Istri sebatas harapan

Istri sebatas harapan

Oleh:  Rianievy  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
5 Peringkat
49Bab
4.5KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

12 tahun aku bertahan dalam kesabaran Yang diminta keluarga suamiku terutama mama untuk tidak berpisah dengan Farid, suami yang diam-diam sudah memiliki istri sebelum menikahiku. Apa maksud kebohongannya? Aku harus mencari tau Supaya dengan tegas membuat keputusan. Tidak nyaman menjadi yang kedua, apalagi anak kami keduanya perempuan. Pasti kelak ada rasa benci kepada papanya dan itu yang aku takutkan.

Lihat lebih banyak
Istri sebatas harapan Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
default avatar
Meysa alena
bagus sekali
2024-02-03 03:07:17
0
user avatar
pramudining
update lagi dong, Thor
2023-10-28 16:07:04
0
user avatar
Madan Saza
kok belum update kak di tungguin yaa
2023-07-10 19:09:38
1
user avatar
Yuyun Widayati
di tunggu sambungan cerita nya
2023-07-05 14:59:10
1
user avatar
Yuyun Widayati
di tunggu kelanjutan nya kk
2023-07-05 14:59:45
1
49 Bab
H. 1
12 tahun menikah dengan suamiku, rasanya luar biasa naik turun melebihi naik roller coaster. Bagaimana tidak, biasa bekerja dan harus urus rumah tangga, begitu jomplang dalam hidupku. Semua diubah, menata satu persatu supaya tepat pada tempatnya tidaklah mudah. Kenapa begini jadinya? Farid dan aku kenal tidak sengaja saat aku sedang bekerja sebagai SPG makanan di salah satu acara besar yang ada di Jakarta. Dia bersama teman-temannya menghampiri untuk membeli produk yang aku jual. Dia tampan, baik dan sopan. Siapa juga yang tidak tertarik dengannya. Sejak perkenalan itu, pendekatan kami semakin gencar, bahkan tak sampai satu tahun akhirnya Farid melamarku. Ya Allah, alhamdulillah akhirnya aku bisa memiliki suami yang baik juga pekerja keras. Ia bekerja di instasi pemerintah. Sudah karyawan tetap dan kami dikaruniai dua orang anak yang cantik. Nazwa dan Arinda, kedua anak kami seperti hadiah yang Allah berikan kepada kami. Namun, namanya berumah tangga, aku yakin tidak hanya aku y
Baca selengkapnya
H.2
Pintu rumahku di ketuk, setelah pindahan satu minggu lalu aku mulai kenalan dengan para tetangga. Rumah yang kami tempat tak besar, tapi cukup untuk keluarga kecil kami. "Waalaikumsalam, sebentar," kataku buru-buru memakai hijab instan yang selalu ada di gantungan khusus dekat pintu supaya mudah jika buru-buru harus aku gunakan. "Mbak Anisa, ya," kata wanita berparas cantik, kulit putih, dan memakai hijab warna coklat. "Iya, kataku."Ia menyodorkan kotak putih besar ke hadapanku. "Dari Mama, katanya menyambut tetangga baru.""Oh, iya, terima kasih. Rumahnya yang mana, ya?" Aku sebenarnya belum hapal betul. Apalagi repot pindahan dan atur ini itu, hanya baru bisa membagi makanan kotak selametan rumah baru. "Cat hijau itu, Mbak, B1.nomor 3," jawabnya lagi. "Oh, terima kasih sekali lagi, ya.""Iya, Mbak, pulang dulu, ya, Assalamualaikum," pamitnya. "Waalaikumsalam," balasku lagi kemudian menutup pintu. Karena rumahmu model tanpa pagar, jadilah siapa yang datang bisa mengetuk pintu
Baca selengkapnya
H. 3
Tidak bisakah jika semua ini hanya candaan? Sengaja mengerjaiku? Namun, nyatanya ini kenyataan. Semenjak aku tau jika suamiku menjadikanku istri kedua, rasanya duniaku kacau balau. Aku ... yang begitu menaruh harapan akan rumah tangga kami, sikap santun Farid, nyatanya ia lakukan sebagai pelarian yang kala itu sedang bermasalah dengan istri pertamanya. Aku dibohongi, jelas pasti. Pernah aku ajukan cerai, walau masih secara verbal, tapi Farid menolak dengan alasan anak-anak dan ia juga mencintaiku. Apakah bisa satu hati terbagi? Farid bisa melakukannya? "Nazwa, bekalnya, Nak," kataku saat Nazwa siap berangkat sekolah. "Iya, Ma." Ia sibuk menyiapkan buku sekolah, setelah kulihat ia keluar kamar, Nazwa juga membawakan tas sekolah Arinda. "Ma, Kakak minggu ini terakhir naik jemputan?" "Iya, nanti Mama aja yang antar, ya," sahutku lagi. Arinda menyusul keluar kamar. Ia sudah memakai seragam sekolah lengkap. Alhamdulillah, kedua anakku begitu patuh dan tidak neko-neko. Bisa dibilang F
