Bram menghabiskan malam di club, kerlap-kerlip lampu dalam ruangan gelap memberikan kesan ceria walau tidak dengan hatinya. Dentum musik yang kuat mengalihkan perasaan Bram yang kini telah kalut. Dia masih mengira kalau Naila berselingkuh, sama seperti mantan kekasihnya.
Satu gelas minuman beralkohol larut membasahi kerongkongannya yang haus karena luapan emosi yang mendalam. Gelas demi gelas alkohol kini telah menguasai tubuh dan pikirannya. Bram kini sudah tidak sadarkan diri, bahkan ketika club hendak tutup, Bram masih sulit untuk meninggalkan tempat itu, walaupun beberapa kali pelayan di sana telah menyuruhnya pulang.
"Rese banget sih, ni orang!" keluh salah satu pelayan club.
"Sabar, dia memang sering seperti ini. Kita coba tunggu saja dulu sambil menunggu waktu tutup club," ujar pelayan yang sudah mengetahui kebiasaan Bram.
Mereka tidak berani kasar terhadap Bram, karena lelaki in
Timbul kecemasan pada Naila karena hingga jam sebelas siang, suaminya belum juga pulang. Dia mulai menghubungi Bram tapi sayang ponselnya tidak aktif. Gadis itu mulai membuka lemari untuk mengambil baju ganti. Tiba-tiba saja Naila mendengar deru mesin mobil yang memasuki halaman rumah yang luas dengan rumput yang hijau. Wanita itu berlari ke arah jendela, dia melihat kalau suaminya sudah sampai di rumah. Dengan perasaan senang, gadis itu meraih cincin yang ada dalam sebuah kotak merah, kemudian berlari untuk menemui Bram. "Om Bram?" sapa Naila dengan senyum manis dan binar mata bahagia. "Kenapa kamu?" tanya Bram ketus. "Mari, kita makan, Om. Pasti Om Bram belum sarapan, kan?" Naila masih bersikap manis walau Bram masih ketus dan sombong. Lelaki itu pun berjalan berdampingan denga
Bel rumah berbunyi.Asisten rumah tangganya pun segera berlari ke pintu depan. Di rumah sepi, hanya ada asisten rumah tangga Bram. Sedangkan Naila dan sopir pribadinya sudah berangkat setengah jam yang lalu untuk menemui Bram.Pintu terbuka.Mata asisten rumah tangga itu membulat, seperti terhipnotis dirinya hanya mematung dan untuk mengucap satu kata pun bibirnya terasa kelu."Bibi kenapa?" ujar Bram sambil melambaikan tangan tepat di depan wajah asisten rumah tangganya."Tu-tuan Bram?" katanya dengan nada terbata."Iya, ini saya, Bram. Bibi kenapa, sih? Seperti melihat setan saja," ujar Bram yang merasa heran ketika melihat asistennya."Bu-bukannya Tu-Tuan Bram Kecela-kaan?" kata yang semakin terbata terucap dari bibir pembantunya."Wh
"Halo Pak, saya ingin membuat laporan. Tolong tangkap orang ini yang sudah melakukan penganiayaan dan percobaan pemerkosaan terhadap istri saya. Posisi kami ada di Jalan Kenanga nomor 30," ujar Bram dalam sambungan ponselnya. Ponsel itu kemudian ditutup dan Bram meletakkan ponselnya di meja, tepatnya ada di samping Naila. Bram mengusap lembut pucuk kepala sang istri, yang ada dalam pikirannya saat ini adalah menyesal. Menyesal karena dia tidak mempercayai ucapan dari istrinya, dia terlalu percaya dengan apa yang dilihat oleh matanya. Naila masih terdiam, Bram menggendong tubuh gadis itu kemudian memasukannya dalam mobil. Cukup lama Bram menunggu pihak polisi datang. Hingga akhirnya satu mobil bersirine lengkap dengan beberapa lelaki berpakaian gagah keluar dari mobil. "Siang, Pak. Apa Bapak yang tadi mengisi laporan dalam sambungan telepon?" ujar salah seorang dari mobil bers
