Freya membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Hal itu ia ulang beberapa kali, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Lucy Abram–ibu dari Abby yang melihat kejadian ini bergegas mendekat, lalu menyentuh lembut tangan sang menantu. “Sepertinya ada kesalahpahaman di sini, Nak Gama.”
Wanita paruh baya yang terlihat cantik itu, menjelaskan dengan suara yang sangat lembut. “Dia Freya. Sepupu Abby dari pihak Ayahnya, bukan pelayan.”
Gamaliel mengerutkan keningnya. “Sepupu?” pria itu lalu kembali menatap sepupu dari istrinya itu. “Ibu tidak salah mengenali orang?”
Lucy menggeleng pelan. “Tidak. Mereka memang bersaudara.”
Dengan masih mengerutkan keningnya, dia memandang Lucy. “Tunggu sebentar, Ibu. Bukannya tidak percaya, tapi ....”
Gama beralih pada Abby. “Aku mengikuti kasus ayahmu dulu.”
Melihat tubuh sang istri yang tiba-tiba menegang, ia bergegas melanjutkan. “Persidangannya disiarkan Secara langsung. Aku salah satu yang menontonnya. Dan saat itu hanya kau, ibu dan kakak yang hadir. Itulah kenapa ....”
Dia lalu menunjuk Freya dan ibunya, juga pihak keluarga Collins yang lain. “Aku mengira mereka bukan bagian dari keluargamu.”
Lagi dan lagi, kalimat yang keluar dari mulut Gama kembali membuat ruangan hening.
Ada perasaan bahagia di hati Abby saat melihat wajah keluarga Collins yang memucat. Dia lalu melirik Gama dan diam-diam mengangkat jempol untuk suaminya ini.
‘Ck, mulut pria ini benar-benar beracun.’
Secara pribadi Abby bahagia dengan apa yang Gama lakukan. Hal yang sebenarnya ingin dia lakukan sejak tadi. Dia sudah cukup gerah melihat tingkah bibi dan sepupunya yang bersikap berlebihan, bahkan dengan sengaja mengucilkan ibunya.
Untung saja Gamaliel si arogan cepat bertindak. Jika tidak, mungkin Abby akan mengacaukan pestanya sendiri.
Apa yang dikatakan Gama tidak bisa dibantah, itulah kenapa semuanya hanya bisa terdiam.
Lucy sendiri juga tidak bisa mengatakan apa-apa. Seperti yang lain, apa yang bisa dia katakan sedangkan ucapan sang menantu benar-benar mutlak?
Ingin membela diri dengan mengatakan tengah berduka? Mereka akan semakin ditertawakan jika begitu.
Karena ya, sidang putusan Ayahnya Abigail, dilangsungkan lima bulan setelah kematian putri satu-satunya keluarga Collins–adik bungsu dari ayahnya Abby. Wanita yang menjadi penyebab mendekamnya tuan pertama Collins di penjara.
Tidak ada lagi yang menyinggung tentang masalah itu. Karena setelah mengatakannya, Gama dan Abby kembali berkeliling.
Setelah pesta bubar, Gamaliel secara pribadi mengatur dua orang pelayan untuk melayani ibu dan Kakak Abby.
Hal yang membuat Abigail kagum, sekaligus mensyukuri keputusannya untuk menikah dengan pria ini.
Bukan menjadi soal Gamaliel melakukannya dengan ikhlas atau tidak. Dengan Pria itu yang peduli dan memperlakukan dua orang yang ia sayang dengan baik, sudah lebih dari cukup untuk Abby.
Setelah berpamitan dengan yang lain, pasangan pengantin baru itu kemudian bergegas memasuki kamar pengantin yang telah disiapkan oleh pihak keluarga.
“Terima kasih untuk yang tadi.” Abigail yang tengah melepas satu demi satu perhiasan yang menempel pada dirinya berkata dengan pelan, sembari melihat sang suami lewat cermin di hadapannya.
Melihat kening Gama yang mengerut, Abby menjelaskan. “Ibu dan Kakak. Terima kasih sudah memperlakukan mereka dengan baik.”
Sembari melepas hiasan kepalanya, Abby melanjutkan. “Dan juga ... Freya. Aku berterima kasih untuk itu. Meskipun tidak diperlukan sebenarnya, karena aku juga bisa membalas mereka.”
Gamaliel yang baru saja melepas kancing terakhir kemejanya, menyeringai.
