Semua Bab Istri Simpanan Sang CEO: Bab 1 - Bab 10
87 Bab
1. Pertemuan Yang Tak Terduga
  "Awas, Nek!"  Ishita menjerit dan mendorong seorang nenek yang sedang menyeberang jalan. Bragk! Ishita tertabrak dan jatuh terguling di atas jalan aspal. Dia tak sadarkan diri. Masyarakat berkerumun mulai menolongnya. Ada beberapa pemuda geram dengan ulah sopir yang mengebut. "Turun kamu! Tadi kamu nyetir sambil main telpon kan?" hardik salah seorang. "Dia perempuan!" seru yang lain. "Ayo turun, atau kita hancurkan mobil ini! Tanggungjawab dong!" sahut yang lain lagi. "Iya saya tanggungjawab, jangan main hakim sendiri dong!" ketus sopir wanita itu. "Bawa dia masuk ke mobilku, aku akan bawa dia ke rumah sakit!" lanjutnya lebih ketus lagi. Mereka membantu Ishita masuk ke mobil dan dua orang sedang menemaninya. Sesampai di rumah sakit sopir cantik yang bernama Intan itu berteriak, "Dokter ... Suster ...!"  Dua orang perawat datang dengan membawa brankar. Dengan hati-hati Ish
Baca selengkapnya
2. Bernegosiasi
  Wajah ayahnya yang tersiksa dengan nafas yang tersengal-sengal, seolah nyawanya sudah di ujung kerongkongan, selalu terbayang jelas di mata Ishita. Kalau terjadi apa-apa dengan ayah bukan saja Ishita yang terluka, tapi Ririn akan lebih menderita dan selalu menyalahkannya. Ishita terus meruntuki dirinya sendiri yang masih ragu dan dilema dengan pilihannya. Jalan keluar yang tidak akan terbuka untuk kedua kalinya, masih membuat Ishita ragu dan terus berkecambuk dalam benaknya. "Bagaimana kalau aku terlambat karena terlalu banyak berpikir? Apakah perlu Mas Affan mengetahui semua ini?" pikirnya dalam hati. Wajah ayahnya kembali hadir di pelupuk mata Ishita. Menambah lengkap penderitaan dan rasa sakitnya. Luka karena operasi dan sakit di seluruh tubuh Ishita, tidaklah sesakit menyaksikan ayahnya yang tak berdaya dengan nafasnya di ujung kerongkongan. "Sampai kapan kamu terus berpikir, Ishi? Ayahmu sudah separah itu, apa sih yang menjadi pert
Baca selengkapnya
3. Ahem Menerima Perjodohan
     Intan dengan suasana hati yang berbunga-bunga mulai masuk ke kamarnya. Kamar gelap dan lampunya belum dinyalakan, sehingga Intan berpikir bahwa Ahem belum pulang ke rumah.     "Hah....jam segini Ahem belum pulang juga?" gerutu Intan.      Intan berjalan pelan menuju saklar listrik untuk menyalakan lampu. Saat tangan mulai meraba dinding, seseorang datang mendekapnya dari belakang sambil berbisik di telinga, "Aku merindukanmu, sayang."      "Ahem?" pekik Intan terkejut.      Intan masih berusaha meraba dinding untuk menemukan saklar  lampu. Tapi Ahem bergerak cepat membalikkan tubuh Intan dan mencium bibirnya dengan ganas.      Intan pun tak berdaya, ciuman itu bagai ada magnetnya sehingga makin kuat dan sulit untuk dilepasnya. Perlahan Ahem menggeser tubuhnya dan mendekat ke dinding hingga menghimpit tubuh Intan, kemudian menekan saklatnya. Tiba-tiba
Baca selengkapnya
4. Perjanjian Pernikahan
