"Jika kamu tak terima, silahkan cari lelaki lain sebagai suamimu!" teriak Mas Tedy.
Aku menatap tajam ke arah Mas Tedy, suamiku. Tak menyangka ia yang terkenal alim dan rajin meminta istrinya untuk mencari lelaki lain untuk bisa mencukupi kebutuhan. Suami macam apa dia? "Sekali lagi kamu ngomong kayak gitu, aku akan benar-benar pergi dari sini, Mas. Tapi, jangan harap kubawa anak-anak. Biar kamu tahu rasanya mengurus dan mencukupi kebutuhan dua anak," ucapku dengan tegas. Aku berlalu masuk ke dalam rumah meninggalkan Mas Tedy yang masih duduk di teras. Aku sangat geram dibuatnya, ia selalu mengucapkan hal itu. Mencari pria lain? Memangnya aku ini istri siapa? Lidahnya seperti ada paku yang terlempar menusuk relung hatiku. "Ya udah sana cari aja lelaki lain yang bisa ngasih tiga juta perbulan, yang bisa nyukupin kamu," balas Mas Tedy sangat santai dan seperti tak ada beban, membuatku semakin geram. Ia selalu mengucapkan kalimat itu, entah sudah berapa kali tak terhitung. Setiap aku mengeluh dengan yang yang diberikan dan meminta tambahan. Keesokan pagi, Mas Tedy sudah bersiap untuk pergi ke kebun milik Bapakku. Ia akan memanen jagung manis. Aku akan menyusul setelah selesai mengurusi kedua putraku yang hendak sekolah. Pertama mengantar Arshaka, putra sulungku yang sudah duduk di bangku kelas enam SD. Setelah itu, mengantar putri bungsuku, Kayla, yang masih sekolah di taman kanak-kanak. Selesai mengantar barulah menyusul Mas Tedy ke kebun. Selain Mas Tedy, ada tiga orang lainnya yang membantu memanen jagung. Mereka akan di beri Ibu upah setelah menyelesaikan pekerjaannya. "Anak-anak udah pada berangkat sekolah, Li?" tanya Mamakku. "Sampun, Mak," jawabku. "Sarapan dulu sini, nanti baru bantu-bantu," ajak Mamak. "Enggeh, yang lain sampun sarapan, Mak??" tanyaku. "Sudah semua tadi pagi," balas Mamak sembari memasukkan jagung-jagung yang sudah di pisahkan dari pohonnya. Aku sarapan sendiri karena yang lain sudah sarapan sejak pagi. Setelah itu, aku membantu memasukkan jagung manis ke dalam karung besar yang nantinya akan di timbang oleh pembeli. Mas Tedy dan para pekerja mengambil jagung. Mereka mengumpulkan setiap jagung yang dipetik kemudian Ibu, Bapak dan aku memasukkannya ke dalam karung. "Nanti yang mangkiran kamu bawa pulang, Li, kasih juga untuk tetanggamu," ucap Bapak. Bapak memang tau jika putri sulungnya hidup pas-pasan, bahkan tetanggaku yang sering memberikan sesuatu kepada keluargaku. "Mereka pada mau kan, enggak nolak? Soalnya yang bagus di jual, di sana kan enggak ada yang nanam jagung," imbuh Bapak. "Maulah, Pak, meski mangkiran, tapi juga masih bagus-bagus kok apalagi gratis," balasku. Jagung sudah masuk karung semua, tinggal menunggu pembeli yang sebentar lagi datang. Matahari mulai condong, aku berpamitan untuk pulang lebih dulu karena waktunya menjemput Kayla Selang beberapa saat setelah aku sampai rumah, Mas Tedy pulang dengan membawa empat karung jagung mangkiran. Jagung mangkiran biasa di sebut jagung BS-an. "Banyak banget bawanya, Mas, memang bisa habis?" tanyaku. "Buat makan ayam," jawabnya yang membuat hatiku dongkol. Enak saja jagung manis pemberian Bapak diberikan untuk Ayam. Daripada pikiranku pusing lebih baik aku mandi dan setelah itu masak untuk makan siang. "Hallo, lagi dimana? Kesini ada jagung manis satu karung." "Iya, Mbahnya panen." Aku mendengar dari kamar mandi percakapan Mas Tedy. Aku sudah bisa menebak kalau ia sedang berbicara dengan kakak iparku yang tinggal di kabupaten seberang. Benar saja tak sampai satu jam seorang lelaki bertubuh tinggi, dan perut buncit datang mengendarai motornya dengan senyum sumringah Tetanggaku yang sedang mengupas jagung itu segera pamit pulang, mungkin mereka merasa tak enak karena kedatangan Kakak iparku. Jagung yang masih sisa tiga karung setengah, langsung diangkut Mas Nobi ke atas motornya, setelah itu lelaki buncit itu pulang. "Mas! Kenapa jagungnya kamu berikan sama mas Nobi semua? Tetangga belum di kasih seperti Santi, Siti, dan tetangga dekat rumah lainnya. Emang Bapak berpesan untuk