Pria jangkung itu, perlahan berjalan ke arah Abby–dengan kemeja yang tidak terkancing, lalu menyejajarkan wajahnya dengan Abby.
Seperti Abby tadi, Gama juga menatap sang istri lewat cermin, kemudian berkata pelan. “Sudah kewajibanku bersikap baik pada Mertua dan ipar.”
Pria itu lalu secara perlahan melepas kalung yang melingkar pada leher Abby. Ia juga sempat mendaratkan kecupan kecil di leher sang istri yang membuat tubuh wanita itu menegang, lalu melanjutkan. “Tentang dia yang katanya sepupumu, itu ....”
Kalung yang diletakkan di atas meja rias, menghasilkan bunyi halus yang membuat Abby tersadar dari keterkejutan, karena kecupan kupu-kupu tadi.
Dari bayangan cermin, Abby melihat Gama tengah tersenyum. Senyum yang sangat menakutkan hingga membuat Abby bergidik.
Mendapatkan reaksi yang ia inginkan, Gamaliel berkata lagi. “Kau tidak perlu berterima kasih. Aku melakukan semua itu, untuk diriku sendiri.”
Tangan Gama perlahan melingkar di pinggang Abby. Dia lalu melanjutkan ucapannya, begitu melihat kening Abby mengerut. “Ya, kau tahu ... Aku tidak suka wanita lemah. Aku juga tidak suka wanitaku ditindas. Istri seorang Gama, tidak boleh menunduk di hadapan siapa pun. Apalagi hanya orang rendahan seperti mereka.”
Gamaliel merendahkan suaranya. “Ke depannya, di depan siapa pun itu, kau tidak boleh menundukkan kepala. Siapa pun! Angkat dagumu tinggi-tinggi. Selagi kau bisa membuktikan bahwa kau benar, aku akan berdiri di belakangmu.”
Abby terpaku. Perasaan macam apa ini? Dia merasa seolah ada angin segar yang bertiup. Angin segar, yang perlahan membawa kesejukan, tetapi juga perasaan sesak.
Sesak yang timbul, karena perasaan bahagia. Entah bagaimana menjelaskannya, tapi sudah sangat lama. Sudah begitu lama tidak ada orang yang mengatakan hal seperti ini padanya.
‘Akan berdiri di belakangmu.’ Kalimat itu terus berulang di benak Abby.
Sedikit tidak percaya karena kalimat seperti ini justru keluar dari mulut pria menyebalkan seperti Gama.
Abby menghela nafas panjang. “Kenapa?”
Sebelah alis Gama yang terangkat, membuatnya bergegas menjelaskan. “Kita baru saja kenal. Pertemuan pertama kita bahkan diwarnai dengan kejadian seperti tadi. Tapi kenapa? Kenapa kau mau percaya bahkan mengatakan akan berdiri di belakangku?”
Sebagai seseorang yang telah dipaksa untuk bersikap dewasa sejak sang ayah dipenjara, Abby tidak akan mudah percaya pada kebaikan seseorang.
Dalam benaknya, siapa pun dia, pasti memiliki maksud tersembunyi di balik kebaikannya.
Contoh kecilnya pernikahan ini, ayah mertuanya menawarkan kebebasan untuk sang ayah bukan karena tulus ingin membantu, tetapi dia menginginkan timbal balik yang menguntungkan.
Terlalu banyak contoh di sekitar Abby yang meyakinkan pemikirannya ini. Di jaman sekarang, hanya satu banding sepuluh juta orang yang membantu dengan tulus, tanpa menginginkan timbal balik.
Dan Abby berani mempertaruhkan semua yang ia miliki, Gama bukan orang baik yang tidak membutuhkan timbal balik.
Gamaliel menyeringai. “Cerdas.” Pria itu menghela nafas. “Seperti tadi, untuk diriku sendiri. Suksesnya pernikahan ini, sangat berpengaruh untuk posisiku sebagai pewaris Evans. Aku adalah orang yang menarik Evans Corp dari gerbang kebangkrutan. Akan sangat merugikan bagiku, jika para lintah yang menempel pada keluarga Evans yang akan mendapatkan keuntungan. Dan hanya kau yang bisa membantuku mencapai itu semua.”
“Pernikahan kontrak?” Tanya Abby.
