Raihanah ingat perempuan itu mengaku sebagai mantan pacar Fathul. Mereka mengobrol tanpa canggung. Sepertinya mereka memutuskan hubungan secara baik-baik. Meisya memperlihatkan layar ponselnya kepada Fathul dan pria itu secara otomatis mendekatkan kepala. Raihanah tidak lantas mundur dan menunggu percakapan mereka berakhir. “Kak Fathul?” Fathul mengangkat wajah dan terkejut menatapnya. Matanya sempat melirik Meisya sekilas. “Iya?”“Televisinya mau dibawa sendiri atau diantarkan oleh pemiliknya?”Meisya yang berdiri di samping pria itu tidak menyembunyikan raut tidak sukanya. Dari matanya seolah bertanya dengan sinis mengapa Raihanah bisa ada di sini juga. Jika Fathul juga menyukai Meisya, maka Raihanah tidak akan mengganggu. Setidaknya dia akan pergi setelah amanat Lukman sudah dia laksakaan dan membiarkan Fathul bersamanya. Namun, untuk saat ini Raihanah tidak ingin mengalah dulu. “Ukurannya berapa?” “21 inch.”“Kenapa kecil?” “Oh, antum butuh yang lebih besar?”Fathul menjauh
Fathul tak berkata apa pun setelah sampai di apartemen. Ia langsung masuk ke kamarnya dan tak lagi keluar hingga malam, bahkan ketika seluruh perabotan sampai. Meski begitu, Raihanah tetap memasak makan malam dan menunggu pria itu keluar. Pukul sembilan terlewat satu jam yang lalu. Makanan yang tersaji di atas meja menjadi dingin. Namun, Fathul tidak kunjung keluar. Dan Raihanah tak mampu menebak isi pikiran pria itu. Bunyi bel pintu membuat Raihanah heran. Tak ada lagi perabotan yang mesti diantar serta tamu yang kemungkinan akan datang di jam segini. Saat ia memandang monitor, hanya ada punggung seorang perempuan yang sepertinya tampak familiar. Ia terpaksa membuka pintu. Saat wanita itu berbalik, Raihanah menghela napas. Meisya lagi. Kali ini pakaiannya berganti. Bukan dengan setelan kantor yang tertutup, tapi dengan gaun hitam sebatas paha dengan bahu yang terbuka. “Dia pasti ada di dalam. Well, saya nggak mau dianggap nggak sopan lagi dengan masuk tanpa mengetuk.”“Mau ap
Kaki Raihanah terpaku ke lantai. Indranya berhenti berfungsi saat kedua kaki panjang itu maju semakin dekat. Mata tajam Fathul menerobos ke dalam matanya, menatapnya intens seperti terpana akan sesuatu. Dan Raihanah tak mampu mundur. Entah mengapa. Ia malah memejamkan mata saat aroma pria itu tercium dengan jelas. Wangi bunga yang ringan serta kopi yang menenangkan. Raihanah merasakan perasaan aneh yang melingkupinya. “Harusnya kamu menjauhi saya,” bisik pria itu. Suaranya menjadi berat dan semakin dalam. Pejaman mata Raihanah mengerat. Ia ingin melarikan diri. “Kenapa kamu malah ingin saya bebas dari belenggu ini? Raihanah, Hanah. Saya membenci suami–mantan suami kamu dan saya memang tidak pernah berniat memaafkan dia, tapi dengan adanya kamu ….”Pria itu berhenti. Membuat Raihanah membuka matanya dan menemukan raut wajah yang begitu rumit dari perpaduan Asia dan Timur Tengah itu. Kedua alisnya berkerut-kerut seolah memikirkan sesuatu yang sulit. Fathul tidak pernah terpikir un
Pagi-pagi sekali Fathul sudah datang. Ummi kembali tertidur setelah minum obat. Pria itu memakai kemeja rapi tanpa dasi dengan dua kancing atas yang terbuka dan lengan yang digulung hingga siku. Rambutnya tertata rapi seperti biasanya. Ini bahkan belum jam enam. Pasti sangat berat untuk Fathul mengizinkan Ummi tinggal di apartemen. “Terima kasih sudah mengizinkan ana membawa Ummi.”“Saya juga pernah tinggal di rumahnya. Sekalian balas budi.” Meski terlihat segar setelah mandi, tapi Raihanah bisa melihat lingkaran hitam yang menyelimuti kelopak mata pria itu. Sepertinya Fathul tidak tidur semalaman. Pria itu tampak lelah meski berdiri dengan postur tegak.“Hati antum sangat hangat.” Raihanah menghadiahkan seulas senyum yang tulus. Lagi-lagi Fathul lupa mengendalikan perasaannya. Wanita ini tahu cara memasuki perasaannya dengan benar. “Ummi bukan orang yang jahat.” Raihanah menengok sekilas ke ranjang Ummi. “Fathul pun begitu. Kalian sama-sama orang baik.” Senyum itu membius Fathu
