Istri Sumbangan

Istri Sumbangan

Oleh:  Mustacis  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
10
8 Peringkat
43Bab
1.5KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

"Nikahilah istriku. Bawa dia pulang ke rumahmu." Fathul yang hanyalah seorang anak tiri dari Misan Malik sudah terbiasa menerima sumbangan sedari kecil dari sang kakak tiri, Lukman Malik. Setelah bertahun-tahun memisahkan diri, tahu-tahu Fathul dipanggil lagi oleh keluarga Malik—mungkin untuk menerima sumbangan lagi. Namun, sumbangan yang diberikan kali ini bukanlah barang ataupun gelar, melainkan seorang istri. Lukman menyumbangkan istrinya untuk Fathul sesaat sebelum lelaki itu menutup napas.

Lihat lebih banyak
Istri Sumbangan Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
mbok mi
cerita yang bagus
2023-11-08 22:00:21
0
user avatar
alfira ananda
di awal bab sudah bagus
2023-11-08 19:01:22
0
user avatar
Mustacis
Hapus dari perpustakaan kalian lalu tambahkan lagi agar bab-bab yang sudah direvisi bisa diperbaharui dan dibaca dengan nyaman.
2023-08-30 16:14:41
0
user avatar
Mustacis
Halo, Istri Sumbangan sudah update lagi. Alurnya sudah teratur dan bisa kalian baca lagi :*
2023-08-30 16:12:08
0
user avatar
Mustacis
halo, Mustacis di sini :* Untuk sementara update novel ini dihentikan dulu ya, sebab ada kesalahan alur yang mesti diperbaiki. Nantikan versi terbaru yang lebih baik lagi :*
2023-03-04 22:01:17
0
user avatar
alfira ananda
yang semangat ya thor
2023-03-01 20:27:40
0
user avatar
alfira ananda
mudah mudahan update setiap hari
2023-03-01 20:26:45
0
user avatar
Mustacis
Halo, aku balik lagi membawa cerita baru .... Happy reading :*
2023-02-24 18:28:21
1
43 Bab
1. Sumbangan
Setelah bertahun-tahun berlalu, ini adalah kali pertama Lukman kembali menghubunginya. Fathul tidak punya ekspektasi akan dipanggil oleh keluarga Malik, tapi lebih tidak terduga lagi lokasinya bukan di rumah Malik, melainkan di rumah sakit. Fathul tidak merepotkan diri untuk menerka siapa gerangan yang sakit. Setelah memarkirkan mobilnya, ia lantas turun dan melewati koridor dengan langkah yang santai, tidak terburu-buru meski suara Lukman di dalam telepon tadi terdengar lemah dan putus-putus.Lelaki dengan tinggi 182 cm itu memasuki ruangan VIP dan membuka pintu kamar nomor 6 yang terletak di ujung lorong. Tiga orang yang berada dalam ruangan langsung menoleh dengan tatapan yang berbeda. Ia melihat Lukman, sang kakak tiri yang berbaring pucat di ranjang rumah sakit, Ramlah–ibu tirinya, dan satu lagi perempuan berwajah pucat yang duduk di samping ranjang. Fathul masuk tanpa sedikit pun simpati di wajahnya. Apa yang harus dia katakan setelah ini? Haruskah dia menanyakan kenapa Lukma
Baca selengkapnya
2. Nikahi Istriku
“Datanglah ke rumah, Fathul. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Lima tahun setelah Misan Malik meninggal, Lukman memanggilnya ke rumah Malik, rumah yang ia tinggalkan sejak tiga hari setelah Misan Malik dimakamkan. “Ah, tidak. Kita ketemu di kafe saja. Aku akan berikan alamatnya." Setelahnya Fathul sampai di kafe yang disebutkan pria itu. Tempat itu cukup sederhana dari luar, tapi ternyata dari dalam lumayan mewah. Lukman duduk di salah satu sofa yang menghadap jendela. Fathul duduk tanpa berbasa-basi, hanya Lukman yang mengucapkan salam tanpa mau dia jawab. Dia tahu mengapa Lukman batal mengundangnya ke rumah, sebab Ramlah, ibu pria itu sekaligus ibu tiri Fathul akan terpengaruh dengan kehadirannya. “Mau pesan sesuatu?” tanya Lukman, tampak bersih dengan topi dan jaket putih, serta celana jeans yang sepertinya masih baru. Sedang Fathul berpakaian ala kadarnya. Kaos kebesaran yang ujungnya belel dan celana jeans robek yang kotor. Ia sedang bekerja dan tiba-tiba dipanggil.
