Happy Reading*****Berdua dengan Adik sahabatnya membuat Ridwan salah tingkah. Dia yang sudah sejak lama memendam rasa pada si gadis masih belum mampu untuk mengungkapkan. Alih-alih mengambil keputusan untuk melamar, melakukan pendekatan saja masih belum dia lakukan. Olivia tidak pernah melihat keberadaannya selama ini selain sebagai sahabat Ilyas. Lihat saja sekarang, meskipun tatapan Ridwan tak pernah lepas pada dirinya. Namun, si bungsu masih tetap asyik dengan buku yang dia baca, tak terusik sedikitpun. Ridwan menghela napas. Pelan dia mengambil kaleng biskuit kesukaannya, tetapi saat tahu isi dari benda bulat itu, sahabat Ilyas langsung menutup kembali."Hati-hati saat memilih, banyak tipuan dalam hidup," ujar Olivia masih dengan fokus pada buku yang dia baca. "Tapi aku yakin pilihan hatiku tak akan pernah salah, walau dia masih belum mampu menatap dan mengerti kehadiranku saat ini." Ridwan dengan santai menjawab. Tangannya berpindah mengambil risoles yang sudah dibuatkan oran
Happy Reading*****"Maaf, ini siapa?" tulis Nafeeza pada nomor tak dikenal yang menelepon. Selesai dengan segala aktifitas dan kewajiban kepada Sang Khalik, gadis itu membuka gawainya dan melihat ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal. Profil yang digunakan belum mampu mengidentifikasi siapa pemilik sebenarnya, hanya foto tulisan dalam bahasa arab. Jika dibaca lebih teliti ternyata selawat nariyah. Nafeeza mencoba mengingat-ingat, sesekali dia juga melihat beberapa kontak sahabat-sahabatnya. Namun nihil, semua nomor ponsel mereka sudah tersimpan di memori benda canggih itu. Beberapa menit dia menunggu, berharap seseorang itu menghubunginya kembali. Namun, hingga azan isya memanggil si penelepon belum ada tanda-tanda akan membalas atau menelepon. Pemilik lesung pipi sebelah kanan itu akhirnya memutuskan untuk melaksanakan salat terlebih dahulu. Jika memang penting, pasti orang itu akan meneleponnya kembali. Begitulah pikiran Nafeeza. Kepentingan akhirat harus di
Happy Reading*****Sepeninggal ibunya, Ilyas mulai merenungi apa yang perempuan setengah baya itu katakan. Bahwa keadaannya sekarang adalah kecemburuan yang tak beralasan. Siapa dia hingga bisa mengadili perbuatan seseorang yang dirinya sendiri tak tahu.Banyak nasihat yang diberikan Aliyah sebagai bahan renungan bagi si sulung. Ilyas kembali merebahkan dirinya, mengambil ponsel dan mencari foto Nafeeza bersama lelaki yang tak diketahui itu siapa. Pikirannya mulai mencerna setiap kata dari ibunya. "Bukan tak boleh mencintai seseorang, tapi tempatkanlah rasa itu dengan benar. Sebagai insan Abang nggak bisa memilih kapan jatuh cinta dan kapan menolak rasa itu. Jadi, saat rasa itu menyerang jaga baik-baik, ekspresikan dengan benar serta tempatkan dia sesuai porsinya. Jangan sekali-kali melanggar batas aturan yang telah dibuat oleh-Nya." Jari-jemari ibunya mengusap lembut pada kedua bahu Ilyas."Abang belum tahu, Bu. Apa memang benar ini cinta?" sangkalnya tadi. Perempuan yang tak lagi
Happy Reading*****Tiga hari sudah Ilyas mengikuti seminar bersama Nafeeza dan selama waktu itu pula mereka sering kali adu argumen tentang banyak hal. Sekalipun, ujung-ujungnya gadis berhijab itu yang mengalah. Namun, tanpa mereka sadari bunga-bunga di hati masing-masing kian bermekaran. Tatapan pemuda dengan kemeja biru muda itu semakin tajam tatkala lelaki yang tak dikenalnya menggandeng tangan Nafeeza. Seolah tak rela sang gadis tersentuh siapa pun, dia berjalam mendekat. "Kamu pulang bareng aku 'kan, Naf?" tanya Ilyas. Merasa terpanggil, si gadis menengok. "Hari ini aku pulang sama dia, Bang. Makasih ya tumpangannya selama ini." Nafeeza mengatupkan kedua tangannya ke depan. Wajah kecewa serta tak rela jelas sekali terlihat pada diri Ilyas dan hal itu tertangkap indera lelaki di depannya. Kedua alis dan dagu seseorang yang kini menjadi alasan kekecewaannya mengarah pada Nafeeza. Dia mencoba mengatakan sesuatu dengan bahasa tubuh dan beberapa kode kepada gadis berjilbab itu. "
Happy Reading*****Tak henti-hentinya Ilyas mengembuskan napas panjang. Sepanjang perjalanan ke rumah senyum itu tak pernah lepas dari wajah. Entah apa nama yang bersarang di hatinya kini, yang jelas dia sangat bahagia. Sampai ponselnya nyaring berbunyi pun dia tak menghiraukan. Beberapa kali benda mati itu berdering, tetapi si empunya belum mau mengangkat. Lampu merah sebagai penanda bahwa semua pengendara harus berhenti membuat Ilyas sadar jika ponselnya terus berbunyi. Satu nama terlihat di layar, seseorang yang selalu menjadi panutan dalam hidupnya. Cepat dia meraih benda pipih persegi berwarna hitam itu. "Assalamualaikum. Nggeh, Yah," tanya Ilyas. Jawaban dari seberang membuatnya membelokkan arah kendaraan menuju kantor sang Ayah. "Sebentar lagi sudah sampai, Yah.""Ayah tunggu, jangan lama-lama. Kasihan bundamu, Bang." Setelah ucapan salam sebagai penutup percakapan terucap, pemuda itu menjalankan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Tiba di kantor sang Ayah, si sulung sege
Happy Reading*****"Mukanya biasa aja," ucap seorang pemuda di dalam mobil. "Mas, itu ngeselin dari dulu." Olivia membuka pintu mobil, kaki kanannya sudah menginjak tanah. Namun, pegangan dari pemuda itu mampu mengentikan langkah si bungsu. "Apalagi, sih, Mas. Katanya dah telat." "Mas, janji kalau proyek ini berhasil apa pun yang Adik mau tak turuti." Kedua tangannya mengatup, meminta maaf pada Olivia. "Oke ... oke, tapi janjinya nggak boleh ingkar kayak yang sudah-sudah," kata gadis bergamis maroon dengan kerudung berwarna senada, jari telunjuknya yang diacungkan ke wajah sang pemuda seolah menegaskan."Insya Allah, cantik. Senyum dong!" Pemuda itu mengayunkan tangan kanannya, mengingatkan si bungsu untuk mencium."Lupa, Mas. Hati-hati, nggeh. Semoga berhasil proyeknya," ucap Olivia tulus pada Alfi Fauzi, saudara lelakinya. Kecupan penuh kasih sayang Alfi berikan pada gadis yang selalu dianggap masih kecil oleh keluarganya, meskipun kini dia sudah dewasa. Bagi Haidar sekeluarga,