Selamat Membaca"Tidaaak! Tidaaak! Pergii!" teriak Farah histeris saat melihat kakek tua di depannya sudah melucuti satu per satu pakaiannya, menyisakan pakaian dalam saja. Farah memejamkan matanya kuat, sangat jijik melihat lelaki tua yang kini perlahan jalan ke arahnya. Kakinya ia hentak-hentakan kuat, agar kakek tua tidak mendekat padanya.
"Jika Kakek mendekat, maka akan aku tendang burung mati Kakek!"Tentu saja Tuan Wijaya tergelak, hingga suaranya melengking tinggi. Tubuh tuanya bergetar karena merasa geli dengan ocehan wanita muda di depannya. Karena benda yang baru saja disebutkan Farah, malah sudah terbangun dengan gagahnya di balik segitiga pengamannya."Kamu, jika dalam rumah tangga hanya untuk mencari kepuasan batin saja, maka sampai kamu tua, gak bakalan kamu menemukannya!" Tuan Wijaya mendorong kening Farah dengan kuat, hingga membuat Farah membuka mata dengan tatapan penuh amarah.Tuan Wijaya mundSelamat Membaca."Ada apa? Siapa tamunya?" tanya papa Farah pada Bik Surti."D-dari kepolisian, Pak. Katanya membawa surat penangkapan untuk Non Farah.""Apa?!"Bu Sinta dan suaminya berjalan dengan tergesa menuju ruang tamu. Dengan dada berdebar, kedua orang tua Farah menghampiri petugas kepolisian yang sudah duduk di ruang tamu."Iya, Pak. Saya ayah dari Farah. Ada yang bisa kami bantu?" tanya Pak Faisal. Ia dan istrinya ikut duduk di depan ketiga lelaki berbadan tegap."Kami bawa surat penangkapan untuk Mbak Farah.""T-tapi, apa tuduhannya, Pak?" wajah Pak Faisal memucat, begitu juga Bu Sinta."Silakan nanti mendengar penjelasannya di kantor saja ya.""Farah sudah tiga hari tidak pulang, Pak.""Ke mana?""Katanya ke rumah temannya.""Oke, baik. Kami akan bantu cari. Permisi!"Sepeninggal ketiga petugas itu, Bu
Emir, Amira, dan juga Ami berpisah di bandara. Jika Emir kembali ke rumah Suraya terlebih dahulu, baru nanti malam mereka semua ke rumah Tuan Wijaya. Sedangkan Ami, Pak Samsul, dan Bik Astri pulang ke rumah Tuan Wijaya. Tadiannya, Emir bersikeras untuk langsung ke rumah Tuan Wijaya, tetapi dilarang oleh Bu Farida, karena mereka belum menyiapkan apa-apa untuk Aminarsih.Saat ini, status Ami memang sebagai janda beranak satu, tetapi Bu Farida tetap ingin memperlakukan Ami, layaknya anak perawan, yang dilamar baik-baik dengan membawa banyak buah tangan. Amira pun tadi sempat menangis karena berpisah dari Emir, tetapi setelah dibujuk Ami, bahwa Emir harus membeli kue dulu untuk bertemu Uyut Wijaya, barulah Amira mengerti dan berhenti menangis."Bye Papa, janan lupa bawa kuweh yang bancak ya," kata Amira sambil melambaikan tangan pada Emir yang sudah duduk di mobil yang disediakan oleh Tuan Wijaya untuk mengantar Emir dan Bu Farida ke rumah Suraya."Bye A
Ami sudah duduk di samping Tuan Wijaya, yang kini tengah memangku Amira. Dadanya berdegub kencang, saat Emir dan juga keluarganya tak henti menatap ke arahnya, mungkin tanpa berkedip. Ami hanya bisa menunduk malu, saat Emir lagi-lagi berdeham, maksud hati, agar Emir dapat melihat aura elok nan mempesona milik calon istrinya, namun apalah daya, Ami terus saja menunduk, sambil memainkan jari-jemarinya."Eehm ...." Emir kembali berdeham. Bu Farida dan Suraya terkikik geli melihat kelakuan Emir yang bagai bocah SMA sedang di mabuk cinta."Jadi, apa kiranya maksud kedatangan Ibu dan keluarga ke rumah saya?" tanya Tuan Wijaya sambil menyunggingkan senyum untuk calon besannya."Saya boleh membacakan sebuah puisi, Tuan?""Oh, tentu saja boleh. Silakan." Tuan Wijaya mempersilakan Emir melakukan apa yang barusan ia katakan.Emir mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Bu Farida dan Suraya saling pandang. Kapan Emir membuat puisi? D