Raihanah mendorong kursi roda Ummi ke parkiran lalu mengetuk kaca jendela mobil Fathul. Pria itu keluar dengan pandangan menunduk dan abai kemudian hendak membantu Ummi. Namun, Ummi dengan cepat berusaha berdiri dan bersusah payah naik ke mobil. Raihanah buru-buru memegangi lengannya sambil melirik reaksi Fathul sekilas.Fathul tampak biasa saja, tak ada sedikit pun kekecewaan di mata pria itu. Ia mengembalikan kursi roda ke lobi rumah sakit lalu kembali dua menit kemudian.Mobil meluncur tanpa sepatah kata pun dari mereka bertiga. Suasana hening seolah ketiganya tengah mengobrol dengan pikiran masing-masing. Mobil sampai dengan cepat.“Kita sudah sampai, Ummi.” Raihanah menyentuh lembut punggung tangan Ummi yang mulai berkeriput. Wanita ini tak lagi sesehat saat Lukman masih hidup dulu.Mata Ummi mendongak jauh hingga ke ujung gedung apartemen, menghela napas panjang dan tak menyembunyikan rasa keberatannya sedikit pun. Raihanah khawatir Fathul akan tersinggung.Fathul membawa koper
“Cumi goreng buat Ummi.” Raihanah menaruh banyak cumi goreng krispi ke piring Ramlah. Ramlah diam mengamati ketika giliran Fathul. Pria itu menyendok nasinya sendiri lalu mengambil cumi tumis berwarna hitam.“Antum mau tumis kangkung?” tanya Raihanah pada pria yang mulai makan itu. Suasana meja makan yang sangat berbeda. Mereka makan bertiga, tapi ada satu orang yang tergantikan. Dulu suasana di meja makan selalu terasa hangat, sekarang sepi. Sebab Lukman telah tergantikan oleh Fathul.“Boleh.” Fathul mengangkat piringnya.Ramlah tak melihat sorot hangat di mata pria itu untuk Raihanah. Tidak seperti Lukman yang selalu tersenyum dan memandang Raihanah dengan cara yang sangat berharga.Ada banyak perbedaan. Fathul mengambil semuanya sendirian, tak pernah menunggu dilayani oleh Raihanah. Kening Ramlah berkerut ketika anak itu mengangkat semua piring kotor dan mencucinya lalu membersihkan dapur sendirian sementara Raihanah menyiapkan obat untuk Ramlah. Entah itu adalah perbedaan yang
Kulit yang kecokelatan. Badan yang berlekuk dan berotot. Perutnya membentuk beberapa kotak, basah, dan ditetesi air dari rambutnya. Raihanah berdiri kaku. Lima detik kemudian, ia mengalihkan pandangan ke arah lain. “Maaf, ana masuk begitu saja.”Melihat wajah yang merona itu, napas Fathul menjadi cepat. Raihanah buru-buru memutar badan sedangkan Fathul cepat-cepat memakai baju. Raihanah tidak berani menoleh meski sudah lima menit berlalu. Ia tak mendengar suara gesekan kain lagi di belakangnya. “Sudah?” tanyanya.“Sudah.” Raihanah terperanjat ketika suara yang dalam itu terdengar begitu dekat di telinganya. Ia menoleh cepat dan tiba-tiba tersandung kaki sendiri. Raihanah pikir dirinya akan terjatuh ketika punggungnya ditopang. Satu tangan Fathul tertahan di udara, sementara tangannya yang lain melekat di punggung Raihanah. Mata Raihanah membulat dengan jantung melompat-lompat. Wajah mereka cukup dekat sampai ia bisa merasakan helaan napas Fathul yang beraroma pasta gigi. Suasana
Ummi demam. Malam ini badannya sangat panas. Raihanah sampai bolak-balik ke dapur untuk mengambil air hangat. Ummi menolak dibawa ke rumah sakit karena sudah tengah malam. Raihanah memandang pintu kamar Fathul yang tertutup rapat. Menerka-nerka apa pria itu sudah tidur atau belum. Pinggang Ummi belum sembuh. Mungkin demam karena terlalu banyak bergerak kemarin malam saat Meisya datang.Saat membuka kamar, Ummi sudah tertidur. Badannya tidak begitu panas lagi. Raihanah menghela napas lega. Sudah pukul dua pagi. Satu jam lagi waktunya sholat Tahajud. Raihanah keluar sebentar, tak ingin membangunkan Ummi. Ia merebahkan badan di sofa. Hendak istirahat sebentar selagi menunggu waktu Tahajud. Matanya terasa berat dan ia hanya mencoba memejamkan mata sejenak. Sejak pulang dari kantor, Fathul hanya berada di dalam kamar. Sibuk merampungkan materi presentasi untuk besok pagi. Ia keluar kamar untuk mengambil air minum. Namun, langkahnya berhenti saat menemukan kepala Raihanah yang menyembul