Gamaliel mengernyit. “Bukankah hal itu terlalu klasik? Lagi pula, kita menjalani pernikahan yang sebenarnya, bukan sebuah dongeng karangan seorang pemimpi. Dan juga, aku memang kasar, aku pria yang jauh dari kata baik, tapi bagiku pernikahan itu ikatan yang sakral. Aku pernah bersumpah di depan makam seseorang, aku hanya akan menikah satu kali seumur hidup.
“Dan ya, aku menyebut pernikahan ini sebagai simbiosis mutualisme. Kau menggunakan nama besar keluargaku untuk membersihkan nama ayahmu, aku menggunakan pernikahan harmonis kita untuk mengambil alih kekuasaan Evans.”
Abby menghela nafas dalam, lalu mengangguk. “Aku mengerti. Hanya pernikahan harmonis di depan orang lain, kan?”
Gamaliel mengerutkan keningnya. “Tentu saja tidak! Aku laki-laki normal.”
Pria melihat tubuh bagian atas Abby yang begitu menggoda di depannya. “Kita akan menjalani pernikahan yang harmonis, dengan atau tanpa dilihat oleh orang lain.”
“Mengerti, Sayang?” Tanya Gama sembari meremas gundukan di bawah tulang selangka Abby. Tempat yang sejak tadi membuatnya gagal fokus, padahal masih terbungkus gaun pengantin.
Perbuatan Gana membuat wanita itu terbelalak. “Dasar baj1ngan mesum! Ini pelecehan!”
Gamaliel tertawa, bukannya berhenti pria itu justru melakukan hal yang sama pada gundukan yang lain. “Kau akan menjadi lelucon nasional jika melaporkan tidakkanku tadi pada pihak berwajib.”
Abby mengumpat pelan. Pria itu mengembalikan ucapannya tadi.
Setelah puas membuat Abby tidak berkutik, Gama lalu meluruskan tubuhnya. “Aku membersihkan diri lebih dulu. Persiapkan dirimu sebaik mungkin.”
Melihat mata Abby yang terbelalak, pria tampan itu mengendikan bahunya. “Saat di resepsi tadi, ada seseorang yang mengatakan; semua bagian tubuhku adalah miliknya, begitu pun sebaliknya.”
Tanpa menunggu reaksi Abby, pria jangkung itu melenggang bebas ke dalam kamar mandi.
Abigail yang melihat hal itu hanya bisa mengumpat. “Sial!”
Bunyi pintu kamar mandi yang dibuka membuat Abby yang masih memikirkan ucapan Gama tadi terlonjak.
Wanita cantik yang telah melepas gaun pengantinnya dan hanya menggunakan bathrobe itu menelan ludahnya susah payah, saat melihat Gama yang hanya mengenakan selembar handuk putih untuk menutup area bawahnya.
Sebelah alis Gama terangkat. Merasa sedikit heran, tetapi beberapa saat kemudian ia menyeringai. “Tidak perlu melihatnya seperti itu. Semua ini milikmu. Cepatlah mandi, aku tahu kau sudah tidak sabar.”
Abigail memicingkan matanya. “Omong kosong apa yang kau bicarakan?!” wanita cantik itu lalu berjalan dengan cepat ke arah kamar mandi. “Minggir!”
Gamaliel bergeser, memberi ruang bagi sang istri untuk masuk. Setelahnya hanya terdengar bunyi pintu kamar mandi yang dibanting dengan keras.
Pria itu kembali terkekeh kecil, lalu berjalan ke arah tumpukkan pakaiannya, dan merogoh saku jas yang ia pakai tadi. Gamaliel mengambil buku agenda kecil bersampul kulit cokelat dari sana, lalu menatapnya lama.
Helaan nafas berat terdengar beberapa saat kemudian. Ia meremas benda itu, lalu menatap pintu kamar mandi yang tertutup, lalu beralih pada gaun pengantin yang dilipat dengan rapi di sofa panjang yang ada di ruangan itu.
Gaun yang entah bagaimana, bisa dilepas sendiri oleh Abby tanpa membutuhkan bantuannya.
Senyum tipis tersemat saat kembali melihat agenda kecil dan gaun pengantin itu. Dengan masih mengenakkan handuk putih tadi, Gama lalu mengambil duduk di salah satu kursi dekat jendela.
Pria itu lalu membuka agenda tersebut dan mulai membacanya. Ekspresinya terus berubah, kadang tertawa, kadang kala ia akan terdiam cukup lama, lalu mengangguk dengan senyum manis yang tersemat di bibirnya.