Baca selengkapnya
3. Bersediakah Memenuhi Amanat?
Fathul menghadiri acara pemakaman, bahkan membantu banyak hal. Namun, setiap gerakannya tidak disertai perasaan sedih ataupun rasa kehilangan. Biasa saja, seperti menghadiri pemakaman orang asing. Rumah Malik yang selama tiga belas tahun tidak pernah dia datangi lagi itu sedang ramai-ramainya. Orang-orang datang dan silih berganti mendoakan serta mengucapkan turut berduka. Banyak mobil yang memenuhi halaman depan rumah serta yang berjejeran di pinggir jalan. Orang-orang berpakaian putih. Fathul hanya menemukan dua sampai tiga orang yang berpakaian serba hitam, termasuk dirinya. “Mari, Nak Fathul. Kita mandikan jenazahnya.” Fathul mengangguk dan mengikuti langkah Ustadz Ridwan. Melewati ruang tengah, dilihatnya Ramlah yang sedang dipeluk oleh beberapa perempuan. Di ujung ruangan, ia menemukan Raihanah yang duduk bersila sambil terus membaca surah Yasin dengan Al-Qur’an kecil di pangkuannya, kendati wajah wanita itu pucat dan hidungnya memerah karena tangis. Banyak orang yang m
Baca selengkapnya
4. Cari Orang yang Lebih Baik
Fathul tertegun. Kapan wanita itu menyetujuinya? Bukankah sejak tadi dia diam saja? Diliriknya Raihanah yang duduk di ujung sofa. Bibirnya tidak bergerak sedikit pun. Fathul mengernyit ragu. Harusnya perempuan itu protes dan menyangkal habis-habisan. Beberapa pasang mata yang terfokus padanya menanti jawaban Fathul. Dengan tarikan napas yang cukup kencang, dengan tegas Fathul membuka bibirnya. “Saya tidak bisa.” Siapa yang mau menyetujui ide gila dari orang sekarat yang hendak mati? Ustadz Ridwan mengangguk paham. “Memang seharusnya begitu. Aku pun berpikir keputusan Lukman tidaklah dipikirkan secara matang. Namun, perbincangan kami beberapa hari yang lalu, membuatku cukup mengerti alasan Lukman ingin kau menikahi Raihanah setelah masa iddahnya selesai.” Memangnya apa alasannya? Fathul hanya berpikir, untuk yang terakhir kalinya, Lukman ingin memberinya sumbangan, berupa perusahaan yang akan bangkrut, barang bekas yang tak lagi dia inginkan atau warisan yang tidak bernilai. N
Baca selengkapnya
5. Surat Terakhir
Setelah semua proses pemakaman selesai, Raihanah masih terdiam di ruang tengah. Di ujung sofa, ia merenung cukup lama. Rasa sesak di dada sangat menyiksa sampai membuatnya menghela napas berulang kali. Abaya putih masih melekat di tubuhnya. Wajah sembab dan hidung memerah serta berair. Meski sudah mempersiapkan diri, tapi rasanya ternyata masih sesakit itu. Ia menikah dengan Lukman tiga tahun yang lalu. Dua tahun mereka habiskan dengan penuh kebahagiaan dan satu tahunnya lagi habis dengan penyakit yang menimpa pria itu. Begitu sulit untuk ikhlas kendati akal sehatnya terus menyuruh. Ia mengingat setiap pesan Lukman yang dibungkus dalam percakapan mereka sehari-hari. Seperti lima bulan yang lalu. Saat Raihanah menyiapkan obat untuk Lukman sementara pria itu memaksakan diri untuk bersandar di sofa meski napasnya terengah-engah. “Hanah, kalau Abang dipanggil Allah, Hanah mau menikah lagi tidak?” Raihanah mengerutkan kening cukup dalam sambil menghentikan gerakannya membuka bungk
Baca selengkapnya
6. Warisan
Tiga hari berlalu sejak pemakaman Lukman. Raihanah layaknya robot yang menampilkan senyum tipis saat menyambut kedatangan Ustadz Ridwan. Di depan pintu yang sangat lebar itu, Fathul muncul di belakangnya dengan raut datar tanpa senyum sedikit pun. Baru kali ini Raihanah bisa melihat jelas seperti apa rupa adik suaminya itu. Jika Lukman berambut ikal dengan kulit cerah dan bersih, maka Fathul memiliki kulit kecokelatan dengan wajah seperti perpaduan Turki dan Indonesia. Dia tidak setinggi Lukman, hanya saja caranya berjalan sangatlah tegap, pun saat ia duduk. Tubuhnya lebih berotot dan sorot matanya dingin seperti tidak peduli pada sekitar. Tatap mata, ragam ekspresi, serta cara bicaranya sangat berbeda dengan Lukman yang hangat dan lembut. Raihanah meletakkan satu cangkit teh di hadapan Ustadz Ridwan lalu menggeser cangkir lainnya untuk Fathul. Lelaki itu tidak menngucapkan apa-apa seperti Ustadz Ridwan yang mengucapkan terima kasih. “Untuk memulai, alangkah baiknya kita berdo
Baca selengkapnya
7. Hanya Menebus Utang
