Share

02. Simbiosis Mutualisme

 Freya membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Hal itu ia ulang beberapa kali, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Lucy Abram–ibu dari Abby yang melihat kejadian ini bergegas mendekat, lalu menyentuh lembut tangan sang menantu. “Sepertinya ada kesalahpahaman di sini, Nak Gama.”

Wanita paruh baya yang terlihat cantik itu, menjelaskan dengan suara yang sangat lembut. “Dia Freya. Sepupu Abby dari pihak Ayahnya, bukan pelayan.”

Gamaliel mengerutkan keningnya. “Sepupu?” pria itu lalu kembali menatap sepupu dari istrinya itu. “Ibu tidak salah mengenali orang?”

Lucy menggeleng pelan. “Tidak. Mereka memang bersaudara.”

Dengan masih mengerutkan keningnya, dia memandang Lucy. “Tunggu sebentar, Ibu. Bukannya tidak percaya, tapi ....”

Gama beralih pada Abby. “Aku mengikuti kasus ayahmu dulu.”

Melihat tubuh sang istri yang tiba-tiba menegang, ia bergegas melanjutkan. “Persidangannya disiarkan Secara langsung. Aku salah satu yang menontonnya. Dan saat itu hanya kau, ibu dan kakak yang hadir. Itulah kenapa ....”

Dia lalu menunjuk Freya dan ibunya, juga pihak keluarga Collins yang lain. “Aku mengira mereka bukan bagian dari keluargamu.”

Lagi dan lagi, kalimat yang keluar dari mulut Gama kembali membuat ruangan hening.

Ada perasaan bahagia di hati Abby saat melihat wajah keluarga Collins yang memucat. Dia lalu melirik Gama dan diam-diam mengangkat jempol untuk suaminya ini.

‘Ck, mulut pria ini benar-benar beracun.’

Secara pribadi Abby bahagia dengan apa yang Gama lakukan. Hal yang sebenarnya ingin dia lakukan sejak tadi. Dia sudah cukup gerah melihat tingkah bibi dan sepupunya yang bersikap berlebihan, bahkan dengan sengaja mengucilkan ibunya.

Untung saja Gamaliel si arogan cepat bertindak. Jika tidak, mungkin Abby akan mengacaukan pestanya sendiri.

Apa yang dikatakan Gama tidak bisa dibantah, itulah kenapa semuanya hanya bisa terdiam.

Lucy sendiri juga tidak bisa mengatakan apa-apa. Seperti yang lain, apa yang bisa dia katakan sedangkan ucapan sang menantu benar-benar mutlak?

Ingin membela diri dengan mengatakan tengah berduka? Mereka akan semakin ditertawakan jika begitu.

Karena ya, sidang putusan Ayahnya Abigail, dilangsungkan lima bulan setelah kematian putri satu-satunya keluarga Collins–adik bungsu dari ayahnya Abby. Wanita yang menjadi penyebab mendekamnya tuan pertama Collins di penjara.

Tidak ada lagi yang menyinggung tentang masalah itu. Karena setelah mengatakannya, Gama dan Abby kembali berkeliling.

Setelah pesta bubar, Gamaliel secara pribadi mengatur dua orang pelayan untuk melayani ibu dan Kakak Abby.

Hal yang membuat Abigail kagum, sekaligus mensyukuri keputusannya untuk menikah dengan pria ini.

Bukan menjadi soal Gamaliel melakukannya dengan ikhlas atau tidak. Dengan Pria itu yang peduli dan memperlakukan dua orang yang ia sayang dengan baik, sudah lebih dari cukup untuk Abby.

Setelah berpamitan dengan yang lain, pasangan pengantin baru itu kemudian bergegas memasuki kamar pengantin yang telah disiapkan oleh pihak keluarga.

“Terima kasih untuk yang tadi.” Abigail yang tengah melepas satu demi satu perhiasan yang menempel pada dirinya berkata dengan pelan, sembari melihat sang suami lewat cermin di hadapannya.

Melihat kening Gama yang mengerut, Abby menjelaskan. “Ibu dan Kakak. Terima kasih sudah memperlakukan mereka dengan baik.”

Sembari melepas hiasan kepalanya, Abby melanjutkan. “Dan juga ... Freya. Aku berterima kasih untuk itu. Meskipun tidak diperlukan sebenarnya, karena aku juga bisa membalas mereka.”

Gamaliel yang baru saja melepas kancing terakhir kemejanya, menyeringai.

Pria jangkung itu, perlahan berjalan ke arah Abby–dengan kemeja yang tidak terkancing, lalu menyejajarkan wajahnya dengan Abby.

Seperti Abby tadi, Gama juga menatap sang istri lewat cermin, kemudian berkata pelan. “Sudah kewajibanku bersikap baik pada Mertua dan ipar.”

