Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Terima kasih. ______Rasa penasaran akhirnya membawaku jadi sedikit nekat demi Farid tetap ada di sisiku. Pengakuan Siska yang hamil, tidak sepenuhnya aku percaya. Mobil kuarahkan ke rumah mama mertua, pingin tau apa mama sudah dapat kabar dari Siska? "Assalamualaikum, Ma?" Sapaku seraya membuka pintu ruang tamu. "Waalikumsalam, Nis, masuk sayang. Kok tumben kamu ke sini, habis dari pasar?" Mama menunjuk ke plastik kresek belanjaanku. "Iya. Ma, Nisa mau ngobrol sama Mama." Mama mengangguk, kuletakkan belanjaan di dapur, setelah cuci tangan aku dan mama duduk di kursi makan. "Ma, apa Mama tau Siska hamil?" Langsung saja aku tanyakan. "Nggak. Emang dia hamil?!" pekik mama. Aku mengangguk. "Dia kasih tau kamu?" tanya mama lagi. Aku mengangguk lagi. "Tapi Nisa nggak yakin, Ma, takutnya itu akal-akalan dia aja. Nisa udah tau cerita Farid mau ceraikan Siska dulu, diam-diam gugurin kandungan. Kalau sekarang tiba-tiba dia hamil, rasanya aneh, Ma."Mam
Awalnya aku sempat ragu untuk membahas ini dengan anak-anak, tetapi karena Siska sudah memulainya, tak baik jika anak-anak tau bukan dari mulutku. Nazwa tau aku menutupi rasa kecewa kepada papanya karena tadi Farid memutuskan untuk sementara bersama Siska yang ‘mengaku hamil’. Posisiku akan salah jika melarang Farid, akan ramai kedepannya karena semua akan terbongkar cepat dan aku yakin akan kalah. Tidak mau aku menjadi yang kalah dipermainan ini. Suamiku laki-laki biasa dan normal, jadi aku yakin dia akan tergoda oleh kemolekan tubuh Siska apalagi ia istri pertamanya sebelum aku. Kebohongan pasti untuk menjaga perasaanku saja. “Nazwa, Arin, duduk sini. Mama mau jelasin semuanya,” perintahku dengan bernada lembut ke mereka yang baru selesai salat magrib. Kedua putriku duduk berhadapan denganku di lantai beralaskan karpet, di ruang TV. Keduanya masih memakai mukena. TV aku matikan, hanya deru AC ruangan yang sengaja kunyalakan supaya sejuk karena bahasan kami akan terasa panas. Bismi
“T-tapi, kita satu mobil, itu nggak boleh,” tolakku sedikit terbata-bata. Ya karena memang aneh saja, tidak boleh satu mobil dengan yang bukan memiliki hubungan sah. Ilham mengangguk, dari wajahnya terlihat bingung. Akhirnya aku berikan beberapa uang lima puluh ribu. “Pakai ini aja, kembalikan ke saya gampang, bisa kapan aja.” Aku memberikan uang ke arahnya, ia menerima dengan wajah meringis. “Maaf, jadi repotin kamu. Saya malu jadinya,” tuturnya yang memang terlihat jika ia malu menerima uang yang kupinjamkan. “Nggak masalah. Kalau itu, saya duluan, ya, Ham. Assalamualaikum,” jawabku seraya masuk ke dalam mobil. “Waalaikumsalam, hati-hati, Nisa,” balasnya lembut yang masih bisa aku dengar karena belum menutup pintu. Aku menghidupkan mesin mobil, kemudian menginjak pedal gas, perlahan aku meninggalkan area parkir tapi sempat melihat Ilham dari spion tengah. Seketika kubuang napas panjang, bagus aku masih bisa jaga diri, bisa saja bahaya karena satu mobil dengan pria yang bukan pasa
Tampaknya memang ini sudah menjadi secercah harapan bagiku. Saat aku langsung menceritakan kepada kedua mertuaku, mereka memiliki ide yang membuatku bisa terlihat ‘jahat’. “Nisa tenang aja, ya, kita cari tau bersama. Mama juga mau bilang ke kamu, adik-adik Mama, Kakak dan adik Papa mereka sudah tau kalau Farid punya kamu sebagai istri keduanya. Mereka awalnya marah dan kecewa karena kenapa baru diberitahu, tapi kami jelaskan semuanya. Ya, walau jadinya seperti menjatuhkan anak sendiri, tetapi memang Farid salah. Kami terima.” “Lalu, apa respon keluarga setelah tau, Ma?” “Mereka mau ketemu kamu, Nisa.” Jawaban mama mertuaku langsung membuatku berdebar tak karuan. Rasanya seperti terjun bebas dari ketinggian.
