Dua Tahun Berlalu
"Ayo, Mbak Ami. Udah ditunggu Bu Fero," ujar Kamal tetangganya.
"Beneran bawa Amira gak papa?"
"Gak papa. Udah ayo cepat!"
Lelaki muda itu berjalan lebih dulu meninggalkan Ami yang sedang merapikan tas yang berisi susu, baju ganti, dan juga cemilan untuk Amira, anaknya yang baru berusia dua tahun lebih dua bulan.
Pagi ini, ia dapat pekerjaan sampingan menjadi pelayan catering, untuk sebuah pesta pernikahan. Pekerjaan yang selalu diberikan Bu Fero padanya. Lumayan untuk tambahan bayar kontrakan, selain membuat peyek, lalu menjualnya dari warung ke warung.
"Ibu, ayo!" puteri kecilnya menarik-narik ujung bajunya agar seger keluar rumah.
Tiiin!
Tiin!Suara klakson mobil Bu Fero melengking di depan kontrakannya. Bergegas Ami mengunci pintu. Lalu sambil berlari menggendong Amira, masuk ke dalam mobil
Saya terima nikah kawinnya Farah Pramesti binti Faisal Armando dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas seratus gram di bayar tunai."Sah. Alhamdulillah."Dari kejauahan tepatnya di stand siomay, Aminarsih tersenyum senang. Hari ini, ia bertemu kembali dengan lelaki yang pernah menjadi Malaikat Penolongnya, dalam keadaan bahagia. Lelaki itu, di depan sana baru saja mengucapkan ikrar pada Rabbnya, untuk mengarungi bahtera rumah tangga, menyempurnakan agama dengan menikahi gadis yang sangat cantik. Ia tentu saja ikut senang. Karena orang baik, harus mendapatkan yang baik pula.Lalu, apakah ia tidak baik? Sehingga Allah mempertemukan ia dengan Devano, lelaki kejam yang pernah menjadi suaminya hanya dalam beberapa bulan saja. Bukannya ia tidak baik, tetapi Allah menegurnya, agar tidak bermain-main dengan pernikahan. Menerima ajakan untuk menjadi pengantin pengganti hanya karena ingin cepat
"Siapa, Mas? Kayaknya kenal dekat," tanya Farah sangat ingin tahu."Wanita itu yang pernah aku ceritakan, Sayang. Yang melahirkan di villa angker," terang Emir pada Farah, saat mereka tengah menikmati baso berdua."Serius? Wah, kebetulan sekali. Trus, anak kecil yang narik celana Mas tadi waktu mau masuk ke gedung, berarti anak Mbak itu?""Iya. Cantik ya, bola matanya abu-abu. Aku ingin kita punya banyak anak, jangan cuma dua, apalagi satu. Harus lima.""Ha ha ha ... Ogaaah! Capelah ngurusnya," tolak Farah sambil tertawa."Kan ada aku yang bantuin, Sayang. Adababy sitterjuga nanti yang bantuin, semoga kamu langsung isi," rengek Emir sambil menatap instens wajah cantik istrinya."Gak, ah. Punya anaknya nanti-nanti saja." Farah mengangkat telunjuknya di depan Emir, lalu ia gerakkan ke kanan dan ke kiri, tanda ia tidak setuju atas ucapan Emir.
Sepasang pengantin, baru saja mengarungi kenikmatan dunia. Dengan tubuh polos berpeluh, Emir memeluk sayang Farah yang kini resmi menjadi istrinya. Ya, walapun Farah memang sudah tidak gadis lagi, itu tidak masalah untuknya. Karena memang pekerjaan Farah menuntutnya, mau tak mau harus mengorbankan sesuatu yang sangat ia jaga.Farah memejamkan mata karena terlalu kelelahan. Acara pernikahan yang padat, macet saat perjalanan pulang, ditambah lagi harus memenuhi kewajibannya sebagai istri bagi Emir, lelaki yang ia cintai, membuat tubuhnya bagai tak bertulang."Mau aku buatkan makanan, Sayang?" bisik Emir di telinga Farah."Tidak, ah. Aku mengantuk." Farah berbalik, memunggungi suaminya. Matanya masih terpejam rapat. Emir tersenyum tipis, lalu mengecup kepala Farah. Ia pun turun dari ranjang pengantinnya, kemudian masuk ke kamar mandi untuk melaksanakan mandi hadas besar.Emir keluar dari kamar man
Ami bergegas membuka pintu untuk tamunya dengan sejuta tanya di kepala."Tuan, ada apa?""Maaf, Mbak Ami. Benar mas ini saudaranya Mbak Ami?" tanya Pak Jum yang ikut bersama Emir saat ini."Iya, Pak. Saya sepupunya, ya kan Mi?" sela Emir."I-iya, Pak. Sepupu jauh saya, namanya Emir," ujar Ami terbata."Gak boleh ngobrol lama ya, sudah malam. Pagar depan lima belas menit lagi saya kunci. Jadi hanya lima belas menit saja bicaranya," ujar Pak Jum kemudian berlalu dari depan kontrakan Ami."Aduh, Tuan. Ada apa malam-malam begini?" tanya Ami merasa tak enak."Saya tidak dipersilakan duduk?""Eh, iya. M-maaf, Tuan, karena kaget saya jadi lupa. Mari masuk, Tuan." Ami mempersilakan Emir masuk ke dalam kontrakannya. Lelaki yang memakai hoodie hitam itu melangkahkan kaki masuk ke dalam, kemudian langsung menyaksikan Amira yang tengah terlelap dengan peluh bercucuran."Maaf, begini tempatny
