Amira sudah terlelap di pangkuan Emir. Lelaki itu bersikeras mengajak Ami bicara baik-baik. Sungguh ia pun tak menyangka akan kabar yang diberikan Farah tadi. Kini, keduanya masih senyap tanpa suara, hingga pukul sepuluh malam. Ami duduk menunduk sambil memilin ujung bajunya, dengan air mata yang sedari tadi tak kunjung berhenti. Emir memandang sendu wanita yang ia cintai. Perjuangan untuk memilikinya sepertinya akan panjang, tetapi ia tidak akan menyerah.
"Waktu itu, saat Farah pertama kali berangkat ke Malaysia, saya menemukan pil KB di kamar. Pil yang sudah hilang sebanyak tujuh pil. Jujur saya kecewa, karena saya tidak menyangka akan mendapati istri saya begitu enggan untuk punya anak," terang Emir dengan suara parau. Ia yang tadinya duduk berhadapan dengan Ami, kini memilih pindah, untuk kemudian duduk di samping Ami. "Sini lihat saya!" Emir mengusap rambut Ami dengan lembut, namun Ami mengelak. Ia masih saja sesegukan menahan tangis agar tak tumpah"Jadi menurut kalian, siapa ayah bayi itu? Katakan!""Mas Emir." Farah seketika bangun dari duduknya. Dadanya berdegub sangat kencang, saat sosok yang ia belum ingin lihat, sudah ada di hadapannya dengan wajah memerah menahan marah. Daniel pun hanya bisa menelan saliva tanpa mampu berkata-kata. Saat Emir berjalan mendekat, kemudian meremas kerah bajunya, nyali Daniel semakin menciut."Apa kamu ayah bayi yang dikandung istriku? Jawab!" Emir tak bisa lagi menyembunyikan kekesalannya, lelaki terus saja berteriak sampai urat leher dan wajahnya ikut memerah padam. Semua kru yang ada di sana mengelilingi Emir dengan tatapan bingung. Ada yang menarik tubuh Emir agar menjauh dari Daniel, namun ia tepis."Katakan siapa ayah bayi yang sebenarnya? Katakan Daniel! Sebelum aku membawa kalian berdua ke kantor polisi," bisik Emir sinis begitu dekat dengan wajah Daniel."Kamu ayah bayi itu, Emir. Kamu ayah bayinya. Jika tidak percaya, kamu sil
Dengan jemari gemetar dan dada berdebar, Bu Farida mencoba menghubungi nomor Emir, namun tak diangkat. Berkali-kali tiada lelah Bu Farida melakukannya, bahkan air mata ikut menetes tatkala melihat semua pakaian yang dia berikan pada Ami dan Amira tidak ada yang dibawa. Lemari kecil yang digunakan untuk menyimpan baju-baju yang ia berikan masih terisi dengan penuh. Berati Ami dan Amira pergi hanya mengenakan baju yang melekat pada tubuh mereka saja. Betapa sedih dan hancurnya hati wanita paruh baya itu ketika mendapati Ami yang benar-benar pergi dari kehidupannya."Ami, kamu ke mana?" gumam Bu Farida dengan lemah. Ia duduk di ranjang Emir, yang kurang lebih sepuluh hari ini ditiduri oleh Ami dan juga Amira. Kasur sudah rapi, bersih, seprei juga tampaknya baru diganti oleh Ami."Kontrakan? Nah, iya, kontrakan." Cepat Bu Farida keluar dari kamar, lalu memakai gamis di dalam kamarnya serta kerudung instan cukup lebar. Setelahnya Bu Farida menyambar kunci mobil.&nbs
Ami sudah tiba di terminal bus Pulogadung. Kedua kakinya melangkah dengan sedikit berat, karena Amira tertidur. Perjalanan dari Surabaya menuju Jakarta yang memakan waktu kurang lebih dua belas jam, membuat Amira tampak kelelahan. Kepalanya menoleh ke sana-kemari, mencari masjid, karena adzan magrib baru saja berkumandang, saat ia turun dari bus tadi."Permisi, Bang. Kalau mushollah atau masjid di mana ya?" tanya Ami pada kernet bus yang sedang ngetem tak jauh dari posisi ia berdiri."Oh, di sana Mbak. Lurus saja dari sini, terus belok kanan," ucapnya memberi tahu arah musholla dengan tangannya."Terimakasih," ucap Ami sambil sedikit membungkuk. Masih dengan menggendong Amira di depan tubuhnya, ia berjalan menuju arah musholla yang tadi diberitahu. Peluhmya bercucuran, bau badan akibat naik bus ekonomi membuat ia sendiri tak nyaman, namun, apa mau dikata, ia tidak punya baju lain, selain baju yang ia kenakan ini.Dibukanya sendal jep
