Saat ini Samantha dan Dante sedang duduk di dalam sebuah ruangan khusus bersama dua orang staf yang menjelaskan dengan detail perihal cincin yang direkomendasikan. Samantha tidak tahu jika di dunia ini ada hal-hal semacam ini. Saat Dante menyuruhnya datang ke mari untuk memilih cincin pernikahan, Samantha mengira mereka akan memilihnya di counter depan.
Samantha tahu, Dante adalah pria kaya raya. Tetapi Samantha sama sekali tidak menduga jika pria itu akan begitu totalitas seperti sekarang. Padahal Dante bisa saja memberikan sebuah cincin yang sederhana mengingat pernikahan mereka hanya sebatas kontrak.
“Aku tidak tahu harus memilih cincin yang mana. Bagaimana menurutmu?” Samantha menatap Dante yang duduk di sampingnya.
Semua cincin yang direkomendasikan begitu berkilau. Samantha berani bertaruh jika cincin-cincin tersebut memiliki harga yang sangat fantastis. Ia tidak memiliki keberanian untuk memilih.
“Jangan menanyaiku. Jika ada cincin yang kamu suka, langsung katakan saja pada mereka,” sahut Dante kemudian meraih ponsel yang bergetar di sakunya. Ada panggilan telepon dari Jasper, pria itupun segera beranjak untuk menerimanya.
Samantha tersenyum canggung pada staf wanita yang saat ini berlutut di hadapannya. Ada apa dengan semua pelayanan ini? Haruskah mereka berlutut seperti itu sementara Samantha duduk di atas sofa? Membuatnya merasa tidak nyaman saja.
“Uhm, aku akan memilih ini saja.” Samantha menunjuk salah satu cincin yang cukup sederhana di antara cincin lainnya.
“Baik, Nona.” Staf wanita itupun memberikan cincin pilihan Samantha pada rekannya untuk dikemas.
Sementara Dante membayar cincin pernikahan tersebut, Samantha duduk menunggu dengan sabar. Dalam benaknya, gadis itu dibuat tersadar jika dunianya dengan Dante benar-benar berbeda. Melihat Dante mengeluarkan kartu berwarna hitam miliknya untuk membayar, Samantha hanya bisa tersenyum getir.
“Kamu sudah tidak ada pekerjaan lagi, ‘kan? Karena selanjutnya kita akan memilih kue pernikahan.”
Suara bariton Dante lagi-lagi membuat Samantha merinding. Jujur saja, pria dengan suara berat seperti Dante adalah tipe ideal Samantha. Maka dari itu, setiap kali Dante berbicara, Samantha selalu saja hampir teralihkan.
Samantha hanya menggelengkan kepala. Seolah ada sesuatu yang membekap mulutnya hingga tak mampu bersuara. Ia pun segera berdiri menyusul Dante yang lebih dulu melenggang keluar ruangan.
Dua dari tiga hal dalam rencana yang Dante tetapkan untuk melakukannya bersama Samantha sudah selesai dilakukan. Tersisa satu hal lagi hingga Dante benar-benar terbebas dari hal merepotkan itu. Memilih kue pernikahan. Ya! Kue! Satu-satunya makanan yang tidak Dante sukai.
Sekarang mereka sedang dalam perjalanan menuju vendor kue pernikahan yang direkomendasikan Jasper. Well, sebenarnya segala sesuatu tentang pesta pernikahan sudah diatur oleh pria bernama Jasper itu. Dan Dante hanya tinggal mendatangi tempatnya.
“Sebenarnya besok malam aku berencana untuk mengajakmu bertemu orang tuaku dan makan malam bersama.” Dante tiba-tiba membuka suara.
Samantha menoleh ke samping, menatap Dante, namun tidak bersuara sepatah kata pun.
“Aku akan menjemputmu satu jam sebelum makan malam. Jadi, pastikan pekerjaanmu sudah selesai sebelum aku datang menjemput.”
“Aku mengerti, Tuan Adams.” Samantha menyahut lesu. Entah mengapa kepalanya tiba-tiba pusing.