"Makasih, ya, Dit?" ujar Naila pada Radit di depan gerbang rumahnya."Iya, sama-sama," jawabnya dengan seulas senyum. "Masuk, gih. Katanya sudah tidak sabar ingin memberitahu raport pada Ayahmu," titahnya sembari mengacak pelan rambut Naila.Naila tersenyum."Baiklah." Naila membalikan badan."Nai!" Radit memanggil."Apa?" jawabnya tanpa menoleh."Sini, lihat aku dulu," pinta Radit.Naila pun menoleh."Aku sayang kamu, Nai. Bye!"Radit melesat dengan sepeda motornya. Hal itu yang membuat Naila tersenyum karena itu sudah menjadi kebiasaan radit mengutarakan perasaannya pada Naila dan hal itu juga yang membuat Naila tersenyum. Sepele memang, hanya dengan bersikap seperti itu teta
Pagi itu, Naila bangun lebih awal kemudian sarapan bersama Rudi dan Riyanti. Keduanya sudah terlihat rapi, entah hendak ke mana. Padahal, Rudi libur bekerja.Menikmati sarapan bersama walau dalam hati Naila sesak jika mengingat akan perjodohannya dengan lelaki yang berusia cukup jauh di atasnya dan lagi tidak pernah bertemu sebelumnya."Ayah mau ke mana?" tanya Naila ketika Rudi dan Riyanti bangkit dari kursi. Padahal, Naila baru saja duduk di sana."Kami ada perlu, Sayang," jawab Riyanti dengan penuh perhatian yang membuat Rudi sedikit heran.Lagi-lagi, aku hanya ditinggal sendiri,batin Naila mengeluh kesal."Baik-baik di rumah, ya, Sayang." Riyanti mencium pucuk kepala Naila."Tapi, Tante. Nai mau keluar rumah, sudah ada janji dengan teman." Naila beralasan."Oh, ya su
Rudi pulang dengan amarah meluap-luap. Ia masih sakit hati atas perlakuan Bram padanya tanpa bisa membalas. Sakit.Tangannya masih mengepal, bahkan sesekali ia pukulkan pada jok mobil."Ah, sialan!" pekiknya dengan raut wajah memerah penuh emosi.Sopirnya hanya diam, ia lebih fokus pada kendali setir walau sesekali melihat majikannya dari kaca spion dalam. Tak dimungkiri ada perasaan ingin tahu kenapa saat ini sang majikan bisa semarah itu."Kita ke rumah atau ke kantor, Tuan?" tanyanya walau sedikit ragu karena masih ada waktu setengah jam di kantor tersebut."Langsung pulang saja!" ketusnya."Baik."Tidak ada lagi percakapan dalam mobil hanya terlihat kekakuan atara sopir dengan majikannya. Roda mobil terus berputar, hingga akhirnya telah sampai di halaman yang luas dan rumah yang berdi
Wajah dan rambut Naila terlihat basah oleh air hujan. Andri menatap lekat wajah cantik bahkan terlihat seksi. Wajah tirus, kulit putih, bibir tipis merah muda dan hidung yang mancung, menurutnya sempurna untuk seorang wanita.Ah, kalau saja dia itu pacarku, batin Andri yang semakin terpesona."Kamu liatin apa?" Tiba-tiba saja suara Naila menyadarkan Andri."Eh, nggak ada. Maaf." Andri terlihat malau ketika kepergok oleh Naila.Naila tersenyum.Senyumnya sungguh manis, ya Tuhan, tolong,jerit hati Andri yang semakin terpesona."Makasih, ya, Kak.""Untuk apa?""Kakak sudah melindungiku dari hujan oleh payung yang Kakak bawa.""Oh, gak papa. Nai, kita belum berkenalan," ujar Andri sembari mengulurkan tangan. "A
Siang itu Bram pulang membawa serta sang istri. Dalam rumah yang besar itu, ia hanya tinggal bersama satu pembantu, security dan sopir pribadi. Nuansa putih terasa ketika memasuki rumah megah nan mewah yang berdiri kokoh di antara bangunan sederhana. Rumah Bram merupakan rumah yang paling mewah di sana.Tangan Naila ditarik menuju kamar, Naila yang tampak cantik membuat Bram begitu tergoda. Sungguh, ia tergila-gila pada kemolekan tubuh wanita cantik yang masih tertutup oleh kebaya, gadis cantik itu kini telah menjadi istrinya.Bruk!Naila didorong ke tempat tidur yang berukuran king size. Tubuh molek itu ambruk di ranjang yang dibalut oleh sprei berwarna putih. Bram pun membuka jas serta melonggarkan dasi yang ia kenakan."Om, Om mau apa?" tanya Naila dengan bibir bergetar dan mata yang mulai berkacaBram tidak menjawab, ia mendekati tubuh istrinya