"Semua ini salahmu!" tuduh Brian, melirik Luna yang berbaring telentang di sebelahnya."Mengapa jadi menyalahkan aku, jelas-jelas kau yang menarikku," bantah Luna, tidak terima saat Brian masih berusaha menyalahkannya."Tetap saja, kau yang hanya menggunakan handuk sehingga membuat siapa saja yang melihat jadi salah paham." Brian tetap menyalahkan Luna atas kesalahpahaman yang terjadi.Adrian yang melihat kejadian tadi, benar-benar salah paham. Dan mereka tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan, karena Adrian sudah lebih dulu pergi membawa Bintang."Aku sudah akan berpakaian, tapi kau menahanku. Selain itu, kau yang menerobos masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu," ujar Luna menggebu-gebu, tidak terima saat Brian terus memojokkannya."Tetap saja, itu salahmu. Mengapa kau tidak mengunci pintunya." Brian yang memang tidak ingin mengalah, kembali memulai perdebatan, "bagaimana jika orang lain yang membuka pintu, dia bisa saja melakukan hal yang buruk padamu," lanjutnya."Aku tahu
"Mama, kapan Bintang akan memiliki adik?" Luna yang sedang sibuk di dapur cukup terkejut dengan pertanyaan Bintang yang tiba-tiba. "Mengapa Bintang bertanya seperti itu?" tanya balik Luna, menghentikan kegiatannya sejenak."Paman Adrian yang mengatakan pada Bintang, Bintang harus tidur dengan Paman Adrian karena Mama Luna dan Papa sedang membuat adik untuk Bintang," ujar Bintang, membuat Luna tersenyum masam, dalam hati ia melemparkan sumpah serapah pada Adrian.Sekarang Luna jadi bingung, bagaimana menjelaskannya pada Bintang. Sedangkan Luna tidak melakukan apa pun dengan Brian. Mereka hanya sebatas tidur bersama."Bintang, Paman Adrian salah paham. Mama dan Papa tidak membuat adik untuk Bintang, Mama dan Papa hanya sedang mengobrol," jelas Luna, "Bintang bisa bertanya pada Papa Brian untuk memastikannya," lanjutnya."Tapi, Bintang sudah bertanya pada Papa, dan Papa mengatakan iya, Papa juga menyuruh Bintang agar meminta langsung pada Mama Luna. Papa mengatakan, jika Bintang mengingi
"Bintang lelah!" Bintang berbaring di atas karpet, di antara mainannya yang berhamburan.Brian yang duduk di sofa hanya meliriknya sekilas, tidak tertarik. Berbeda dengan Luna yang langsung berpindah mendekati Bintang."Bintang sudah mengantuk ya? Mau tidur sekarang?" tanya Luna, namun Bintang hanya menggeleng menolak. Sekarang bukanlah jam tidur Bintang, jadi Bintang seharusnya belum mengantuk."Tidak, Mama. Bintang belum mengantuk," ujar Bintang, ia segera bangun dan duduk di pangkuan Luna."Atau Bintang mau pindah ke kamar saja? Bermain di kamar bersama Mama." Luna memutar tubuh Bintang agar duduk menghadapnya.Namun, lagi-lagi Bintang hanya menggeleng. Diam-diam ia melirik Brian yang sibuk dengan ponselnya."Bintang hanya lelah melihat Papa dan Mama," ucap Bintang tiba-tiba, menatap Brian dan Luna secara bergantian."Mengapa Papa dan Mama tidak saling berbicara? Papa dan Mama sedang bermusuhan ya?" tanya Bintang, "kata paman Adrian, kita tidak boleh bermusuhan tahu," ucap Bintang l
"Apa kau menungguku?" bisik Brian pelan, memandangi wajah Luna yang sedang tertidur pulas di sofa.Brian baru kembali dari menyegarkan pikirannya, dengan cara menyelesaikan beberapa pekerjaan untuk beberapa hari kedepan. Brian memang tidak langsung pulang ke rumah setelah berkunjung ke apartemen Adrian, saat itu. "Aku tidak tahu, apa yang kau lakukan padaku, hingga aku jadi seperti ini. Kau bahkan tidak bisa hilang dari pikiranku Luna, meski aku sudah berusaha menjauh agar tidak melihatmu." Brian membelai lembut rambut Luna yang menutupi wajahnya."Aku takut, aku tidak ingin memaksamu untuk bertahan di sisiku jika kau tidak ingin. Namun, aku juga tidak bisa jika harus melepaskanmu. Perjanjian itu, aku menyesal membuatnya. Sekarang, tidak bisakah kita melupakan itu?"Brian terus berbicara, mencoba menyampaikan isi pikirannya yang sangat berisik. Karena itu pula, Brian sampai meninggalkan rumah selama dua hari, tanpa berpamitan pada Luna dan juga Bintang.Andai saja Brian tahu, bahwa Lu