    Pagi sekali Intan sudah berada di rumah sakit. Kali ini dia tidak sendiri, melainkan bersama Indrayana, papanya. Sebelum menemui Ishita, Intan membicarakan kepada Indrayana rencana Intan mengenai keinginannya meminjam rahim Ishita untuk melahirkan anak Ahem.     Indrayana mendukung keinginan putri semata wayangnya. Sebelum proses lebih jauh Indrayana yang kebetulan kepala rumah sakit dan seorang dokter, mengusulkan untuk cek up kesehatan rahim Ishita.  Dan Ishita menyetujuinya. Dengan tidak membuang waktu lagi, akhirnya hari itu juga diadakan cek up. Padahal tubuh Ishita belum pulih, dia duduk di kursi roda. Dan seorang asisten lelaki membantu mendorong kursi rodanya, menuju ruang periksa dokter.     Intan dan asistennya menunggu di luar sambil memain ponselnya. Tiba-tiba ponsel Intan bergetar dan Intan segera mengangkatnya.    "Iya sayang?" sapanya begitu telepon diangkat.    "Kamu masih di r
Baca selengkapnya
5. Pernikahan Kedua Ahem
     Setelah acara ijab kabul nikah, Ahem berpamitan untuk pulang dulu kepada keluarga Ishita dan tanpa berpamitan pada Ishita. Kepada Intan, Ahem berpamitan lewat telepon. Ishita pun belum sempat melihat wajah suami yang dinikahi beberapa jam yang lalu. Saat ijab kabul ada tirai putih yang memisahkan mereka. Saat ijab diucapkan dengan lantang, Ishita hanya mendengarkan tanpa melihat wajahnya. Ada debar- debar di jantung yang muncul saat ikrar ijab dan serempak undangan berteriak sah.      Ahem meninggalkan masjid dan para tamu undangan pun menyusulnya. Tinggal Ishita dan Ririn serta pamannya yang masih bercengkrama membicarakan tentang ayahnya.yang belum juga sadarkan diri.     Intan masih menunggu di mobilnya, yang terparkir di halaman masjid. Dia harus membawa Ishita pulang kembali ke Jakarta. Padahal dia masih harus menempuh perjalanan panjang dan  lama sekitar empat jam.     "Ayolah Ishita! Kita nant
Baca selengkapnya
6. Malam Pertama
     Siang ini banyak mata memandang iri, saat Ishita pergi menemani Afan makan siang di suatu restouran yang tak jauh dari kantornya. Banyak bisik-bisik usilnya membuat panas telinga. tapi Ishita tidak perduli. Dia berlenggang santai  menuju mobil dan mobilpun sebentar kemudian berlalu meluncur pergi.     "Kamu ingin makan apa, Ishita?" tanya Afan yang hatinya lagi berbunga-bunga.    'Terserah Pak Afan, saya sih apa saja oke." Jawab Ishita.    "Jangan panggil pak dong, apalagi suasana di luar kantor begini. Panggil mas atau namaku Afan." titah Afandy.     "Baik mas Afan."     "Nah begitu dong." Ungkap Afan puas. Kita makan masakan Korea?" lanjutnya bertanya.     "Masakan Jawa aja mas, lidah kita belum tentu cocok dengan lidah orang Korea.  Dari pada buang-buang uang bila tidak kemakan.     "Cerdas juga kamu, terus enaknya kita makan
Baca selengkapnya
7. Malam Kedua
    Ahem segera menangkap tangan Ishita setelah dengan kerasnya menampar wajah Ahem. Dia mencengkeram dengan kuat pegelangan tangan Ishita.     "Auh sakit, Kak!" pekiknya.     "Beraninya kamu menampar aku, emangnya siapa kamu? Baru pertama kali seumur hidupku ada orang berani menamparku. Orang tuaku saja tidak pernah melakukannya. Siapa kau berani melakukannya!" bentak Ahem sambil mencengkeram kuat pergelangan tangan Ishita setengah di pelintir.     "Auh sakit, Kak!" jerit Ishita.     "Kamu harus tahu diri siapa kamu? Aku bisa lakukan apapun kepadamu bila aku mau!" ancamnya.     "Ok, Kamu boleh lakukan apapun yang kamu mau, kamu boleh sakiti tubuhku. Tapi jangan sampai kamu menghina Ayahku. Perlu kamu tahu, aku ada disini sekarang karena demi menyelamatkan nyawa ayahku. Uang 1 Milyar yang dijanjikan Mbak Intan bukan aku yang minta, tapi Mbak Intan sendiri yang menawarkannya. Dan itu b
