"Sya, sepertinya aku jatuh cinta pada Amira."
Hening beberapa saat. Wanita bermata abu lensa kontak itu merasakan ini hanya sebuah halusinasinya saja. Diberanikannya menatap Reza yang kini menunduk tanpa melepas genggaman tangannya dari gadis itu.Meisya membuang pandangan sambil terus berusaha menahan air matanya. Mencoba melepaskan genggaman tangan Reza, tapi tak bisa."Trus, kamu maunya bagaiamana?" tanya Meisya dengan suara bergetar menahan tangis."Aku hanya tak ingin membohongi perasaanku saja, Sya. Maafkan aku." Reza mengangkat wajahnya. Menatap Meisya yang air beningnya sudah tumpah membasahi kedua pipinya."Oke, kamu sudah mengutarakannya. Sudah tenangkan sekarang. Oh, mungkin maksud kamu kita putus saja? Biar kamu bisa memadu kasih dengan bocah dukun itu.""Sya ....""Maaf ya, Za. Kita udah pacaran sejak SMA dan hanya karena bocah dukun kamu berpaling dari aku? Oke, kamu sudah masuk dalam perangkaReza berkendara santai menuju apartemen Meisya. Lelaki muda itu bahkan sempat mampir membeli martabak telur super untuk ia bawa ke sana. Tak lupa minuman kekinian yang ada bubblenya;minuman kesukaan Meisya. Dalam hati ia berkata, walau tak bisa menganggap Meisya sebagai pacar lagi, tetapi ia tetap bisa berteman, atau mungkin bersahabat.Reza memarkirkan sepeda motor maticnya di lobi parkir paling bawah. Lelaki itu merasa seperti ada yang mengintai, Reza menoleh-tak ada siapa-siapa di sana. Parkiran motor sepi karena baru saja azan magrib. Tak menghiraukan halusinasinya, Reza masuk ke dalam lift dan memencet angka enam pada tombol lift. Digenggamnya dua bungkus makanan dan juga minuman dengan hati riang. Ia yakin, Meisya akhirnya menyutujui keputusannya tadi pagi.Azan magrib masih menggema. Reza memutuskan untuk menumpang solat di apartemen mantan pacarnya itu. Karena sudah mengetahui kode buka pintu apartemen, Reza langsung saja memencet papan tombol yang ada
Gadis yang bulan depan akan berusia empat belas tahun itu, masih saja menangis menutupi wajahnya dengan bantal tidur. Sepulang dari sekolah ia tidak keluar kamar lagi, sehingga membuat san ibu kebingungan. Makan malam pun ia lewatkan begitu saja. Tak ada yang tahu Amira kenapa. Aminarsih bertanya pada Adam, tetapi sepengetahuan Adam, Amira pulang bersama teman kembar tiganya. Ami juga menelepon Bu Dewi dan dari beliau juga menyampaikan hal yang sama, bahwa Amira pulang bersama Andrea, Aleta, dan Andini.Berbekal nomor yang diberikan wali kelas Amira, kini Aminarsih tengah melakukan panggilan ke nomor rumah teman anaknya itu. Sudah tiga kali memanggil, tapi belum juga diangkat padahal hari masih sore.“Hallo, assalamualayku. Siapa ini?” sapa riang suara di seberang sana.“Wa’aalykumussalam. Hallo, saya ibunya Amira. Maaf, saya bicara dengan siapa ya?”“Oh, Tante Aminarsih. Saya Andrea, Tante.”
Dua hari tidak masuk sekolah, karena Amira masih harus mengontrol emosinya. Apalagi masih sangat sedih atas kehilangannya Om Reza yang ternyata diam-diam ia sukai. Tak banyak bicara, tersenyum, hanya sesekali menyahut, dan sesekali memberikan seringai pada ledekan teman-temannya.Kadang, ia merindukan keisengan Deni, Roni, Acel, dan teman-teman lelaki lainnya pada rambutnya. Namun, kemarin rambut itu sudah berubah menjadi lurus dan panjang. Yah, walau tak selurus penggaris, tetapi penampilan Amira berubah seratus persen dan membuat semua teman di kelas tas mengenalinya.Sang papa yang memintanya untuk meluruskan rambut. Menjadi Amira yang baru, yang kuat, dan mampu berprestasi di sekolah. Ingat, tak ada lagi yang namanya jatuh cinta dengan siapa pun itu, sampai memang waktunya tiba."Gue baru sadar, kalau lo itu benar-benar cantik. Mau rambut tawon, mau rambut jalan tol. Gaya apa aja pasti cantik," puji Andrea pada Amira yang diikuti anggukan d