"Kau bisa pergi dari rumah ini, setelah aku dan Bintang berangkat ke luar negeri besok," ucap Brian, acuh. Setelah penolakan yang diberikan Luna semalam, membuat harga diri Brian tertoreh. Brian tidak menyangka, bahwa Luna akan mendorong, dan meninggalkannya sendirian.Oleh sebab itu, Brian memutuskan untuk pergi keluar negeri selama beberapa hari. Ia butuh waktu untuk menerima penolakan Luna. Menenangkan pikirannya agar bisa kembali fokus tanpa bayang-bayang Luna."Bagaimana dengan Bintang? Apa kau memberitahukan padanya? Tentang kita," tanya Luna, ia jadi merasa enggan. Ada rasa sesal dalam dirinya, namun ia tidak bisa melewatkan kesempatan ini. Luna harus menepati janjinya, atau ia akan kehilangan segalanya."Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu, cepat atau lambat dia akan tahu. Dan, aku akan mencarikan Mama baru untuknya, kau tenang saja." Brian berlagak sombong, masih tidak terima atas penolakan Luna.'Cih, apa kurangnya aku,' batin Brian.'Aku itu tampan. Ah, bukan lagi seked
"Jawab, Luna!" seru Brian, menatap tajam pada Luna yang hanya menutup rapat mulutnya sembari terus menunduk."Luna!" geram Brian tertahan, ia sedang memupuk sabar untuk menghadapi diamnya Luna. Lagipula, apa sulitnya menjawab pertanyaan singkat Brian."Luna …."Mendengar panggilan Brian yang melunak, Luna memberanikan diri menatap Brian, membuat ia menyadari. Brian tengah menahan amarahnya, rahangnya mengatup keras."Brian, bisa kita bicara di dalam?" ucap Luna dengan gusar sembari menunjuk ke dalam ruang kerja Brian.Meski di lantai teratas gedung ini dikhususkan untuk ruangan Brian, sehingga tidak memungkinkan para pegawai yang bekerja untuk sampai di sana tanpa keperluan yang mendesak. Namun, Luna tetap saja merasa khawatir akan ada yang melihat mereka saat ini."Baiklah, mari bicara di dalam!" Brian menurut atas apa yang dikatakan Luna, mempersilakan Luna untuk masuk ke dalam ruangannya."Sekarang, katakan! Apa maksud dari pesan ini?" tanya Brian, menatap tajam Luna yang berada di
"Luna! Bisa kau bekerja dengan serius! Kau bahkan belum genap sebulan bekerja, tapi sudah membuat banyak masalah!"Telinga Luna terasa berdengung saat mendengar suara bentakan dari seorang wanita paruh baya, pemilik cafe tempat ia bekerja. Rasa pusing di kepalanya semakin menjadi, namun Luna tidak punya pilihan lain selain memaksakan diri untuk tetap bekerja."Maaf," ucap Luna, berusaha menahan rasa pusing yang membuat kepalanya berdenyut nyeri."Kau terus saja meminta maaf, tapi tidak pernah bekerja dengan becus. Jika terus seperti itu, lebih baik kau mencari pekerjaan yang lain. Di sini tidak membutuhkan pekerja yang sering membuat kekacauan sepertimu!" ujar wanita paruh baya tersebut, ia lalu pergi dari hadapan Luna.Setelah kepergian wanita paruh baya itu, Luna segera membersihkan sisa-sisa tepung yang masih berhamburan di lantai. Karena tiba-tiba merasa pusing, Luna tidak sengaja menumpahkannya."Seharusnya kau lebih berhati-hati!" cibir rekan kerja Luna."Kami pulang dulu, jangan
Brian tertegun melihat Luna dari balkon rumahnya. Hujan yang baru saja reda membuat tubuh Luna yang basah kuyup jadi menggigil. Bibirnya begitu pucat, tampak jelas dari pantulan lampu yang menyorot wajahnya.Awalnya Brian tidak begitu peduli, ia sudah tahu alasan mengapa Luna datang ke rumah ini. Brian sudah melihat berita yang beredar. Meski merasa geram, namun Brian belum juga melakukan tindakan apa pun.Pantulan cahaya lampu menyorot wajah Luna yang pucat, membuat Brian segera turun untuk menemuinya. Sisi kemanusiaan Brian masih ada, hingga ia masih meluangkan sedikit waktu untuk menemui Luna."Untuk apa kau datang ke sini?" tegur Brian sembari terus berjalan mendekati Luna yang sudah akan pergi. Keterkejutan Brian bermula saat Luna tiba-tiba berbalik dan menghampirinya, membuat Brian mundur beberapa langkah, berusaha menjaga jarak di antara mereka."Brian, aku membutuhkan bantuanmu," ujar Luna, menatap Brian dengan tatapan memohon, "rekaman video yang sempat aku ceritakan, sekaran