Baca selengkapnya
8. Malam Ketiga
    Ishita masih berada di dekapan dada bidang dan berotot itu. Kepalanya dibenamkannya sambil tangan Ishita memeluk erat tubuh kekar itu. Sebentar-sebentar Ahem mencium dengan hangat kening Ishita.     "Aku semakin ragu dengan perasaanku, bagaimana kalau aku nyaman dengannya dan jatuh cinta padanya?" tanya Ahem dalam hati.     "Aku penasaran ingin melihat wajahmu, Ishita!" bisiknya di telinga Ishita.     "Jangan Kak, jangan sekarang! Suatu saat pasti kita akan dipertemukan." Jawab Ishita menenangkan.      Entah kenapa Ahem tiba-tiba mencium dan melumat kembali bibir Ishita. Seakan ingin mengulang kembali pergulatannya yang sangat terkesan itu.      Ishita pun tidak menolak dengan apa yang dilakukan Ahem kepadanya, bahkan dia menyambutnya.        Dan pergulatan itu pun terjadi lagi. Bak kesetanan Ahem mulai dengan ganasnya melahap tubuh Ishita tak
Baca selengkapnya
9. Malam Keempat
    Seperti biasa pagi sekali Ishita sudah bangun untuk membuat sarapan. Ponsel di meja bergetar keras,     Dret...     Dret....     Dret....     Ishita mengambil ponsel dan dibawa ke dapur sambil memasak.   "Ririn, bagaimana kabar ayah?" tanya Ishita begitu telepon diangkat.    "Itu dia yang ingin aku ceritakan Mbak!" jawabnya.   "Iya bagaimana?" tanya Ishita  penasaran.    "Mbak, ayah sudah siuman. Dia mencarimu. Dia ingin kamu datang bersama suamimu!" ujar Ririn.    "Iyakah, Alhamdulillah! Coba kontrol kan kembali ke dokternya, Ririn!" usul Ishita.    "Iya Mbak, rencananya nanti sepulang sekolah." Jawab Ririn.    "Ririn, katakan pada ayah, aku dan suamiku harus pengajuan cuti dulu kalau mau pulang. Sabar dulu ya  Ririn, pasti kita akan pulang." Ishita berjanji dan menghiburny
Baca selengkapnya
10. Kesan Malam Keempat
     Malam ini bagi Ahem ada kesan yang mendalam, itu mungkin karena perasaannya sedang dibalut cemburu. Bukan itu saja tak sadar dia mulai merindukannya. Harum tubuh yang alami bukan karena parfum ataupun sabun, tapi seolah pancaran dari tubuhnya.     Jam sudah menunjukan 01.00 lebih, tapi Intan belum juga memberi peringatan dengan panggilan telepon. Demikian juga dengan Hamid sedang menunggu sidak dari sang nyonya besar.     "Sampai pukul 01.30, nyonya belum juga telepon? Haruskah aku biarkan ataukah aku mengingatkan. Aneh sekali tadi siang mereka bertemu tapi malah bermasalah. Bagaimana kalau dia tahu ternyata dia adalah istrinya?" batin Hamid sambil tertawa geli. "Apakah dia hari ini belum juga membuka penutup mata? Seandainya mereka berdua ingin membukanya bukan hal yang sulit sih, tapi kenapa mereka berdua tidak melakukannya? Aduh kisah cinta yang aneh, aku yakin bos Ahem akan jatuh cinta bila melihat kecantikan Mbak Ishi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status