Emir mencari tahu obat apa yang kini ada dalam genggamannya. Ternyata pil itu adalah obat pencegah kehamilan. Sudah ada tujuh tablet yang terbuka dari satu strip obat pencegah kehamilan tersebut. Kenapa sudah Farah minum sebanyak tujuh tablet? Berarti sebelum menikah, ia sudah terlebih dahulu mengonsumsi obat ini? Tega sekali.Emir berjalan ke tempat sampah, melemparkan obat itu ke dalamnya. Segera ia membuka ponsel, ada beberapa pesan dari Farah yang menanyakan keberadaannya. Ada juga lima panggilan tak terjawab dari Farah, dan satu panggilan video. Semua ia acuhkan, karena rasa kesal yang teramat sangat.Jemarinya menggeser layar ponsel, ada pembaruan status dari istrinya yang sedang menikmati kopi dengan majagernya di sebuah restoran di Malaysia. Hatinya terbakar cemburu, bagaimana bisa begitu ceria senyum sang istri saat menikmati siang di sana, dengan lelaki yang bukan suaminya."Sayang sekali tiket ke Bali yang sudah aku beli," guma
Emir, Amira, dan Aminarsih sudah berada di dalam bus, menuju Bali. Kenapa bisa naik bus? Karena Emir membatalkan tiket pesawat bisnisnya. Ami tak memiliki KTP, sehingga tidak memungkinkan untuk berangkat dengan pesawat bersama dengannya.Tak masalah bagi Emir, yang penting saat ini ia tengah menikmati langit malam bertabur bintang, dengan Amira yang duduk di pangkuannya. Ami tersenyum penuh arti. Dia yang duduk di kursi seberang, ikut menikmati perjalanan dengan menatap jalan tol yang padat merayap."Tidur saja! Aku akan menjaga Amira," ujar Emir pada Ami."Tak apa, Tuan. Saya akan menunggu Tuan dan Amira tidur, baru saya tidur.," jawab Ami sambil tersenyum. Bus eksekutif yang dinaiki mereka hanya terisi lima belas bangku, sedangkan sisanya kosong. Mungkin karena hari ini hari senin."Kamu lapar?""Mmm ... Tidak, Tuan. Lagian ini masih ada roti yang tadi Tuan belikan." Ami mengangkat bungkusan plastik roti dengan gam
Amira tidak mau turun dari punggung Emir, saat lelaki itu tengah mengonfirmasibookingankamar, di salah satu resort terkenal di Bali. Ami berusaha merayu puterinya agar mau turun, tetapi Amira menolak. Malah tangannya semakin kencang memeluk leher Emir. Apa lelaki itu marah? Tentu tidak. Emir malah tertawa cekikikan melihat kelakuan Amira yang sangat menggemaskan.Ami memperhatikan tempat paling bagus seumur hidup baru ini ia kunjungi. Yaitu, Bali dan benar-benar sangat bagus resort yang mereka datangi saat ini. Ada hamparan sawah hijau nan asri, udara segar, pepohonan seakan bersahabat dengan angin. Menambah kesejukan pada setiap orang yang berada di sana. Kolam renang dengan bentuk lonjong, bulat, dan juga kotak, tepat di atas tebing dengan pemandangan hutan tropis yang memanjakan mata. Benar-benar vitamin mata."Selamat bersenang-senang dengan keluarga," ucap pelayan resort ramah saat menyerahkan kunci kamar pada Emir."T
Amira masih asik berenang bersama Emir di kolam anak. Sudah satu jam lamanya, gadis kecil itu tidak mau naik untuk makan. Ia terus saja meminta Emir untuk menggendongnya di dalam air, atau sesekali menuntunnya. Begitu senang, begitu gembira, dan seringai giginya terus saja mengembang, tatkala menikmati moment berenang bersama Emir.Aminarsih memandang keduanya dari kursi santai terbuat dari rotan, dengan payung sebagai pelindung kepalanya. Ia tidak tahu harus bagaimana menyikapi kebaikan Emir. Sesuatu yang sangat di luar logika menurutnya. Jika sebelumnya, ia ditemani dan ditolomg oleh dua ekor tikus, segerombolan kecoa, pasukan semut, serta buah apel ajaib. Maka, hari ini, Emir adalah sosok yang menggantikan mereka.Lelaki itu menghibur dirinya dan juga anaknya, mengeluarkan banyak uang untuknya dan juga anaknya. Memberi kebahagiaan yang tak pernah sekalipun ia rasakan. Ami mengusap air matanya, bukan air mata kesedihan, melainkan air mata bahagia.