dikasihkan sama Mas Nobi, nggak kan. Lagian bisa-bisanya kamu nggak menyisakan buat anak-anak, padahal anak-anak paling suka sama jagung manis!" teriakku begitu amarah. Pelit dengan anak dan istri tapi dengan Kakaknya sangat royal. Suami macam apa dia, seenak udelnya memperlakukan aku seperti itu. "Terserah aku, yang bawa jagung itu siapa? Aku kan," ucapnya tambah ngeyel. Ingin diraup wajah pelitnya itu. Aku yakin pasti kakak iparku akan pamer di sosmed. Mas Nobi pamer jagung manis jika habis panen jagung dan akan ia bagi-bagikan dengan tetangganya dengan dalih hasil panennya sendiri seperti kejadian yang sebelum-sebelumnya. Semua pekerjaan rumah sudah beres, aku juga sudah selesai melayani pembeli. Iya, aku juga membuka warung kecil-kecilan dari usaha itulah semua kebutuhan kami sehari-hari bisa tercukupi. Mumpung belum ada pembeli yang datang lagi aku merebahkan tubuhku sebentar sembari mengecek Hp-ku, ada sebuah notifikasi masuk. Sebuah postingan Mas Nobi yang lewat di beranda facebookku. "JAGUNG MANIS HASIL PANEN DARI TANAH GUNUNG." Berani sekali dia mengaku-ngaku panen sendiri. Kebunnya aja di anggurin, sok rajin, belagu menjadi orang kaya. Padahal garap kebunnya sendiri aja malas. Aku membaca komen di bawahnya. "Panen banyak, Nob." "Alhamdulillah banyak sekali, Bro." Balasan dari mas Nobi. "Aku minta, Dhe." "Sini, Nduk, tak kasih. Ini sebagian udah ku bagikan sama tetangga kalau kamu nggak kesini nggak Uman lho." Mas Nobi membalas komentar lain. "Kapan nanamnya, kok tiba-tiba udah panen?" "Lho gue gitu, saat nanem nggak ada yang tahu, tapi tiba-tiba udah penen aja. Hebat kan gue." Balas mas Nobi lagi. "Panenannya siapa, Nob?" "Panen gue sendiri, Ndri." Balas Mas Nobi lagi dan masih banyak komentar dan balasan yang lainnya. "Mas Tedy, kamu ambil jagung yang kau berikan kepada Mas Nobi. Aku enggak ikhlas," ucapku dengan intonasi yang tinggi karena terlalu geram. "Apa-apaan sih kamu? Sudah ngasih masa diambil lagi," ucap Mas Tedy. "Ambil sekarang, atau aku akan meninggalkan rumah ini. Lebih baik tinggal dengan kedua orang tuaku yang lebih menghargai dari pada dengan suami pelit sepertimu!" teriakku sambil bertolak pinggang, aku sudah sangat geram dibuatnya.Matahari sore itu memancarkan sinar keemasan, memantul indah di permukaan danau yang tenang. Lia, Heri, Shaka, Kayla, dan Sofyan sedang menikmati liburan mereka di sebuah vila di pinggir danau yang asri. Suara tawa anak-anak menggema, menyatu dengan suara alam yang damai. Kayla dan Shaka sedang bermain di dekat dermaga kayu, sementara Sofyan yang kini sudah berusia 22 bulan, berlari-lari kecil di taman rumput, tawa cerianya membuat suasana semakin hangat.Lia duduk di bangku taman, memperhatikan Sofyan yang mencoba mengejar kupu-kupu kecil. "Dia semakin besar dan lincah ya, Bang," ucap Lia sambil tersenyum penuh kebahagiaan.Heri, yang berdiri di dekatnya, mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sofyan tumbuh begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih digendong, sekarang sudah bisa lari-lari seperti ini," jawabnya sambil mendekat dan mememeluk pinggang Lia. "Kita benar-benar diberkahi dengan keluarga yang bahagia."Lia mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa
Dua hari di kampung halaman saatnya Lia dan keluarga kembali ke Jakarta. Mereka tak bisa berlama-lama meninggalkan Sofyan bersama orang lain. Mereka berpamitan dengan suka duka, apalagi Nur yang merengek ingin ikut terus."Shaka, aku pengen ikut! Kamu di kampung aja, keenakan di kota terus lupa sama desa!" gerutu Nur."Ayo dong kalau mau ikut, memangnya Bulik enggak sekolah?" tanya Shaka."Nah itu halangannya."Mereka semua tertawa dengan tingkah Nur yang seperti anak kecil."Dadah, Bulik, kamu enggak boleh ikut. Weeee," teriak Kayla melambaikan tangan dari dalam mobil sambil menjulurkan lidahnya. "Kayla, awas kamu ya. Pokoknya aku mau kuliah di jakarta, nyusulin kamu!" balas Nur sambil berteriak juga."Hati-hati ya, Nduk, Le," ucap Pak Bambang dan Mak Isna."Enggeh, Pak, Mamak," balas Lia dan Heri secara bersamaan.Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil berlalu meninggalkan pekarang rumah Pak Bamba
