LOGIN"Kamu yakin ingin mengakhirinya seperti ini?" suara berat Nathan, sang kapten pilot, terdengar tenang, tapi matanya menyimpan pergolakan. Rachel menatapnya tanpa ragu. "Aku sudah cukup lelah, Nathan. Aku ingin kebebasan, bukan sekadar menjadi istri seorang kapten yang lebih mencintai langit dibanding rumahnya sendiri." Nathan menghela napas, menatap wanita yang pernah menjadi dunianya. "Jadi ini keputusan akhirnya?" Rachel tersenyum tipis, lalu meletakkan surat cerai di meja. "Kecuali kamu punya alasan kuat untuk menahanku." Nathan menggenggam dokumen itu, jemarinya sedikit gemetar. "Dan jika aku berkata aku masih mencintaimu?" Rachel tersenyum pahit. "Cinta saja tidak cukup, Kapten. Kamu sangat tau, apa yang aku inginkan." #fb : indriani_sonaris
View MoreHujan rintik-rintik menyelimuti landasan bandara ketika Nathan melangkah keluar dari kokpit. Seragam kapten pilotnya masih rapi, tapi matanya menyiratkan kelelahan. Dia baru saja menyelesaikan penerbangan belasan jam.
Di tengah lorong kedatangan, Rachel berdiri dengan mantel cokelatnya yang elegan. Tangan kanannya menggenggam amplop putih, dan tatapannya tak lagi lembut seperti dulu.
"Kita harus bicara." Suaranya datar, tapi cukup menusuk.
Nathan mengusap tengkuknya, menatap wanita yang pernah ia panggil rumah. "Kamu memilih waktu yang sempurna seperti biasa."
Rachel tersenyum tipis, sinis. "Aku tidak sabar, kalau hanya menunggumu di rumah."
Nathan mendekat, menyadari amplop itu—dokumen perceraian. Matanya menyipit. "Jadi, kamu benar-benar ingin mengakhiri semuanya?"
Rachel menyerahkan amplop itu dengan tangan yang mantap. "Kamu selalu lebih mencintai terbang dibanding aku, Nathan. Kurasa, aku tidak bisa memakluminya lagi.
Nathan menatapnya dalam-dalam, mencari sesuatu di mata Rachel, seperti keraguan, perasaan, atau harapan kecil bahwa Rachel akan berubah pikiran. Tapi dia hanya menemukan kepastian dalam sorot mata istrinya.
"Rachel…"
Rachel menarik napas panjang, menahan detak jantungnya yang tak beraturan. "Ayo bercerai, Kapten."
Nathan menatap amplop itu tanpa menyentuhnya. Hujan di luar semakin deras, menambah kesan dingin yang menggantung di antara mereka.
"Kamu yakin ini yang kamu mau?" suaranya lebih lembut, nyaris berbisik.
Rachel mengangkat dagunya. "Aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku lelah, Nathan. Aku lelah menunggumu pulang hanya untuk melihatmu bersiap pergi lagi."
Nathan mengembuskan napas panjang. "Kamu tahu pekerjaanku bukan sesuatu yang bisa kutinggalkan begitu saja."
Rachel tertawa kecil, getir. "Dan aku juga bukan seseorang yang bisa terus menunggu tanpa kepastian."
Nathan mengusap wajahnya, mencoba meredam perasaan yang bergejolak. "Jadi, ini tentang kepastian? Rachel, aku mencintaimu. Itu tak pernah berubah."
Rachel menggigit bibirnya, lalu menggeleng. "Cinta itu indah, Nathan, tapi aku butuh lebih dari itu. Aku butuh seseorang yang hadir, bukan hanya seseorang yang sesekali pulang untuk kemudian pergi lagi. Jujur saja, lima tahun pernikahan kita, aku hanya mendapatkan kehampaan dan kesepian yang tak berujung," ucap Rachel dengan tatapan mata yang berkaca-kaca.
Sunyi menggantung di antara mereka. Di luar, pesawat-pesawat terus lepas landas, menciptakan kebisingan yang ironis, persis seperti hidup mereka. Nathan yang selalu terbang, dan Rachel yang selalu tinggal.
Nathan akhirnya mengambil amplop itu. Jemarinya terasa berat saat membukanya. Matanya menyapu isi dokumen, sebelum akhirnya menatap Rachel lagi.
"Kalau aku memintamu untuk mempertimbangkannya lagi… apa itu sia-sia?"
Rachel tersenyum, tapi kali ini ada luka di dalamnya. "Jika kamu bisa memberiku satu alasan untuk bertahan, Nathan… dan mungkin aku akan mempertimbangkannya."
"Apa alasan karena aku mencintaimu, tidak cukup?" tanya Nathan.
Rachel tersenyum pahit di sana. "Kamu sangat tau apa yang aku inginkan, Nathan."
Nathan terdiam. Kata-kata menggantung di tenggorokannya, tapi tak ada yang keluar.
Rachel menghela napas. "Aku mengerti."
Lalu, tanpa menunggu jawaban, dia berbalik pergi, meninggalkan Nathan yang masih berdiri dengan amplop perceraian di tangannya. Rachel menyeka air mata yang luruh membasahi pipinya.