“Berhenti memanggilku Tuan Adams. Mulai sekarang panggil aku Dante. Apa yang akan orang-orang pikirkan saat mendengarmu memanggilku seperti itu.” Dante menggeleng heran. Ditatapnya Samantha yang hanya duduk diam dengan wajah sedikit pucat. “Ada apa denganmu?”
“Entahlah, aku tiba-tiba merasa pusing.” Samantha menyandarkan kepalanya. Lalu sesaat kemudian terdengar suara dari perutnya.
“Sepertinya kamu kelaparan.” Dante menegur suara keroncongan yang berasal dari perut Samantha, sedetik kemudian pria itu memutar balik mobilnya.
Karena Dante tiba-tiba menghubunginya, Samantha jadi tak sempat makan siang. Gadis itu langsung bergegas pergi begitu sesi pemotretan berakhir. Sebenarnya Samantha juga tidak sarapan tadi pagi, maka dari itu ia merasa sangat kelaparan.
Tak berselang lama kemudian Dante membelokkan mobilnya ke sebuah restoran. Ia jelas bukan pria jahat yang akan membiarkan seorang rekannya pingsan karena kelaparan. Sekali lagi, Dante dan Samantha adalah rekan.
“Kurasa tempat ini bukan vendor kue pernikahan,” gumam Samantha saat mobil Dante berhasil terparkir.
“Lekas turun jika kamu tidak ingin benar-benar pingsan karena kelaparan.” Dante membuka pintu mobilnya kemudian keluar dari kendaraan roda empat itu.
Dengan senang hati Samantha mengekori Dante yang berjalan masuk ke dalam restoran. Dante memang membawanya ke dunia yang berbeda. Biasanya Samantha hanya akan mengunjungi tempat yang menjual makanan dengan harga murah untuk makan siang, bukan restoran dengan bangunan serta furniture yang sangat bagus seperti ini.
“Pesanlah sesukamu. Aku yang traktir,” kata Dante saat mereka baru saja duduk.
Samantha terlihat senang. “Terima kasih, Dante!” serunya dengan mata berbinar, tersenyum menatap Dante yang duduk tepat di seberang.
Dante hampir menahan napas saat mendengar Samantha menyerukan namanya sambil tersenyum seperti tadi. Rasanya seperti ia baru saja melihat gadis itu dari sisi yang berbeda. Sejauh ini Samantha banyak diam dan terlihat frustasi. Dante benar-benar tidak menduga jika gadis itu terlihat begitu cantik saat tersenyum.
Samantha masih tak melunturkan senyum di bibirnya saat menyebutkan menu yang ia pilih.
“Aku ingin lobster roll, chicken salad sandwich, blackberry mint cooler, dan …,” Samantha bergumam pelan kemudian beralih menatap Dante, “boleh aku memesan brownie sundae juga, Dante?” tanyanya pada pria itu.
Dante mengangguk pelan. “Ya, sure!” sahutnya kemudian mengunci pandangan pada Samantha yang kembali antusias saat berinteraksi dengan pelayan.
Tanpa Dante sadari jika sekarang kedua matanya tengah berbinar. Semakin lama ia menatap Samantha Rayne, semakin ia terjatuh ke dalam pesona gadis itu. Samantha memiliki senyum yang begitu menawan serta memabukkan, Dante tidak bisa menampik hal tersebut.
“Kamu tidak memesan, Dante?”
Suara lembut Samantha membuyarkan lamunan Dante. Entah mengapa Dante merasa sangat suka saat gadis itu memanggil namanya seperti demikian.
“Tidak. Aku sudah makan siang. Aku akan memesan minuman saja.” Dante pun menyebutkan minuman yang diinginkannya.
“Baik, pesanan kalian sudah dicatat. Mohon menunggu,” kata pelayan kemudian pergi meninggalkan meja Dante dan Samantha.
Dante bergumam pelan dan tiba-tiba salah tingkah sendiri. Pria itu sampai mengerang dalam hati sebab merasa sangat konyol dengan dirinya. ‘Ada apa denganku?’ geramnya dalam hati.
“Uhm, apa—”
“Dante?”
Seorang gadis berambut panjang menghampiri Dante. Gadis itu terlihat terkejut tetapi juga merasa senang dalam satu waktu.
“Senang sekali melihatmu hari ini!” seru gadis berambut panjang kemudian hendak menghamburkan diri memeluk Dante.
“Apa yang kamu lakukan!” ucap Dante tak senang, menangkis gadis yang hendak memeluk dirinya.
“Ayolah, jangan selalu jual mahal.” Gadis berambut panjang berujar dengan suara manja, lalu matanya tak sengaja menangkap keberadaan Samantha. “Siapa gadis ini?”
Samantha tersenyum simpul namun gadis berambut panjang tersebut langsung menanggapinya dengan memutar kedua matanya. Ia sama sekali tak senang melihat Samantha duduk bersama Dante di meja ini.
“Dante, aku tanya siapa gadis yang bersamamu ini?!” Gadis itu terdengar tak sabar dan menuntut jawaban dari Dante.
Dante tersenyum santai. “Karena kamu bersikeras ingin tahu, maka aku akan memberi tahumu. Dia adalah calon istriku, Samantha Rayne.”
Gadis berambut panjang sontak membelalakkan mata. “Apa?! Calon istrimu?!”
Samantha tertegun sementara isi kepalanya berputar seperti roller coaster. Sudah tiga puluh menit ia seperti itu sejak mereka tiba di kediaman. Samantha bahkan tak mengacuhkan Dante yang sedari tadi berbicara kepadanya. Daniele Heien, putri kedua dari keluarga Heien. Begitulah Victoria Heien—ibu kandung Samantha—menyebutkan nama putrinya tersebut ketika mereka berbincang di kediaman Adams. Meski Victoria Heien datang dengan serangkaian bukti lengkap, jujur saja Samantha masih sulit memercayai semua ini. Ia telah hidup sebagai Samantha Rayne selama lebih dari dua puluh tahun. Lalu dalam sekejap ia harus berganti identitas menjadi putri dari keluarga konglomerat. Samantha tidak tahu apakah ia harus merasa senang atau sebaliknya. “Honey, apa kamu bahkan mendengarkanku?” Ini adalah kesekian kalinya Dante melontarkan pertanyaan serupa. Namun lagi-lagi ia masih mendapatkan reaksi yang sama dari istrinya itu. Samantha masih sibuk dengan pikirannya yang kacau balau. Samantha menggigit pel
“Samantha, kemarilah.” Margareth tersenyum begitu manis saat memanggil menantunya itu.Samantha hendak berdiri, tetapi Dante menahan tangannya dengan cukup kuat.“Honey, ada apa?” bisik Samantha pelan. Wanita itu sedikit memajukan wajahnya ke arah Dante dan meminta sang suami agar segera melepaskan genggaman tangannya.Dante mengerjap sebentar kemudian menggelengkan kepala dengan tegas. Detik berikutnya pria itu segera menarik Samantha duduk kembali ke kursinya. Ia sadar sikapnya sekarang sangat tidak sopan, tetapi Dante memiliki alasannya sendiri.“Dante! Jangan bersikap tidak sopan! Biarkan istrimu kemari dan memeluk ibunya!” Margareth sedikit menekankan suaranya. Sungguh ia merasa sangat kesal melihat sikap tidak masuk akal putranya itu.Baik Dante ataupun Samantha, keduanya sontak membuka mata lebar-lebar saat mendengar ucapan Margareth barusan. Terlebih lagi Samantha yang merasa sangat terkejut. Apa maksud ibu mertuanya itu?Di tengah rasa terkejutnya, Dante segera menoleh ke ara
Malam harinya, Dante dan Samantha datang ke kediaman keluarga Adams untuk memenuhi undangan makan malam Margareth. Meski sebenarnya Dante merasa tidak berminat—Dante masih curiga pada sikap ibunya yang berubah secara mendadak. Namun pria itu tidak bisa menolak keinginan Samantha yang tampak antusias ingin datang. "Ayolah, Honey. Jangan pasang wajah seperti itu. Tersenyumlah.” Samantha merengek ketika melihat ekspresi Dante yang terlihat kaku. Dante menghela napas pelan, kemudian berusaha menyunggingkan kedua sudut bibirnya ke atas. Meski jelas sekali Dante tampak terpaksa, tetapi Samantha tidak ingin berargumen. Setidaknya Dante masih bersedia datang dan saat ini pria itu sedang tersenyum. Orang pertama yang menyambut kedatangan mereka tentu saja Jennifer Adams. Wanita berambut pirang itu terlihat antusias dengan menghamburkan diri memeluk Samantha. “Rasanya sepi tidak ada kalian di rumah ini. Bagaimana kehidupan pernikahan di kediaman sendiri? Pasti sangat menyenangkan, bukan? Kal