Pasti lagi pada nungguin yang mau malam pertama yaak?? Ha ha ha hayy****Setelah acara memakaikan cincin dan mengecup kening sang istri. Dilanjutkan dengan acara sungkeman. Tuan Wijaya dan Bu Farida sudah duduk di kursi ukir yang tadinya disiapkan untuk spot foto lamaran. Emir menggenggam jemari Ami, lalu menuntun Ami untuk berlutut di depan Tuan Wijaya.Amin mencium punggung tangan Tuan Wijaya dengan penuh haru. Bahkan ia tak sanggup menahan air matanya, saat Tuan Wijaya mengusap kepalanya dengan penuh sayang dan kelembutan. Punggung Tuan Wijaya basah oleh air mata Ami yang tak kunjung mengangkat wajahnya."Sudah, Ami. Nanti tangan saya bisa kena kutu air, kalau kamu banjirin air mata," ujar Tuan Wijaya dengan maksud berseloroh. Ami mengangkat wajahnya yang sembab dan mata berkabut,"terimakasih, Opa. Ami minta restu Opa," lirihnya begitu pelan dan dalam, seakan Tuan Wijaya adalah orang tuanya sendi
TokTok"Sayang, ini bajunya," ujar Emir sambil senyam-senyum berdebar.Cleek"Makasih, Mas," ujar Ami sambil mengeluarkan tangannya saja dari balik pintu kamar mandi, untuk menerima baju yang dibawakan Emir. Lelaki itu mendorong pelan pintu kamar mandi, namun ditahan oleh Ami dari dalam. Emir mengeluarkan tenaganya lebih kuat, namun bisa ditahan oleh Ami."Sayang, kok ditahan?" Emir sedikit heran. Kenapa tenaga Ami begitu kuat? Istrinya bukan wonder womankan? Kenapa tenaganya tak bisa menggeser pintu kamar mandi walau sedikit. Seperti ditahan oleh beton."Saya ganti baju dulu ya, Mas. Sabar ya, Sayang," ujar Ami membuat Emir meleleh, apalagi ada kata sayang yang diucapkan Ami barusan."Jangan lama-lama, nanti saya keburu pules," ujar Emir dengan seringainya berjalan ke arah ranjang."Maas, kok bajunya yang ini?" rengek Ami saat menyadari bukan piyama atau daster yang diba
TokTok"Mirr! Ami!"Ami yang mudah sekali terbangun bila mendengar suara sedikit keras sedikit saja, langsung tersentak. Ia mengucek kedua matanya sambil memastikan suara di balik pintu kamarnya."Mir, Amii!""Mas, bangun! Ada Mama." Ami membangunkan Emir.Lelaki itu masih dalam keadaan setengah sadar, menoleh ke kanan dan ke kiri, mungkin masih bingung saat ini dia tidur di mana."Mas, kenapa? Itu Mama ketuk pintu.""Iya, Ma!" sahut Emir sedikit keras, lalu bergegas membuk pintu."Ada apa, Ma?""Tuan Wijaya pingsan.""Apa?!" belum lagi selesai sang mama bercerita, Ami dan Emir langsung turun ke lantai satu, menuju kamar Tuan Wijaya. Keduanya menghambur masuk ke dalam kamar. Sudah ada Pak Samsul dan seorang pria setengah baya tengah memeriksa Tuan Wijaya."Bagaimana Opa saya, Dok?" tanya Ami dengan begitu khawatir
Selamat Membaca"Kamu kenal sama lelaki yang bersama Annisa tadi?" tanya Iqbal pada Ami. Lelaki itu begitu penasarannya, karena memang Ica dan suaminya Alex, dua bulan belakangan ini jarang terlihat berkunjung ke rumah mertuanya. Informasi itu dia dengar dari keluarga Anton, sepupunya."Kamal namanya, Mas. Lelaki baik dan suka menolong seperti Mas Emir," sahut Ami sambil melirik suaminya yang berwajah masam. Masa ada yang sama seperti dia sih? Kamal pula!"Kok mukanya aneh gitu, Pa?" ledek Ami tertawa kecil saat Emir membuang pandangan tidak mau melihat istrinya dan juga mama dan iparnya."Suami kamu cemburu, kamu memuji lelaki lain di depan suami sendiri," jawab Bu Farida cukup serius. Ami merasa jadi tidak enak hati, ia merasa bersalah pada mertua dan suaminya."Maafin saya, Mas, Mama. Jika sudah salah bicara," lirih Ami dengan mata berkaca-kaca dan suara bergetar."Ish, Emir! Kekanakan sekali
Selamat Membaca.***"Mas, bibirnya kenapa? Melamun kok maju-maju bibirnya?" tanya Ami keheranan dengan tingkah sang suami."Eh, mimpikah?" Emir tersadar. Ia menoleh pada istrinya, tak terjadi apa-apakah? tapi kok, rasanya bagai nyata. Emir terus saja bermonolog. Sedangkan Ami hanya bisa menggelengkan kepala tidak paham."Ayo, mau pulang gak?" tanya Ami kemudian."Papa udah dimaafkan?" tanya Emir lagi, memastikan bahwa ucapan Ami memaafkannya bukan hayalan semata."Iya, Pa. Ibu sudah maafkan. Yuk, kita pulang!" ajak Ami sambil mengusap lengan suaminya sesaat, kemudian matanya kembali fokus pada pemandangan Kamal yang sedang merayu wanita hamil yang bersamanya.Ami ingin berkomentar, tetapi khawatir suaminya cemburu dan salah sangka. Jadi ia lebih memilih berdoa dalam hati, semoga Kamal juga seperti dirinya, mendapat jodoh yang baik.Perjalanan setengah jam terasa panjang, karena