Hai, maaf lama nggak update. ______ Jodoh, rezeki, bahkan maut, semua Allah yang atur. Manusia hanya bisa berharap dan berdoa supaya semua hal itu baik-baik saja. Aku merenungi masalah rumah tangga kami yang tak tau juntrungannya seperti apa. Rasa cemburu Ilham terhadap sikap mantan suamiku membuatnya hilang akal sehingga mengabaikanku dalam keadaan hamil. Farid sendiri sikapnya menunjukkan jika ia mampu berubah menjadi seseorang yang baru dan baik. Ia mau memperbaiki hubungan kami karena dua anak kandungnya yang sudah gadis pasti ingin melihat orang tuanya akur kembali. Tetapi, ada Ilham yang kini bersamaku walau nyatanya ia terus diam bahkan saat aku memintanya mengajukan gugatan cerai. Hah, aku lelah dengan semua drama yang terjadi. Berada di antara dua lelaki yang mudah meremehkan satu masalah disaat aku terus menata hati dan hidup, rasanya aku memilih hidup sendirian saja. Pikiranku buntu, ditambah memikirkan kondisi bayiku yang masih di NICU. Berapa biaya yang akan habis
Peran istri itu seperti apa?Aku berpikir beberapa waktu, mencoba menelaah apakah aku salah selama ini menjadi istri. Baik saat bersama Farid atau saat ini bersama Ilham.Pandanganku lurus ke arah halaman depan rumah kami. Terlihat juga sinar matahari pagi begitu indah saat memberikan vitamin bagi tanaman di taman kecil yang kumiliki.Menjadi istri banyak sekali yang harus dipelajari bahkan seumur hidup. Jangan merasa menjadi yang paling tau tentang pasangan yang sudah dinikahi. Nyatanya, sifat dan watak seseorang akan berubah seiring berjalannya waktu.Pekerjaan seorang istri pun banyak, apalagi istri yang juga pekerja di kantor. Sudah lelah memikirkan pekerjaan, saat pulang tetap harus memikirkan pekerjaan di rumah yang bayarannya pahala.Pekerjaan gratis yang kadang terasa miris jika mendapatkan pasangan hidup yang membuat jiwa terkikis.Aku menghela napas, saat mengingat semua perjalanan pernikahanku dengan Farid yang aku pikir indah ... nyatanya ada kebohongan yang membuatku hancu
12 tahun menikah dengan suamiku, rasanya luar biasa naik turun melebihi naik roller coaster. Bagaimana tidak, biasa bekerja dan harus urus rumah tangga, begitu jomplang dalam hidupku. Semua diubah, menata satu persatu supaya tepat pada tempatnya tidaklah mudah. Kenapa begini jadinya? Farid dan aku kenal tidak sengaja saat aku sedang bekerja sebagai SPG makanan di salah satu acara besar yang ada di Jakarta. Dia bersama teman-temannya menghampiri untuk membeli produk yang aku jual. Dia tampan, baik dan sopan. Siapa juga yang tidak tertarik dengannya. Sejak perkenalan itu, pendekatan kami semakin gencar, bahkan tak sampai satu tahun akhirnya Farid melamarku. Ya Allah, alhamdulillah akhirnya aku bisa memiliki suami yang baik juga pekerja keras. Ia bekerja di instasi pemerintah. Sudah karyawan tetap dan kami dikaruniai dua orang anak yang cantik. Nazwa dan Arinda, kedua anak kami seperti hadiah yang Allah berikan kepada kami. Namun, namanya berumah tangga, aku yakin tidak hanya aku y
Pintu rumahku di ketuk, setelah pindahan satu minggu lalu aku mulai kenalan dengan para tetangga. Rumah yang kami tempat tak besar, tapi cukup untuk keluarga kecil kami. "Waalaikumsalam, sebentar," kataku buru-buru memakai hijab instan yang selalu ada di gantungan khusus dekat pintu supaya mudah jika buru-buru harus aku gunakan. "Mbak Anisa, ya," kata wanita berparas cantik, kulit putih, dan memakai hijab warna coklat. "Iya, kataku."Ia menyodorkan kotak putih besar ke hadapanku. "Dari Mama, katanya menyambut tetangga baru.""Oh, iya, terima kasih. Rumahnya yang mana, ya?" Aku sebenarnya belum hapal betul. Apalagi repot pindahan dan atur ini itu, hanya baru bisa membagi makanan kotak selametan rumah baru. "Cat hijau itu, Mbak, B1.nomor 3," jawabnya lagi. "Oh, terima kasih sekali lagi, ya.""Iya, Mbak, pulang dulu, ya, Assalamualaikum," pamitnya. "Waalaikumsalam," balasku lagi kemudian menutup pintu. Karena rumahmu model tanpa pagar, jadilah siapa yang datang bisa mengetuk pintu