Fathul menahan napas. Sejak dulu, ibunya dicap sebagai perebut suami orang, dirinya pun diperlakukan sebagai anak yang harus tahu diri. Karena itu, ia wajib melunasi semua utangnya sekali lagi dengan cara menikahi wanita itu.Raihanah melihat Fathul mengangguk pelan sambil mengucapkan kata ‘ya’ yang terdengar samar. Raihanah tertegun. Ia pikir pria itu akan menolak, sebab sampai saat ini, raut wajahnya amat tertekan. Ia tampak tidak suka berada di tempat ini.“Alhamdulillah. Kalau begitu, Nak Fathul bisa menunggu selama 130 hari. Jika kau ingin berkunjung dan berkenalan dengan Hanah, aku akan mendampingi.”Fathul terdiam seperti biasanya. Tidak pernah terpikir akan kembali datang untuk mengunjungi wanita bernama Raihanah itu. Memangnya untuk apa?Suasana rumah Malik pun terasa pengap dan tidak nyaman.“Sebenarnya juga tidak masalah kau sering berkunjung. Kau adalah bagian keluarga Malik. Menjenguk ibumu yang sedang berduka juga sangat bagus. Bukan begitu, Dik Ramlah?”Fathul melihat R
Baca selengkapnya
8. Pengorbanan untuk Sebuah Amanat
Mata bulat itu mengerjap. Bulu matanya yang panjang bergerak-gerak. Fathul harap ini adalah pembicaraan pertama dan terakhir mereka. Ia tidak ingin berurusan lebih jauh dengan anggota keluarga Malik. “Rumah saya tidak sebesar rumah Malik untuk menjaga dan melindungimu.”Ia tidak ingin wanita ini berharap apa-apa, sebab dia memang tidak punya apa-apa. Alih-alih mengangguk paham atau bersendu ria, Raihanah malah memicing berani. “Ana tidak perlu dilindungi dan dijaga. Ana pun tidak berharap lebih kepada orang lain. Yang ingin ana perjelas bukan kesediaan antum melindungi ana. Jika pernikahan ini membebani dan mengganggu untuk antum, maka jangan lakukan.”Fathul tertegun. Ia berdiri tegak dan menjauhkan wajah. Wanita ini menerobos masuk ke mobilnya bukan untuk menuntut pertanggung jawaban untuk menjadi suami yang baik?Raihanah menunduk, terlihat seperti merasa bersalah. “Permintaan Bang Lukman sangat tiba-tiba dan terburu-buru. Dia tidak berpikir dengan jernih. Jangan diterima kalau i
Baca selengkapnya
9. Menjadi Istri Kembali
Setelah kedatangan Ustadz Ridwan, Ummi juga ikut keluar dari kamarnya. Ustadz Ridwan membawa beberapa santrinya sebagai saksi, sembari meminta maaf karena ia datang lewat tiga puluh menit dari janjinya. Fathul mesti menunggu satu setengah jam. “Alhamdulillah, kita kembali bersua di tempat ini. Sudah lewat 123 hari sejak Nak Lukman meninggalkan kita. Hari ini kita berkumpul untuk mendengar kembali keputusan Nak Fathul.”Fathul duduk dengan kaki terbuka lebar. Kedua tangannya ia satukan di atas paha. Tatapannya lurus ke depan, tajam dengan ekspresi yang dingin. Kemeja dan celana hitamnya semakin menambah aura gelap pria itu. Orang-orang menunggu jawabannya. Ramlah terlihat was-was dan Raihanah menahan napas. Kedua wanita itu pasti mengharapkan kata ‘tidak’ dari mulutnya.“Saya tetap menerima.”Suasana menjadi sangat hening. Hanya Ustadz Ridwan dan ketiga santrinya yang terlihat tenang. “Dengan beberapa syarat kecil.”Maka semakin terbitlah kerutan di antara kedua alis Ramlah. “Meni
Baca selengkapnya
10. Tempat Tinggal Pria Itu
Satu langkah lagi, maka Raihanah sudah meninggalkan kediaman Malik yang telah menampungnya selama lebih dari tiga tahun. Rumah yang menjadi saksi suka dan dukanya selama menikah dengan Lukman. Ada pria yang menunggunya di luar sana dan pria itu bukanlah Lukman. Raihanah mencoba mempertahankan senyum di hadapan Ummi dan Ustadz Ridwan sembari menenteng tas kecil bersama satu buah koper. “Hanah baik-baik saja. Ummi tidak perlu khawatir.”Kekhawatiran Ummi terlihat jelas dari wajahnya yang berkerut masam. Sudah berulang kali ia membujuk Ummi untuk ikut dengannya bersama Fathul, tapi Ummi menolak, sebab tidak ingin meninggalkan rumah Malik. Namun, Raihanah tahu arti di balik penolakan itu. Ditolehkannya kepalanya sekilas pada Fathul yang menunggu di samping mobil. Ekspresi lelaki itu tidak pernah berubah, datar dan kaku. “Nak Hanah, hari esok itu selalu berbeda. Tidak ada yang sama. Jika hari ini kau merasa buruk, tidak ada jaminan esok juga akan buruk. Begitu pun sebaliknya.”Raihana
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status