Kejadian itu berlangsung cukup lama, hingga pria itu tidak menyadari keberadaan Abby yang baru saja keluar dari kamar mandi, dengan mengenakkan piama bergambar kuda poni berwarna Lilac.
Hingga sampai Abby selesai mengaplikasikan krim wajah dan kawanannya ke seluruh tubuhnya, Gama belum juga selesai dengan bacaan menarik yang sedikit banyak membuat Abby penasaran.
Abby yang melihat hal itu mengerutkan keningnya. Terlihat tidak suka, ingin dibiarkan, tapi .....
Wanita cantik itu, terlihat tidak senang.
Sedangkan Gama yang masih membaca agenda tadi, dikejutkan dengan selembar kain tebal yang tiba-tiba membungkus punggungnya.
Dengan masih menampilkan raut bingung, pria itu menoleh dan mendapati Abby yang berjalan cepat menaiki tempat tidur.
“Kau tidak menggunakan baju. Hawa di kamar ini sangat dingin.”
Gamaliel tersenyum. Pria itu lalu mengangkat sebelah alisnya. “Kau mengkhawatirkanku?”
Dia lalu menggenggam selimut yang Abby letaknya di pundaknya tadi. “Terima kasih untuk ini. Aku sengaja tidak mengenakkan pakaian, agar tidak perlu melepasnya lagi nanti.”
Setelah kejadian sore tadi—yang berujung Abby harus memuaskan suaminya dengan cara lain hingga membuat rahangnya sedikit keram, akhirnya mereka tiba di lokasi diadakannya pesta ulang tahun Paman Gama. “Apakah masih sakit?” Tanya Gama saat melihat beberapa kali Abby menyentuh pipinya. Abigail menatap suaminya sengit. “Menurutmu? Bukan sakit secara harafiah, tetapi aku hanya merasa seperti baru saja meniup beberapa balon. Benar-benar tidak nyaman.” Gama menghela nafas. “Maafkan aku. Jika kamu tidak menolak, mulutmu pasti tidak akan sakit.” Sudut bibir Abby bergerak-gerak. Ingin sekali dia menyemburkan racun mematikan, tetapi sekuat tenaga ia tahan. ‘Jika tidak menolak?’ Jika dia tidak menolak maka saat ini pastilah mereka masih bergelut di atas ranjang! Ck, benar-benar menyebalkan!Dengan diawali oleh helaan nafas, Abby memejamkan matanya. “Sudahlah jangan dibahas lagi. Anggap saja ini memang salahku.” Ballroom hotel yang telah disulap menjadi area pesta mewah dengan dominasi
Abby mengiyakan ucapan Rea dengan anggukkan. "Tentu saja! Aku sudah cukup menahan diri sejak tadi. Dia benar-benar harus diberi pelajaran."Wanita cantik itu mengambil langkah pasti menemui Alicia.b yyttgDan ya, seperti halnya Abby, Alicia juga juga telah menunggu Abby sejak tadi sehingga begitu melihat wanita itu, Alicia bergegas menghampiri Abby. "Akhirnya kamu datang juga."Abby melipat kedua tangannya. "Apakah aku harus tersanjung sekarang? Tidak kusangka akan dirindukan oleh seorang wanita." Dia memicingkan mata. "Kamu tidak mungkin berubah pikiran dengan begitu cepat bukan, nona Alicia? Suamiku akan sedih jika tahu penggemarnya telah menemukan idola yang baru dan itu adalah istrinya sendiri."Alicia mendengus. "Menjadikanmu idola? Mataku masih begitu bagus, Non—""Nyonya!" Potong Abby cepat. "Aku telah menikah. Aku adalah nyonya muda Evans yang agung. Kamu harus mulai membiasakan diri memanggilku Nyonya! Mengerti, Nona Alic?"Alicia menggertakkan giginya. kembali seperti tadi,