Setelah sepakat untuk memulai kembali hubungan mereka, satu minggu kemudian Dante lantas mengajak Samantha untuk keluar dari kediaman keluarga Adams. Keduanya pindah ke griya tawang yang Dante beli beberapa bulan lalu. Tidak ada yang ingin Dante lakukan selain ingin terus bersama dan menghabiskan waktunya dengan istrinya yang cantik itu. Sebenarnya Dante ingin langsung mengajak Samantha pindah ke griya tawang setelah ia membelinya. Namun ada beberapa ketidakyakinan tersirat di dalam hatinya kala itu. Tetapi kali ini Dante sangat yakin untuk melakukannya dan ia bersumpah tidak akan melepaskan Samantha dari hidupnya. Saat ini Dante masih terlelap di atas tempat tidur mereka yang berukuran king size itu. Dan ketika sinar mentari yang memaksa masuk di celah jendela tak sengaja mengenai kelopak matanya, Dante menggeliat sebentar lalu membuka mata. Ditengoknya ke samping kiri dan ia tidak menemukan Samantha di sana. “Honey …,” seru Dante dengan suara parau. “Hey, di mana kamu?” Karena ti
Dante memutuskan untuk mengantar Samantha pulang ke kediamannya alih-alih mengajak gadis itu ke kediaman keluarga Adams. Satu alasan yang Dante pikirkan adalah karena ingin Samantha menenangkan diri dan beristirahat dengan nyaman tanpa ada yang menganggu. Hingga saat ini gadis itu masih tampak syok dan begitu sedih karena insiden penculikan yang didalangi oleh sahabatnya sendiri.Samantha tak banyak berbicara. Dante juga tak banyak melontarkan pertanyaan pada gadis itu. Sekarang keduanya sedang berpelukan di atas ranjang dengan berbalutkan keheningan.“Aku tidak mengerti mengapa Jere melakukan hal semacam itu. Untuk apa dia menculikku?” Samantha keheranan. Keheningan yang semula membalut ruangan tersebut langsung pecah ketika pertanyaan tersebut terlontar dari mulut gadis itu.Dante meneguk saliva dengan sedikit payah. Sejujurnya Dante sudah mengetahui jika keluarga Sinclair telah jatuh bangkrut. Dan alasan Jeremiah menculik Samantha adalah karena pria itu memerlukan banyak uang.Dant
Dante tiba di Panti Asuhan Mida empat jam setelah menerima informasi lokasi dari Jeremiah. Seperti yang pria itu inginkan, Dante datang seorang diri dengan membawa dua buah tas berukuran besar. Dante berjalan sambil mengamati area sekitar, kewaspadaan memenuhi diri pria itu.“Cih! Dasar berengsek. Dia pasti memilih tempat ini setelah menyurvei berkali-kali,” geram Dante.Lokasi yang dipilih Jeremiah sangat jauh dari keramaian. Dante bahkan harus menyetir selama berjam-jam agar tiba di tempat ini. Panti asuhan ini seperti bangunan terbengkalai yang sudah lama ditinggalkan, tidak akan ada yang datang menolong meski seseorang berteriak dengan lantang di tempat ini.Dante terus berjalan hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah bangunan tempat Samantha disandera. Dengan kemarahan yang berkobar di dalam dirinya, Dante menendang pintu di depannya itu dan bergegas masuk ke dalam.“Samantha!” teriak pria itu ketika melihat wanita pujaannya tepat di depan mata.Tepat di depannya, Samantha duduk