Pria itu lalu secara perlahan melepas kalung yang melingkar pada leher Abby. Ia juga sempat mendaratkan kecupan kecil di leher sang istri yang membuat tubuh wanita itu menegang, lalu melanjutkan. “Tentang dia yang katanya sepupumu, itu ....”

Kalung yang diletakkan di atas meja rias, menghasilkan bunyi halus yang membuat Abby tersadar dari keterkejutan, karena kecupan kupu-kupu tadi.

Dari bayangan cermin, Abby melihat Gama tengah tersenyum. Senyum yang sangat menakutkan hingga membuat Abby bergidik.

Mendapatkan reaksi yang ia inginkan, Gamaliel berkata lagi. “Kau tidak perlu berterima kasih. Aku melakukan semua itu, untuk diriku sendiri.”

Tangan Gama perlahan melingkar di pinggang Abby. Dia lalu melanjutkan ucapannya, begitu melihat kening Abby mengerut. “Ya, kau tahu ... Aku tidak suka wanita lemah. Aku juga tidak suka wanitaku ditindas. Istri seorang Gama, tidak boleh menunduk di hadapan siapa pun. Apalagi hanya orang rendahan seperti mereka.”

Gamaliel merendahkan suaranya. “Ke depannya, di depan siapa pun itu, kau tidak boleh menundukkan kepala. Siapa pun! Angkat dagumu tinggi-tinggi. Selagi kau bisa membuktikan bahwa kau benar, aku akan berdiri di belakangmu.”

Abby terpaku. Perasaan macam apa ini? Dia merasa seolah ada angin segar yang bertiup. Angin segar, yang perlahan membawa kesejukan, tetapi juga perasaan sesak.

Sesak yang timbul, karena perasaan bahagia. Entah bagaimana menjelaskannya, tapi sudah sangat lama. Sudah begitu lama tidak ada orang yang mengatakan hal seperti ini padanya.

‘Akan berdiri di belakangmu.’ Kalimat itu terus berulang di benak Abby.

Sedikit tidak percaya karena kalimat seperti ini justru keluar dari mulut pria menyebalkan seperti Gama.

Abby menghela nafas panjang. “Kenapa?”

Sebelah alis Gama yang terangkat, membuatnya bergegas menjelaskan. “Kita baru saja kenal. Pertemuan pertama kita bahkan diwarnai dengan kejadian seperti tadi. Tapi kenapa? Kenapa kau mau percaya bahkan mengatakan akan berdiri di belakangku?”

Sebagai seseorang yang telah dipaksa untuk bersikap dewasa sejak sang ayah dipenjara, Abby tidak akan mudah percaya pada kebaikan seseorang.

Dalam benaknya, siapa pun dia, pasti memiliki maksud tersembunyi di balik kebaikannya.

Contoh kecilnya pernikahan ini, ayah mertuanya menawarkan kebebasan untuk sang ayah bukan karena tulus ingin membantu, tetapi dia menginginkan timbal balik yang menguntungkan.

Terlalu banyak contoh di sekitar Abby yang meyakinkan pemikirannya ini. Di jaman sekarang, hanya satu banding sepuluh juta orang yang membantu dengan tulus, tanpa menginginkan timbal balik.

Dan Abby berani mempertaruhkan semua yang ia miliki, Gama bukan orang baik yang tidak membutuhkan timbal balik.

Gamaliel menyeringai. “Cerdas.” Pria itu menghela nafas. “Seperti tadi, untuk diriku sendiri. Suksesnya pernikahan ini, sangat berpengaruh untuk posisiku sebagai pewaris Evans. Aku adalah orang yang menarik Evans Corp dari gerbang kebangkrutan. Akan sangat merugikan bagiku, jika para lintah yang menempel pada keluarga Evans yang akan mendapatkan keuntungan. Dan hanya kau yang bisa membantuku mencapai itu semua.”

“Pernikahan kontrak?” Tanya Abby.

Gamaliel mengernyit. “Bukankah hal itu terlalu klasik? Lagi pula, kita menjalani pernikahan yang sebenarnya, bukan sebuah dongeng karangan seorang pemimpi. Dan juga, aku memang kasar, aku pria yang jauh dari kata baik, tapi bagiku pernikahan itu ikatan yang sakral. Aku pernah bersumpah di depan makam seseorang, aku hanya akan menikah satu kali seumur hidup.

“Dan ya, aku menyebut pernikahan ini sebagai simbiosis mutualisme. Kau menggunakan nama besar keluargaku untuk membersihkan nama ayahmu, aku menggunakan pernikahan harmonis kita untuk mengambil alih kekuasaan Evans.”

Abby menghela nafas dalam, lalu mengangguk. “Aku mengerti. Hanya pernikahan harmonis di depan orang lain, kan?”

Gamaliel mengerutkan keningnya. “Tentu saja tidak! Aku laki-laki normal.”