Ami menyuapkan bubur kacang hijau ke dalam mulut Amira. Gadis kecil itu makan dengan lahap, sambil sesekali menoleh pada ibunya yang masih saja meneteskan air mata."Ibu, janan sedih telus. Nanti juga ada Papa Emil," ujar Amira dengan mulut penuh bubur kacang hijau.Ami semakin sedih bila mengingat Emir, lelaki yang takkan pernah menjadi imam dalam hidupnya. Ditambah lagi kehilangan uang hasil jerih payah menjual peyek, membuat air matanya tak mau disuruh berhenti. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri, karena teledor menyimpan uang, sehingga ia kehilangan uang banyak di sakunya. Hanya tersisa lima ribu rupiah di saku baju Amira, yang ia selipkan saat menerima kembalian dari beli nasi semalam."Belum rezeki, Mbak. Sabar ya," ucap mamang bubur yang merasa iba dengan keadaan Ami dan Amira."Iya, Mang. Terimakasih," sahut Ami sangat pelan. Sungguh ia tak berdaya kini, walaupun mamang bubur tetap memberikan semangkuk bubur tanpa harus
"Enak, Yut," ucap Amira saat tengah asik menyantap aneka makanan yang terhidang di atas meja makan besar di rumah Tuan Wijaya.Lelaki tua itu tersenyum, lalu mengangguk, "makannya yang banyak. Semua makanan ini punya Amira," katanya sambil mengusap rambut kriting Amira dengan lembut. Di depan Amira, ada Aminarsih yang juga tengah menyantap nasi, lengkap dengan aneka lauk pauk yang sangat enak."Tuan, ini ....," ucap Ami dengan mata berkaca-kaca."Makanlah dulu yang banyak, kenyangkan perutmu. Setelah itu beristirahatlah, nanti malam kita akan berbelanja kebutuhan kamu dan Amira, cicitku." Kakek tua itu memilih pergi meninggalkan Ami di meja makan bersama Amira, agar keduanya makan dengan lebih leluasa. Dia masuk ke dalam ruangan besar, di mana itu adalah kantor sekaligus kamar baginya. Diambilnya ponsel, lalu mencoba menghubungi seseorang.["Hallo, Pak Dibyo. Bisa segera diurus berkas warisan saya? Cucu dan cicit saya sudah ditem
Dua hari sudah Ami dan Amira tidur di rumah Tuan Wijaya. Semua kebutuhan Ami dan Amira selalu dicukupi. Mereka dilayani bak ratu dan putri. Mulai dari bangun tidur, makan, berpakaian, dan melakukan semua hal di dalam rumah dengan bantuan dua orang pelayan Tuan Wijaya.Kamar Amira sudah disulap bak kamar tuan putri dengan nuansa merah muda. Ada satu set lemari pakaian, ranjang, rak buku, dan rak mainan, semua serba baru dan serba merah muda. Tentu saja Amira sangat senang dengan kamar barunya yang tadi malam sudah ia tiduri bersama dengan ibunya.Mau makan apa, tinggal bilang pada dua orang pelayan. Mau pergi ke mana, tinggal bilang sama Pak Samsul, maka dengan senang hati Pak Samsul mengantar Ami dan Amira berkeliling dengan mobil mahal milik Tuan Wijaya. Ya, meskipun Ami tidak diizinkan untuk bepergian jauh, jika tidak dengan dirinya.Seperti sore ini, Amira diajak berkeliling dengan mobil yang bisa terbuka cap atasnya. Mirip seperti mobil yam
Emir sudah berada di dalam kereta api menuju Surabaya. Ya, malam ini, ia memutuskan pulang ke Surabaya, karena harus segera mengurus perceraiannya dengan Farah. Bagaiamana bisa? Bukannya Farah hamil? Pertanyaan itu terus yang berputar di kepalanya. Hingga ia bertemu dengan salah seorang ustadz di masjid rumah Suraya. Ia menanyakan perihal talak saat istri hamil. Maka hukumnya sah, karena istri dalam keadaan suci. Hanya untuk menyelesaikan semua berkas secara negara, maka sebaiknya ditunggu sampai dengan masa nifasnya selesai.Tekad Emir sudah bulat, ia takkan ragu untuk menceraikan Farah. Besok pagi, begitu sampai di rumahnya, ia akan merapikan semua barang dari rumah yang ia beli bersama Farah. Biarlah rumah itu menjadi milik Farah saja. Ia tidak mau tinggal di atap yang berisikan kenangan bersama Farah.Amira bagaimana? Setelah semuanya selesai, Emir akan kembali mencari Amira dan Ami. Pasti ia akan menemukan keduanya.Drrt
Prrang"Amira!" Ami berlari menghampiri Amira yang tanpa sengaja menjatuhkan gelas minumnya."Diam di situ, Mira! Nanti terkena pecahan kacanya!" Bik Astri yang kaget dengan suara benda pecah, bergegas ke dapur untuk mengambil sapu dan serokan sampah."Biar saya, Non. Neng Amira, jangan bergerak ya. Biar Bibik sapu dulu," ujar Bik Astri pada Amira. Gadis kecil itu mengangguk, sekaligus takut. Air mata sudah mengalir di pipinya."Sudah sayang, sudah selesai. Ayo, sama Ibu sini!" Ami mengulurkan tangannya untuk menggapai Amira yang masih terdiam karena takut. Belum pernah sekalipun Amira terlepas memegang gelas atau pun piring."Amira kenapa? Licin ya tangannya?" tanya Ami lemah lembut. Amira sudah duduk di pangkuannya, sambil mengusap air mata."Ibu, Mila inet Papa Emil. Kenapa kita didak ke kantol Papa, Bu?" tanya Amira lagi diiringi isakan. Gadis kecil itu begitu merindukan Emir, begitu juga deng