Aku bisa melihat raut wajah Siska yang begitu marah, tetapi ia tahan. Sambil tersenyum menatap suamiku yang sangat aku rindukan, aku menyapa Siska juga, sekedar basa basi tentunya. Jika Siska bisa bermain taktik, aku juga. Namun, bukan untuk hal jahat, aku mau suamiku tau jika di sini aku yang pantas ia pertahankan. Farid mulai keringat dingin, ia panik karena ditatap tak ramah oleh keluarga lainnya. Kami semua berkumpul di ruang tamu. Kedua mertuaku duduk di sofa, aku di bawah beralaskan karpet, anak-anak diungsikan ke lantai atas lagi karena pembahasan sepertinya rumit. “Kenapa kamu harus tutupi, Rid?” tegur Tante Iin, sejak awal ia yang terlihat menyambutku dengan begitu terbuka. “Farid hanya tidak mau semua keluarga melihat buruk ke Nisa karena–”“Tapi yang bohong, kan, kamu. Om yakin kalau Nisa tau kamu sudah menikahi Siska juga nggak akan mau didekati kamu. Kamu yang salah dan patut disalahkan.” Om Asep menegur marah suamiku. Aku hanya bisa diam sembari sesekali menghela napa
Kering sudah air mata kami, Farid mengajakku istirahat. Benar-benar tidur dengan ia yang terus memelukku. Rencana tinggal rencana, apa daya jika nyatanya Farid lebih memilih istri pertamanya. Inilah ruginya menjadi yang kedua walaupun keluarga lelaki yang meminang lebih sayang denganku. Sebelum tidur, kami membahas beberapa hal penting. Farid berkata jika asuransi pendidikan anak-anak sudah aman hingga Nazwa kuliah dan Arin SMA, ia juga bilang jika KPR rumah sudah hampir lunas, karena kemarin sempat mendapat proyek audit perusahaan besar dan fee yang dibayarkan untuknya cukup untuk mempercepat cicilan rumah. “Siska tidak meminta uangmu, Rid?” “ Tidak, dia punya uang sendiri.” “Kamu kenapa memilih dia, bukannya kamu bilang lebih mencintaiku?” Farid mengusap punggungku, kami bicara sambil merebahkan tubuh saling berhadapan di atas ranjang. “Dia hamil dan itu yang aku inginkan sejak dulu. Aku memang tidak bisa tegas menjadi laki-laki, aku akui aku bodoh dan salah.” “Bagaimanapun, di
Aku kembali ke Farid dan anak-anak, mereka sedang mengantre di kasir membayar belanjaan. “Hai,” sapaku sumringah. Tak sungkan aku memeluk suamiku dari belakang, kemesraan kami terlihat seperti berlebihan karena beberapa orang melihat langsung ke arah kami,tapi ya sudah, aku biarkan. Aku hanya ingin memeluk Farid saat itu juga, menyalurkan perasaan seolah berkata ‘Lupakan masa lalumu dengan siska dan apapun kesalahan yang kalian perbuat. Tinggalkan dia, Farid’, andai bisa aku ucapkan secara langsung, ia pasti akan paham jika aku ikhlas menerima masa lalunya. Kami pulang sudah larut malam, Farid mengajak kami jalan-jalan juga, keliling Jakarta yang membuat anak-anak begitu semakin senang. Lampu-lampu gedung bertingkat, Monas yang menyala terang, membuat aku ikut menebar senyuman yang membuat Farid juga tampak lepas tertawa bersamaku saat kami berbincang tentang Nazwa yang tumbuh semakin cantik. Sempat juga kami membeli es krim legendaris yang ada tak jauh dari masjid istiqlal. Tangank
Selesai membersihkan area masjid, aku dan Farid pulang kembali ke rumah dengan berjalan kaki. Wajahnya masih tampak menunjukkan tak suka dengan Ilham, apalagi setelah kalimat yang diucapkan tadi. “Kamu kenapa?” tanyaku pura-pura tak tau. “Tidak apa-apa, Nis.” Walaupun menjawab, tapi aku tau ia tak baik-baik saja. Kami bertemu ustadzah Tyas dan Ilham yang baru tiba di depan rumahnya. Ustadzah menyapa kami, aku tersenyum sedangkan Farid kulihat ia hanya mengangguk sekali lalu memalingkan wajah. “Farid terima kasih, ya, sudah hadir dan menjadi donatur juga,” tutur ustadzah. “Sama-sama Ustadzah,” jawab Farid lalu merangkul pundakku. Aku menunduk, menjaga pandanganku–tentu saja. Saat berganti baju, Farid mendesah lelah dengan pandangan ke arahku yang mengartikan lain. Aku tau hatinya tak tenang. “Aku rasa Ilham suka sama kamu, Nis,” sungutnya. Tatapan mata suamiku terlihat yakin dengan ucapannya. Aku tersenyum tipis. “Aku serius,” lanjutnya. “Jangan menuduh, tidak ada bukti, k