Perjalanan yang biasanya di tempuh tujuh jam, kini lima jam telah sampai.Mobil Heri yang dikendarai Pak Supri berhenti perlahan di halaman rumah Mak Sarmi, diikuti mobil ambulans yang parkir tepat di belakangnya. Mak Sarmi keluar dari rumah dengan ekspresi bingung saat kedatangan dua kendaraan yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Heri keluar dari dalam mobil dan di susul oleh Pak Supri, Lia, Shaka dan Kayla. Mak Sarmi semakin terkejut saat melihat kedatangan mantan menantu dan kedua cucunya secara tiba-tiba."Lia? Shaka, Kayla? Kamu kesini....." ucap Mak Sarmi menggantung seakan-akan ia tak percaya dengan kedatangan orang-orang yang dulu selalu ia remehkan.Mak Sarmi bahkan sempat pangkling menatap Lia, ia baru menyadari saat melihat Shaka dan Kayla. "Sayang, Salim dulu sama Mbah Uti," titah Lia setelah dirinya selesai menyalami mantan ibu mertuanya. Shaka dan Kayla pun patuh.Petugas ambul
Mobil Heri akhirnya berhenti di halaman rumah mereka. Lampu-lampu di luar rumah menyala terang, seolah menjadi satu-satunya tanda kehangatan di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikiran mereka. Lia dan Heri keluar dari mobil dengan tubuh yang masih bergetar, terutama Lia, yang merasa seolah napasnya belum benar-benar kembali normal."Alhamdulillah, kita selamat," gumam Lia pelan sambil menutup pintu mobil dengan tangan gemetar. Dia menatap Heri dengan mata penuh kecemasan. Wajahnya masih pucat setelah kejadian mencekam yang baru saja mereka alami.Heri diam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. “Ya Allah, tadi itu... aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kalau saja kita terlambat sedikit, untung saja Pak Supri sangat sigap...” ucapnya, suaranya serak.Lia mengangguk, lalu menatap rumah mereka. “Aku... aku masih merasa ada yang tidak beres. Tadi itu bukan hanya kecelakaan biasa, Bang.. ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Hari mulai beranjak sore ketika Lia dan Heri keluar dari restoran menuju mobil, mereka baru saja mengahadiri sebuah undangan kerja sama. Langit sedikit mendung, dan suasana di dalam mobil terasa tenang. Namun, di sudut lain kota, di sebuah jalan raya dekat lampu merah, Tedy sedang menunggu dengan sabar di bawah pohon pinggir jalan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Marni. Pohon bringin yang besar itu sifatnya sangat kuat dan membuat kota terlihat hijau, serta akarnya yang kuat mampu menahan erosi tanah."Jangan khawatir, Ted. Jin yang kuberi tugas akan memastikan Heri celaka. Kamu hanya tinggal menunggu," bisik Mbah Marni melalui sambungan telepon yang sudah disiapkan sejak tadi.Tedy menatap jam di HP-nya. “Saya sudah tidak sabar, Mbah. Lia harus segera jadi milik saya lagi.”Di sisi lain, di dalam mobil Heri, Pak Supri, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Keningnya berkerut dan sesekali ia menengok ke kaca spion, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.Lia, yang dud
Lia tak menghiraukan Tedy, ia segera membuka vidio itu. Di mulai dari ruang depan. Tak lupa Heri juga ikut menonton, Excel, pak Budi dan beberapa karyawan sebisa mungkin ikut mengintip saat mereka berdua mengamati vidio tersebut mereka justru dibuat kaget. Bagaimana tidak, dalam rekaman itu tidak kelihatan seorang wanita, hanya terlihat Tedy yang sedang mendesah dan bergoyang sendirian di ruang tamu. Vidionya terlihat menjijikkan sebab Tedy tak memakai sehelai benang apapun. Mereka berdua menonton sampai selesai tiga vidio itu, namun hanya terlihat Tedy sendirian yang seperti prang kesurupan atau mabuk. Sangat jelas vidio itu tak ada siapapun kecuali Tedy sendirian. Setelah selesai menonton vidio tersebut Heri langsung merebutnya dari tangan sang istri dan melemparnya ke arah Tedy, "Sudah nuduh-nuduh enggak jelas ternyata vidio orang stres lagi birahi. Lihat saja sendiri vidio itu sampai selesai, apa kamu enggak merasa malu! Dasar laki-laki berkelainan bikin orang jijik aja!"Menden