Tidak bisakah jika semua ini hanya candaan? Sengaja mengerjaiku? Namun, nyatanya ini kenyataan. Semenjak aku tau jika suamiku menjadikanku istri kedua, rasanya duniaku kacau balau. Aku ... yang begitu menaruh harapan akan rumah tangga kami, sikap santun Farid, nyatanya ia lakukan sebagai pelarian yang kala itu sedang bermasalah dengan istri pertamanya. Aku dibohongi, jelas pasti. Pernah aku ajukan cerai, walau masih secara verbal, tapi Farid menolak dengan alasan anak-anak dan ia juga mencintaiku. Apakah bisa satu hati terbagi? Farid bisa melakukannya? "Nazwa, bekalnya, Nak," kataku saat Nazwa siap berangkat sekolah. "Iya, Ma." Ia sibuk menyiapkan buku sekolah, setelah kulihat ia keluar kamar, Nazwa juga membawakan tas sekolah Arinda. "Ma, Kakak minggu ini terakhir naik jemputan?" "Iya, nanti Mama aja yang antar, ya," sahutku lagi. Arinda menyusul keluar kamar. Ia sudah memakai seragam sekolah lengkap. Alhamdulillah, kedua anakku begitu patuh dan tidak neko-neko. Bisa dibilang F
Farid pulang, anak-anak sedang mengerjakan tugas sekolah dengan dibantuku di meja makan. Karena hal itu kebiasaan kami, kadang anak-anak tidak fokus kalau mengerjakan PR di kamar mereka, alasannya 'ngantuk'. Padahal dari yang aku lihat ya anak-anak hanya ingin aku membantunya. "Kak, kamu katanya diminta ikut lomba matematika perwakilan sekolah, beneran?" Sengaja aku bersuara agak keras, supaya Farid yang sedang melepaskan sepatu di teras terdengar. "Assalamualaikum," sapanya. "Waalaikumsalam," jawab kami kompak seraya menoleh ke arah pintu ruang tamu rumah kecil kami, hanya dengan ukuran luas tanah 100m². "Kak Nazwa ikut lomba? Keren anak Papa," pujinya sambil berjalan ke dapur untuk cuci tangan. Setelah mengeringkan tangan, Farid mencium pucuk kepala anak-anak bergantian. Lalu mencium pipi kiriku lama, sangattt ... lama hingga kedua mataku terpeja karena justru merasa nyeri di hati. "Kakak masih mikir, Pa," kata Nazwa. "Kenapa masih mikir?" Farid memeluk bahuku dari belakang sa
Punggung tanganku basah karena derai air mata yang sejak tadi berulang kali kuhapus tapi tetap saja tidak berhenti. Di depanku, Farid hanya tertunduk saat kuceritakan tentang Siska yang tadi datang ke rumah, memberikan syarat untukku jika masih ingin menjalin rumah tangga dengan Farid. "Di sini, kenapa aku yang seolah salah karena sudah merebutmu? Padahal aku yang jelas ditipu olehmu, bukan"? Suaraku bergetar, begitu pelan bicara karena takut anak-anak terbangun dan dengar percakapan kami. “Mereka memang tidak tau dan aku takut jika tau, Siska jadi sasaran kemarahan keluarganya.” Terkejut, aku bahkan sampai memegang dadaku. Sakit terasa. Benar berarti Farid lebih mencintai Siska dari pada aku. “Kamu bisa lepaskan aku,” kataku berani seolah itu keputusan akhir. Farid menggeleng cepat, ia memelukku erat, begitu erat sampi degup jantungnya terasa berdetak cepat. Aku menangis dalam pelukannya lagi. “Aku tidak mau jadi pihak yang disalahkan." “Kamu tidak salah, Nisa, sama sekali tidak
Guyuran hujan tak membuatku mengurungkan niat pergi ke toko bahan kue. Besok Arinda, putri keduaku berulang tahun ke sembilan. Sudah dari jauh hari kuniatkan membuat kue sendiri, ya ... walau bukan ahli baking kue, tapi gak ada salahnya mencoba. Kukibas air hujan yang sedikit membahasi jilbab dan bajuku dengan tangan sebelum masuk ke dalam toko. Mobil sudah terkunci, aku mendorong pintu toko bahan kue yang hampir sebesar minimarket 'maret-maret' itu. "Selamat sore," apa pelayan. "Sore, Mbak," balasku kemudian meraih keranjang belanja warna merah. Catatan bahan kue yang aku butuhkan sudah siap, sejak dari rumah aku catat dengan rinci jangan sampai ada yang terlewat. Satu persatu bahan kue aku masukan ke dalam keranjang, saat berdiri di depan rak aneka bahan pasta, aku mematung. Farid bersama Siska berdiri berjarak dariku dengan wajah berseri-seri. Astaghfirullahaladzim, batinku berucap. Ingin rasanya kaki ini mendekat, tapi tak sanggup melangkah. Farid tampak mesra merangkul Sisk