Dia pikir, pernikahan itu akan terasa indah, tapi kenyataannya, hanya rasa sepi dan kehampaan yang terus dia terima hingga saat ini.
Nathan berdiri terpaku di tempatnya, memandangi punggung Rachel yang semakin menjauh. Amplop putih di tangannya terasa lebih berat dari seharusnya, seolah membawa seluruh beban yang selama ini ia abaikan.
Dia ingin berlari, ingin memanggilnya kembali, tapi kakinya seperti tertanam di lantai bandara.
Rachel tak menoleh sedikit pun saat melewati pintu keluar. Mantel cokelatnya berkibar tertiup angin malam, meninggalkan jejak kenangan yang tak bisa Nathan hapus begitu saja.
***
“Kamu baik-baik saja?” tanya Nathan menoleh ke arah Rachel saat mobil sudah berhenti di sebuah parkiran basemen. Rachel masih diam menatap lurus ke depan, wajahnya sudah seputih dinding dan kedua tangannya mengepal di atas pangkuannya. Melihat itu, Nathan mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Rachel, sampai akhirnya dia tersadar dari lamunannya. “Eh?” Rachel menoleh ke arah Nathan dengan sorot mata yang tidak fokus. “Aku di sini. Aku selalu bersamamu, Sayang. Tidak akan terjadi apa pun, percayalah,” ujar Nathan menguatkan Rachel. Rachel berusaha tersenyum walau sulit. Terlihat matanya berkaca-kaca, dan bibirnya bergetar seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata yang terucap di sana. “Mau turun sekarang?” tanya Nathan lagi dengan lembut. “Aku-“ Rachel bergumam lirih. “Takut.” “Kamu tidak perlu takut apapun, aku akan melindungimu,” ucap Nathan tersenyum sambil merapikan anak rambut Rachel
Nathan terpaku melihat hasil laporan yang baru saja diberikan oleh dokter Maya. Kertas itu terasa berat di tangannya, seolah angka-angka yang tertera di sana mampu mengguncang seluruh isi dadanya.Depresi: 40 – Sangat BeratKecemasan: 39 – Sangat BeratStres: 32 – BeratLidahnya kelu. Matanya membaca ulang angka-angka itu, berharap ada kesalahan cetak, berharap bahwa semua ini tidak benar. Tapi kenyataan menamparnya telak. Istrinya… perempuan yang selama ini ia peluk setiap malam, yang ia yakinkan akan baik-baik saja, ternyata menyimpan luka yang begitu dalam, jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan.“Apa... ini sudah lama, Dok?” tanyanya dengan suara nyaris tak terdengar, nyaris berbisik.Dokter Maya mengangguk pelan, menatap Nathan dengan penuh empati. “Rachel sudah mengalami gangguan ini sejak lama, mungkin sejak awal trauma itu terjadi. Tapi seperti yang tadi dia ceritakan, semuanya memburuk lagi sejak pelaku dibebaskan. Itu menjadi pemicu utama yang mengguncang kestabilan emosiny
Langit tampak mendung saat mobil hitam milik Nathan melaju perlahan memasuki area parkir rumah sakit. Rachel duduk di sampingnya dengan wajah muram, kedua tangannya bertaut di atas pangkuan. Meski tubuhnya tampak tenang, dalam hati ia merasa bergemuruh. Hari ini adalah hari di mana ia akan kembali bertemu dengan seorang dokter spesialis kejiwaan.Nathan melirik sekilas ke arah istrinya sebelum mematikan mesin mobil. “Kita sudah sampai, Sayang,” ucapnya lembut, tangan kirinya terulur menyentuh punggung tangan Rachel, memberikan kekuatan dalam diam.“Ya...”“Kamu baik-baik saja?” tanya Nathan memastikan Rachel tidak tertekan.Rachel menoleh ke arah suaminya dengan senyuman kecilnya. “Ya, aku baik-baik saja.”“Syukurlah. Tenang saja, aku akan terus mendampingimu,” ujar Nathan dengan lembut.Rachel mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu mobil dan menjejakkan kaki di pelataran rumah sakit.Langkah mereka perlahan menyusuri koridor demi koridor, diiringi aroma khas
“Pagi, Sayang.” Nathan menyapa Rachel dengan senyum lebar dan merekah. Rachel tersenyum manis di sana. Pria itu sedang berdiri di area dapur dengan celemek terpasang di tubuhnya. Cukup lama Rachel memandangi suaminya itu yang menyambutnya dengan senyuman hangat di sana. Wanita itu berjalan perlahan mendekati Nathan. Saat Rachel sudah berdiri di hadapannya, Nathan menyentuh rambut Rachel. “Masih basah? Kamu tidak mengeringkannya?” tanya Nathan. Bukannya menjawab, Rachel malah memeluk tubuh Nathan, menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya dengan Nathan. “Kenapa?” tanya Nathan. Sekali lagi Rachel tidak menjawab, wanita itu semakin erat memeluk Nathan. Dan hal yang membuat Nathan yakin ada yang tidak beres adalah cara Rachel meremas ujung kaos milik Nathan. Wanita itu seperti sedang gelisah, walau Nathan sendiri tidak tahu apa yang membuatnya segelisah itu. Nathan mengusap lembut kepala belakang dan pung












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews