"Zarah, aku bener-bener mengucapkan terima kasih sama kamu. Aku sangat berterima kasih sama kamu dan ayah kamu. Tapi maaf, aku tidak bisa menjadi kekasih kamu. Karena ada masalalu yang belum aku selesaikan. Aku sudah mempunyai calon istri. Aku minta maaf yah," ucap Aldiano memberi pengertian pada Zarah. "Nggak, aku gak mau Rehan. Aku sudah mencintai kamu. Aku udah berusaha melupakan kamu selama ini. Tapi sulit. Aku gak bisa," tangis Zarah semakin keras. Nadine turun dari mobil menghampir Aldino yang masih dalam pelukan Zarah. "Aldiano, lebih baik suruh masuk aja ke dalam. Malu dilihat orang. Silahkan kamu kasih pengertian sama dia." Aldiano melepaskan pelukan Zarah yang semakin erat. "Nggak, Aku nggak mau kehilangan kamu. Tolong nikahin aku Rehan," "Zarah, kita harus bicara di dalam. Jangan seperti ini. Ayo masuk ke dalam mobilku." Akhirnya Zarah masuk ke dalam mobil duduk di samping Nadine. "Ma, ini Tante siapa?" tanya Albert memandang Zarah. "Ini Tante Zarah sayang
Stev tiba-tiba ada di belakang Nadine, entah sejak kapan dia ada disana. Wajahnya berbinar. Bibirnya tersenyum mendengar kedua anaknya saling jatuh cinta."Papa akan mengurus pernikahan kalian secepatnya. Papa bahagia sekali kalau kalian memang sudah saling cinta. Dan Papa juga baru tahu, kalau kalian sudah lama saling kenal."Suara Stev mengagetkan Nadine dan Aldiano. Nadine membalikkan badannya. Wajahnya memerah tanda tersipu."Papa? Papa sejak kapan di sini?""Hahaha, itu gak penting. Yang penting, Papa mau punya cucu dari kamu Nadine. Umur kamu sudah cukup loh. Berilah Papa Mama cucu."Nadine dan Aldiano saling pandang, dan tertawa kecil."Pa, sejak kapan Aldiano mulai bisa mengingat lagi?" tanya Nadine. "Kok aku gak tahu?""Mulai sejak dia melewati masa kritisnya, Aldiano sudah ingat semua. Oh, iya. Dokter Martin mengatakan, pergeseran tulang di kepala Aldiano sudah pulih seperti semula." kata Stev sambil membuka amplop coklat besar, berisi hasil CT scan milik Aldiano.Stev menun
Nadine melangkah masuk ke rumah sakit, sambil menelpon sang ayah. "Halo Nak,! sapa Stev di ujung telpon. "Pa, aku sudah di rumah sakit. Apa Aldiano di ruang yang kemarin?" "Aldiano sudah pindah ke ruang VVIP 1. Silahkan kamu kesana. Ada di lantai satu. Papa sedang ada pasien. Nanti Papa menyusul." "Baik Pa. Maaf, kalau aku mengganggu. Aku kesana sekarang," jawab Nadine melangkah cepat mencari ruang VVIP 1 di lantai 1. Maka langkahnya memasuki lif saat terbuka. Ditekannya angka 1. Hanya beberapa detik, lif terbuka di lantai 1. Ia berjalan keluar lif, mencari-cari ruangan itu. Ternyata mudah ditemukan. Nadine langsung membuka pintu ruangan itu. Di ruangan tengah terdapat ranjang pasien dengan sprei putih dan ranjang yang empuk, juga bantal dan selimut empuk dan nyaman. Di sisi kiri sebuah sofa panjang yang empuk berwarna biru bludru. Di sudut ruangan terdapat meja kecil untuk kopi. Dan vas bunga memberi sentuhan hidup di dalamnya. Cahaya lampu tergantung memancar pada lantai terb
"Baik yang Mulia ... Ijinkan saya untuk bicara," suara Milthon bergetar. Tangannya mengepal. Hatinya bergolak, seolah sedang bergelut dengan batin yang terpendam sejak lama. Hakim menatap pria itu dengan tatapan tajam."Silahkan, setiap peryataan yang anda ungkapkan akan dicatat dalam persidangan hari ini."Milthon menarik nafas dalam. "Saya akui, saya memang bersalah.Sontak saja suara riuh memenuhi ruangan. Bisik-bisik pada pengunjung dan wartawan terdengar menyakitkan bagi Milthon. Bagaimana tidak, seorang pengacara melakukan tindak pidana yang memalukan.Catalina menoleh ke pria itu, lalu diam membeku. Wajahnya memerah. Tak percaya dengan apa yang dikatakan Milthon.Ingatannya ke masa beberapa tahun lalu. Milthon yang di anggapnya teman baik, dan pernah mengungkapkan cinta, tapi Catalina menolaknya dengan tegas.Suara Milton kembali terdengar gemetar. "Saya akui, saya pernah menyukai Catalina. Dan saya pernah mengungkapkan cinta saya kepadanya. Tapi beliau menolak cinta saya denga
"Apa yang aku lihat sekarang adalah seperti mimpi. Tuhan, kalau kau ijinkan aku sekali lagi untuk hidup, aku ingin menikahi wanita yang benar-benar aku cintai," Aldiano memejamkan mata.Tapi setelah mata itu terbuka, ia melihat kedatangan Nadine, memeluk dirinya sambil menangis keras."Pa, Aldiano kenapa Pa? Kenapa bisa jadi gini Pa?" tangisan Nadine menggema di ruangan itu.Irama alat EKG masih tak beraturan. Grafik maju mundur terdengar kacau.Baru tadi pagi Aldiano menceritakan mimpi buruknya, dan rasanya baru saja tangan pria ini memeluk Nadine dengan erat. Tapi sekarang terkulai lemah tak berdaya, hingga di ambang kematian. Nadine tidak bisa terima ini. Dia belum mengungkapkan sesuatu yang penting untuk Aldiano. Air mata menggenang di pipinya. Suara tangisnya terdengar menyayat."Al, maafin aku Al ... Kamu jangan pergi. Aku mencintai kamu Al!" Aku cinta sama kamu! Kamu dengar kan Al, aku cinta sama kamu!" pekik Nadine histeris memeluk erat tubuh Aldiano.Tak ada yang tahu, kalau
Bi Ani teriak melihat Aldiano jatuh pingsan. Dibantu Bi Dina dan seorang security yang baru saja dari kamar mandi. "Aduh, kenapa Tuan muda seperti ini? Ayo cepat tolong dia!" ucap Bi Ani panik. Pak Brata mengangkat tubuh Aldiano, dibantu Bi Ani dan BI Dina. Darko sejak tadi menangis keras, membuat Bi Ani bingung. Setelah berhasil tubuh Aldiano masuk ke mobil, Pak Brata menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aldiano dilarikan ke rumah sakit. BI Ani mencoba menelpon Stev. "Tuan, Tuan. Tuan muda Aldiano pingsan. Sekarang lagi dibawa ke rumah sakit sama Pak Brata." "Kenapa bisa pingsan Bi? Ada apa?" tanya Stev panik. "Saya juga gak tahu Tuan." "Pingsan di mana dia Bi?" "Pingsannya di luar rumah Tuan. Dekat gerbang. Dia mau ajak main Darko keluar rumah. Baru aja sampai pintu gerbang, Tuan muda sudah pingsan Tuan." "Iya, iya Bi. Terima kasih!" Stev langsung mengambil laptop, membuka file CCTV di rumahnya. Kejadian hari ini. Dia mempercepat video itu. Matanya tertumbuk pada s