terlanjur bahagia yang tiada tara, akan mendapat tiga bayi mungil sekaligus. "Apa maksutmu, Ishita?" tanyanya tak percaya. "Mbak Intan menginginkan satu anak dari saya kan, saya akan berikan. Bukan tiga!" hardiknya. "Tapi kamu hamil kembar tiga anak suamiku, Ishita. Tidak mungkin kamu mengasuh dua anak dari suamiku kan? Dia tidak akan membiarkan itu terjadi!" hardiknya. "Memangnya kenapa, apa mbak Intan lupa kalau aku adalah ibunya....apa Mbak Intan lupa kalau Kak Ahem suamiku?" hardiknya balik. Plag! Tamparan yang tiba-tiba mendarat di pipi Ishita dengan kerasnya. "Dasar sundel!" umpatnya berteriak. "Intan?" pekik Indrayana dan istrinya. P
Ishita senang tanpa diminta Ahem bersedia menemaninya bertemu ayahnya. Sejak Herlambang tersadar dari koma, dia ingin bertemu dengan Ishita dan suaminya. Karena keadaan yang tidak memungkinkan membuat Ishita selalu menghindar. Harus dengan sakit begini, baru bisa terpenuhi keinginannya bertemu dengan putri sulungnya bersama suaminya. Kebetulan mereka belum pernah bertemu. Karena koma, maka pamannya, adik dari ayahnya sebagai wali nikah mereka. "Besuk kita berangkat pagi saja ya, sama jam kantor, agar kita santai di perjalanan." Usul Ahem. "Iya Pak Raden, lebih pagi malah enakan sih udaranya dingin." sahutnya. "Iya ya lebih pagi lagi bolehlah, habis subuhan gitu." Ahem menimpali. "Tapi kalau pagi sekali, gimana cara kamu pamit sama istrimu? Pasti dia akan curiga dan kamu akan kena masalah." Ujar Ishita. "Udah itu urusanku, kamu tidak usah ikut memikirkanny
Ahem sudah satu jam lebih melajukan mobilnya. Ishita benar-benar mulai terlelap dalam tidurnya. Sebentar-sebentar tangan Ahem, membelai rambutnya, kemudian mengelus pipinya. "Kamu imut sekali, sayang!" gumamnya lirih. Kemudian tangannya meraba perut Ishita sambil tersenyum dia berkata, "Apa kalian juga tidur seperti mama? Papa nyetir sendirian nggak ada yang menemani sayang....!" keluh Ahem berbisik. Tapi sontak tangan Ishita mendekap tangan Ahem yang sedang menumpang di perutnya. Tangan besar dan kekar itu di dekap semakin erat dengan kedua tangan Ishita yang mungil. Dan Ahem mulai menyatukan jemari tangannya ke dalam jemari Ishita, sambil tersenyum puas. "Kamu sudah bangun Ishi?" tanya Ahem sambil menatap intens Ishita. Ishita tidak menjawab, dia menikmati genggaman jemari kekar Ahem. Sentuhan tangan Ahem sangat membuatnya nyaman dan bahagia. "Kalau begini aku pergi ke
Ahem terperanjat kaget menerima pertanyaan mengenai orang tuanya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Ahem berpikir, andai ayah Herlambang tahu aku adalah anak dari orang yang menghancurkan hidupnya, apa yang terjadi? "Papa dan Mama saya ada di Amerika, Ayah. Minggu ini mereka akan pulang ke Indonesia. Karena mereka bahagia akan mendapat cucu." Ujar Ahem menjelaskan. "Ini juga cucu yang pertama buat mereka?" tanya Herlambang. "Iya ayah, ini cucu yang pertama kembar tiga pisan. Papa dan Mama sangat bahagia. "Alhamdulillah..... kembar tiga? Benarkah itu Ishi sayang?" tanyanya tak percaya. "Iya Ayah, doakan Ishita sehat ya Ayah! Ishita takut sekali ayah!" keluhnya bersedih. "Jangan takut sayang, aku selalu disampingmu!" kata Ahem lembut dan sayang. "Untung suamimu sayang sekali sama kamu? Kamu tidak usah khawatir! S