Amira menghentikan kayuhan sepedanya. Ia menoleh sekilas dan melihat ada lelaki yang hampir tiga minggu ia rindukan. Wajahnya dibuat sedatar mungkin, lalu tanpa menyahut, Amira kembali mengayuh sepedanya. Hatinya berdebar tak karuan. Belum pernah rasanya seperti ini. Ditambah lagi, Reza mengatakan saya rindu. Namun Amira tahu, jika itu hanya bualan.Hampir semua lelaki pandai membual, kecuali sang papa. Takkan ada lelaki seperti papanya. Kayuhan yang awalnya santai cenderung pelan, berubah menjadi kencang. Apalagi lelaki itu masih terus mengikuti Amira."Mira, saya mau bicara. Makan baso di depan mau tidak? Saya akan ijin Tante Ami sekarang," rengek lelaki itu dengan wajah memelas. Sayang sekali, Amira tak dapat melanjutkan kayuhannya, karena Reza sudah turun dari motor dan memegang sepedanya."Gak mau! Mira mau pulang," balas Amira dengan air mata bersiap tumpah. Ish, cengeng sekali diriku ini. Umpat Amira kesal dengan dirinya sendiri. Amira b
Sepuluh hari sebelum ulang tahun Amira.Pagi tak menyampaikan kabar baik hari ini. Masih sama seperti kemarin. Hujan rintik-rintik sejak malam. Tanah yang dipijak terasa amat beku tanpa setitik tanda-tanda kehangatan akan muncul. Lelaki itu hanya bisa memeluk erat bantal kursi, menaruh gadunya di sana sambil memandangi air hujan dari jendela kamarnya. Merasakan kebekuan hati yang sama. Rindu dan kesal itu menjadi satu. Namun jika membayangkan akan benar-benar meninggalkan itu terasa amat sakit.Sepuluh hari sudah Reza memilih berdiam diri di rumah. Tidak kuliah, tidak berkumpul bersama teman-teman, apalagi berjumpa dengan Meisya. Entah apa yang membuatnya begitu berat menjalankan tanggung jawab untuk Meisya. Hatinya terlalu berat untuk seorang gadis kecil bernama Amira.Jika dibilang lebay, ya ... dia memang lebay;bahkan cengeng. Untuk urusan percintaan sekelas usia dua puluh satu tahun, tentulah ia termasuk kategori cengen
"Reza! Tunggu!" Meisya segera bangun dari duduknya. Terlambat, Reza sudah berada di atas motornya dan melihat kekasihnya dengan tatapan sinis."Za, tunggu! Gue bisa jelasin!" rengek Meisya dengan air mata berlinang, sambil berlari kwluar dari pagar."Tak perlu ada penjelasan untuk suatu kebohongan!"Breem!Reza melesatkan motornya meninggalkan Meisya yang menangis, berteriak memanggil namanya. Ada senyum terbit di bibir lelaki itu. Ada batu karang yang menyudutkan hatinya berakhir dengan hancur. Kelegaan karena dosa yang tak pernah ia buat membuat seakan saat ini dirinya dikelilingi oleh para bidadari cantik berwajah Amira.Jujur, takkan mungkin ada pria yang tidak tergoda oleh kemolekan, kecerdasan, dan kecantikan yang ada pada Meisya. Ia pun merasakan hal yang sama dan jatuh cinta untuk waktu yang lama pada seorang Meisya. Namun, ada hal yang tidak dihilangkan dari h
"Kedatangan kami kemari selain ingin bersilaturahim, adalah untuk melamar Amira untuk anak kami Reza tujuh tahun lagi.""Apa?!" pekik semua orang yang ada di sana. Termasuk Bik Astri yang hampir saja menumpahkan air yang ia bawa dalam nampan-hendak dihidangkan."M-maksud Ibu?" tanya Ami kebingungan. Matanya mengerjap beberapa kali, mencoba memastikan saat ini dia tidak sedang bermimpi. Kepalanya menoleh pada suami dan juga anak gadisnya yang sama kagetnya dengan dirinya."Jika boleh sama, kami ingin mengikat Amira untuk Reza," ujar Yasmin dengan wajah merona malu. Sebenarnya ia tahu ini permintaan konyol, tetapi demi anak sulungnya yang bucin berat dengan seorang gadis goib, dirinya rela melakukan hal aneh seperti ini."He he he ... Begini, Pak, Bu. Bukannya saya menolak, tetapi Amira masih sangat kecil. Datang bulan aja baru kemarin. Tidur juga masih suka ngigo, ngences ke mana-mana," terang Emir sambil menahan tawanya."
Keempatnya dihukum di depan lapangan saat upacara bendera berlangsung. Mereka menunduk bukan karena malu, melainkan karena merasa lucu atas apa yang mereka jalani saat ini. Sepanjang belajar di kelas VII belum pernah keempatnya dihukum seperti ini. Hanya karena membicarakan Sonya dan Amira, mereka harus menanggung akibatnya. Sambil menunduk, Amira menoleh pada Andrea yang ada di sampingnya. Ekor kedua matanya bermain-main, mengedip pada Andrea beberapa kali memberi kode pada temannya itu untuk melihat apa yang dia lakukan."Jadi, demi menjaga kebersi ... huuaachii ... maaf," ucap Pak Usman yang sedang memberikan pidatonya tiba-tiba bersin. Seluruh peserta upacara, termasuk jajaran guru, staf, dan juga seluruh siswa tertawa melihat Pak Usman."Saya ulangi ya ... huuachiii ...." Pria itu kembali bersin hingga ada sesuatu yang keluar dari hidungnya. Dengan gerekan cepat membalik tubuhny hingga memunggungi audiense, Pak Usman mengambil tisu, lalu membersihkan hidun