Pria melihat tubuh bagian atas Abby yang begitu menggoda di depannya. “Kita akan menjalani pernikahan yang harmonis, dengan atau tanpa dilihat oleh orang lain.”

“Mengerti, Sayang?” Tanya Gama sembari meremas gundukan di bawah tulang selangka Abby. Tempat yang sejak tadi membuatnya gagal fokus, padahal masih terbungkus gaun pengantin.

Perbuatan Gana membuat wanita itu terbelalak. “Dasar baj1ngan mesum! Ini pelecehan!”

Gamaliel tertawa, bukannya berhenti pria itu justru melakukan hal yang sama pada gundukan yang lain. “Kau akan menjadi lelucon nasional jika melaporkan tidakkanku tadi pada pihak berwajib.”

Abby mengumpat pelan. Pria itu mengembalikan ucapannya tadi.

Setelah puas membuat Abby tidak berkutik, Gama lalu meluruskan tubuhnya. “Aku membersihkan diri lebih dulu. Persiapkan dirimu sebaik mungkin.”

Melihat mata Abby yang terbelalak, pria tampan itu mengendikan bahunya. “Saat di resepsi tadi, ada seseorang yang mengatakan; semua bagian tubuhku adalah miliknya, begitu pun sebaliknya.”

Tanpa menunggu reaksi Abby, pria jangkung itu melenggang bebas ke dalam kamar mandi.

Abigail yang melihat hal itu hanya bisa mengumpat. “Sial!”

Bunyi pintu kamar mandi yang dibuka membuat Abby yang masih memikirkan ucapan Gama tadi terlonjak.

Wanita cantik yang telah melepas gaun pengantinnya dan hanya menggunakan bathrobe itu menelan ludahnya susah payah, saat melihat Gama yang hanya mengenakan selembar handuk putih untuk menutup area bawahnya.

Sebelah alis Gama terangkat. Merasa sedikit heran, tetapi beberapa saat kemudian ia menyeringai. “Tidak perlu melihatnya seperti itu. Semua ini milikmu. Cepatlah mandi, aku tahu kau sudah tidak sabar.”

Abigail memicingkan matanya. “Omong kosong apa yang kau bicarakan?!” wanita cantik itu lalu berjalan dengan cepat ke arah kamar mandi. “Minggir!”

Gamaliel bergeser, memberi ruang bagi sang istri untuk masuk. Setelahnya hanya terdengar bunyi pintu kamar mandi yang dibanting dengan keras.

Pria itu kembali terkekeh kecil, lalu berjalan ke arah tumpukkan pakaiannya, dan merogoh saku jas yang ia pakai tadi. Gamaliel mengambil buku agenda kecil bersampul kulit cokelat dari sana, lalu menatapnya lama.

Helaan nafas berat terdengar beberapa saat kemudian. Ia meremas benda itu, lalu menatap pintu kamar mandi yang tertutup, lalu beralih pada gaun pengantin yang dilipat dengan rapi di sofa panjang yang ada di ruangan itu.

Gaun yang entah bagaimana, bisa dilepas sendiri oleh Abby tanpa membutuhkan bantuannya.

Senyum tipis tersemat saat kembali melihat agenda kecil dan gaun pengantin itu. Dengan masih mengenakkan handuk putih tadi, Gama lalu mengambil duduk di salah satu kursi dekat jendela.

Pria itu lalu membuka agenda tersebut dan mulai membacanya. Ekspresinya terus berubah, kadang tertawa, kadang kala ia akan terdiam cukup lama, lalu mengangguk dengan senyum manis yang tersemat di bibirnya.

Kejadian itu berlangsung cukup lama, hingga pria itu tidak menyadari keberadaan Abby yang baru saja keluar dari kamar mandi, dengan mengenakkan piama bergambar kuda poni berwarna Lilac.

Hingga sampai Abby selesai mengaplikasikan krim wajah dan kawanannya ke seluruh tubuhnya, Gama belum juga selesai dengan bacaan menarik yang sedikit banyak membuat Abby penasaran.

Abby yang melihat hal itu mengerutkan keningnya. Terlihat tidak suka, ingin dibiarkan, tapi .....

Wanita cantik itu, terlihat tidak senang.

Sedangkan Gama yang masih membaca agenda tadi, dikejutkan dengan selembar kain tebal yang tiba-tiba membungkus punggungnya.

Dengan masih menampilkan raut bingung, pria itu menoleh dan mendapati Abby yang berjalan cepat menaiki tempat tidur.

“Kau tidak menggunakan baju. Hawa di kamar ini sangat dingin.”

Gamaliel tersenyum. Pria itu lalu mengangkat sebelah alisnya. “Kau mengkhawatirkanku?”

Dia lalu menggenggam selimut yang Abby letaknya di pundaknya tadi. “Terima kasih untuk ini. Aku sengaja tidak mengenakkan pakaian, agar tidak perlu melepasnya lagi nanti.”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status