Baca selengkapnya
H.4
Farid pulang, anak-anak sedang mengerjakan tugas sekolah dengan dibantuku di meja makan. Karena hal itu kebiasaan kami, kadang anak-anak tidak fokus kalau mengerjakan PR di kamar mereka, alasannya 'ngantuk'. Padahal dari yang aku lihat ya anak-anak hanya ingin aku membantunya. "Kak, kamu katanya diminta ikut lomba matematika perwakilan sekolah, beneran?" Sengaja aku bersuara agak keras, supaya Farid yang sedang melepaskan sepatu di teras terdengar. "Assalamualaikum," sapanya. "Waalaikumsalam," jawab kami kompak seraya menoleh ke arah pintu ruang tamu rumah kecil kami, hanya dengan ukuran luas tanah 100m². "Kak Nazwa ikut lomba? Keren anak Papa," pujinya sambil berjalan ke dapur untuk cuci tangan. Setelah mengeringkan tangan, Farid mencium pucuk kepala anak-anak bergantian. Lalu mencium pipi kiriku lama, sangattt ... lama hingga kedua mataku terpeja karena justru merasa nyeri di hati. "Kakak masih mikir, Pa," kata Nazwa. "Kenapa masih mikir?" Farid memeluk bahuku dari belakang sa
Baca selengkapnya
H.5
Punggung tanganku basah karena derai air mata yang sejak tadi berulang kali kuhapus tapi tetap saja tidak berhenti. Di depanku, Farid hanya tertunduk saat kuceritakan tentang Siska yang tadi datang ke rumah, memberikan syarat untukku jika masih ingin menjalin rumah tangga dengan Farid. "Di sini, kenapa aku yang seolah salah karena sudah merebutmu? Padahal aku yang jelas ditipu olehmu, bukan"? Suaraku bergetar, begitu pelan bicara karena takut anak-anak terbangun dan dengar percakapan kami. “Mereka memang tidak tau dan aku takut jika tau, Siska jadi sasaran kemarahan keluarganya.” Terkejut, aku bahkan sampai memegang dadaku. Sakit terasa. Benar berarti Farid lebih mencintai Siska dari pada aku. “Kamu bisa lepaskan aku,” kataku berani seolah itu keputusan akhir. Farid menggeleng cepat, ia memelukku erat, begitu erat sampi degup jantungnya terasa berdetak cepat. Aku menangis dalam pelukannya lagi. “Aku tidak mau jadi pihak yang disalahkan." “Kamu tidak salah, Nisa, sama sekali tidak
Baca selengkapnya
H.6
Guyuran hujan tak membuatku mengurungkan niat pergi ke toko bahan kue. Besok Arinda, putri keduaku berulang tahun ke sembilan. Sudah dari jauh hari kuniatkan membuat kue sendiri, ya ... walau bukan ahli baking kue, tapi gak ada salahnya mencoba. Kukibas air hujan yang sedikit membahasi jilbab dan bajuku dengan tangan sebelum masuk ke dalam toko. Mobil sudah terkunci, aku mendorong pintu toko bahan kue yang hampir sebesar minimarket 'maret-maret' itu. "Selamat sore," apa pelayan. "Sore, Mbak," balasku kemudian meraih keranjang belanja warna merah. Catatan bahan kue yang aku butuhkan sudah siap, sejak dari rumah aku catat dengan rinci jangan sampai ada yang terlewat. Satu persatu bahan kue aku masukan ke dalam keranjang, saat berdiri di depan rak aneka bahan pasta, aku mematung. Farid bersama Siska berdiri berjarak dariku dengan wajah berseri-seri. Astaghfirullahaladzim, batinku berucap. Ingin rasanya kaki ini mendekat, tapi tak sanggup melangkah. Farid tampak mesra merangkul Sisk
Baca selengkapnya
H.7