Alicia terlihat akan meledak sebentar lagi. Hal itu terlihat dari sudut gaunnya yang kusut karena diremas dengan kuat. Buku-buku jarinya bahkan memutih yang menunjukkan betapa kerasnya ia mengepalkan tangan. Dan tentu saja hal itu sangat menghibur bagi Abby. Namun, dia tidak ingin menunjukkan kepuasannya karena saat ini dia tidak tahu siapa di antara; Nolan, Regan dan Ace yang telah terjebak pesona wanita cantik nan lemah yang dipancarkan Aliccia. Dan ya, pilihan Abby untuk tetap mempertahankan sikap nyatanya membuahkan hasil, karena tak berselang lama Regan tiba-tiba menggeser duduknya hingga mendekati Alicia. "Kamu benar, Abby. Alicia bukan seorang wanita perebut suami orang, dia dan Gama murni berteman," ucap Regan sembari membuka bekal makan siang yang dibawa Alicia. "Ini sangat lezat, kalian harus mencobanya." "Aku tidak berselera." Nolan, pria dengan tatapan dingin itu, tanpa ampun mengemukakakan pendapatnya. Ace ikut mengangguk. "Ya, benar. Sudah sangat sering aku memakan
Abigail menoleh pada suaminya, lalu mengangguk. “Em, aku hanya sedikit terkejut tadi.”Masuknya Abby dan Gama membuat beberapa orang yang tengah serius membahas beberapa hal, serempak menoleh. Sama halnya seperti Abby, Alicia juga terkejut mendapati kehadiran istri Gama tersebut. Bayangan tentang apa yang terjadi pagi tadi, membuat emosi Alicia yang sempat mereda kembali bangkit. Dengan senyum cerah yang dibuat-buat, wanita cantik itu beranjak bangun dari duduknya. “Kamu datang?” Alicia menatap paper bag di tangan Gama, lalu kembali menatap Abby. “Kamu membawa makan siang? Em, sebenarnya kami, ah maksudku, aku sudah membawa makan siang. Kamu bisa makan bersama kami, aku rasa makanan yang kubawa cukup banyak ....” Tanpa menunggu tanggapan Abby, Alicia lalu mengalihkan pandangannya pada mereka yang tengah duduk di sofa. “Aku rasa kalian tidak keberatan, bukan? Em, sebelumnya perkenalkan dia istri Gama Abigail Colli—“Evans.” Abby dengan cepat memotong ucapan Alice. “Untuk Sekarang
Setelah selesai bersiap, Abby bergegas pergi ke kantor Gama dengan diantar oleh Rea. Senyum cerah terus menghias wajah wanita cantik itu. Entah karena apa tapi Abby benar-benar antusias saat ini. "Anda terlihat begitu bahagia, Nyonya." Rea dengan senyum tipis menatap Abby.Membalas senyum Rea, Abby mengangguk kecil. "Ya, ini pertama kalinya aku berkunjung ke sana. Aku merasa sedikit gugup tapi juga senang."Masih dengan senyum yang sama Rea mengangguk. "Sebentar lagi kita akan tiba."Benar saja tidak sampai dua puluh menit dari ucapan Rea, mobil yang dikendarai Rea perlahan memasuki pelataran parkir sebuah gedung pencakar langit.Abby tidak punya waktu untuk bertanya terlalu banyak karena segera setelah mereka turun, Rea langsung membawanya memasuki sebuah lift yang langsung mereka temukan begitu keluar dari area parkir bawah tanah.Denting lift terdengar begitu mereka tiba di tempat tujuan. Masih dengan senyum yang sama, Abby bergegas keluar dari lift begitu Rea mempersilahkan.Hal
Setelah mobil Gama menghilang, Abby menatap Rea. "Apa yang sebenarnya terjadi? Dia terlihat begitu khawatir."Rea menatap sang Nyoya. "Saya juga tidak tahu jelas apa yang terjadi. Tapi sepertinya memang serius. Hal itu saya simpulkan setelah melihat wajah Carlos yang terlihat tidak tenang.""Tidak bisakah kita mencari tahu? Siapa yang bisa kita tanyai untuk masalah ini?" Lagi Abby kembali bertanya.Rea menggelengkan kepalanya. "Satu-satunya harapan kita hanya Jase, Nyonya. Namun, seperti yang Anda lihat, situasinya sangat tidak memungkinkan untuk bertanya. Karenanya, Saya dan Anda hanya perlu menunggu informasi dari Jase."Abigail menghela nafas. Beberapa saat kemudian dia lalu mengangguk. "Sepertinya memang hanya bisa menunggu Jase."Rea tersenyum menanggapi ucapan Abby.....Hingga hari menjelang siang, Abigail semakin dibuat khawatir saat tidak juga mendapatkan kabar dari Jase. Wanita cantik itu terus melihat ke arah jam dinding dengan harap-harap cemas."Apakah tidak sebaiknya and