Tanganku berhenti menghias kue tart saat suara kedua mertuaku terdengar di teras depan rumah. Kuletakkan plastik berisi krim di atas piring, berjalan ke depan menemui mereka. “Waalaikumsalam, Ma, Pa,” balasku sambil membuka pintu ruang tamu. “Wangi kue. Kamu jadi bikin?” Mama mencium kedua pipiku bahkan kening, pun papa, ia bahkan memelukku erat. “Masuk, Ma, Pa,” ajakku. Mereka berjalan masuk, di kedua tangannya membawa tas belanja besar. “Arin mana?” bisik mama. “Lagi ke mini market sama Nazwa, Nisa suruh beli susu kotak. Mama Papa jadi nginep, ‘kan?” Aku membantu membawakan tas milik mama yang isinya baju, lalu aku letakkan di kamar anak-anak. “Ya, jadi, lah. Udah niat. Farid … pulang malam ini, ‘kan? Acara ulang tahun Arinda nanti sore jam empat, ‘kan?” Mama yang cerewet tapi baik, bertanya merepet. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala sambil tersenyum. “Aki! Nini!” teriak anak-anak saat tiba ke rumah. Aku kembali ke dapur untuk melanjutkan menghias kue. Goodie bag seba
Baca selengkapnya
H. 8
“Papa pulang, Nak,” bisik Farid saat tiba di rumah dan langsung masuk ke dalam kamar anak-anak. Kedua sorot mata orang tuanya menunjukkan amarah yang tidak bisa teralihkan. Aku sendiri hanya bisa terdiam sambil berjalan ke dapur untuk melihat bahan masakan untuk hari itu. “Mama sudah masak, Nis, kamu istirahat aja, ya.” Mama mengusap bahuku. “Nisa repotin Mama, jadi Mama yang masak,” kataku tak enak hati. “Nggak apa-apa, Mama masak rawon sama goreng ayam. Tadi Nazwa minta itu.” “Iya, Ma, terima kasih, Ma.” Aku tersenyum begitu penuh syukur mama mertuaku begitu baik bahkan menerima kondisiku sebagai istri kedua anaknya. Mama menarik tanganku, mengajak ke teras depan rumah, kami duduk bersisian. “Nisa, tadi kamu ketemu Siska? Gimana reaksi dia waktu ketemu kamu tadi?” Mama tampaknya sangat penasaran. “Kaget, Ma. Pembantunya yang bukakan pagar, nggak lama Siska dan Farid keluar temuin Nisa. Siska kesal, Nisa nggak tahan sama semua ini dan sepertinya Farid nggak datang kemarin karen
Baca selengkapnya
H. 9
Kami semua pulang, Arinda kembali istirahat di kamarnya. Aku memberinya obat lalu tak lama ia pulas tidur. Nazwa menangis walau sikapnya tenang saat Farid duduk di sisinya, jika aku lihat suamiku sedang menjelaskan keadaan kami. Ya Allah, perih rasaya melihat Nazwa hanya mengangguk mencoba memahami walaupun pasti ingin teriak. “Rid, tolong tegas. Siska nggak bisa berlaku seperti ini ke kamu. Dia harusnya sadar kamu masih mau kasih kesempatan kedua walaupun harus Nisa yang dikorbankan.” Mama mertuaku menatap garang ke Farid. Ia hanya mengusap kasap wajahnya. “Ma, susah. Farid maunya semua akur dan damai, bukan malah seperti ini.” Apa? Akur? Damai? Sadar Farid, kamu bukan sultan yang kaya raya dan bisa menikmati dua wanita walau sah secara bersamaan. Aku kesal menatap suamiku, dengan tekad kuat dan yakin akhirnya aku berani berpendapat. “Kalau begitu, karena kamu tidak bisa bersikap adil. Mulai hari ini aku yang akan bilang ke Siska kalau kamu harus lebih banyak ada dengan kami. Den
Baca selengkapnya
H. 10
Ponsel Farid tidak langsung aku letakkan di atas meja. Aku ingin tau apa yang Farid ceritakan benar adanya tau sekedar supaya aku percaya. Jemariku terus bergerak membaca history chat mereka. Jujur sekali, Farid memang tidak banyak mengetik balasan bahkan bertanya sebagai bentuk perhatian kecil juga sewajarnya. Sama sekali tidak membuat aku cemburu, yang ada aku jadi berpikir, kenapa mereka harus bertahan jika sudah tidak ada percikan rasa cinta. Tetapi memang terlihat Siska yang dominan dan bernafsu banyak bertanya ke Farid. Beralih ke galery foto, kucoba mencari apakah ada foto-foto mereka. Ternyata ada, tapi foto saat mereka pacaran dan awal menikah. Terlihat suamiku bahagia difoto itu, sedikit mulai kurasakan nyeri di hati tapi segera aku tepis karena fokusku bukan itu saja. Kembali aku mencari bukti lain, kini beralih ke laporan transaksi uang Farid. Aku penasaran, apakah suamiku juga menafkahi Siska walau jelas sekali terlihat wanita itu mampu menghidupi diri sendiri. Aku men
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status