Bab 34B Jatuh tertimpa tangga"Rev....Revan. Dimana aku?"Ardi terlihat meringis mungkin menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya."Tenanglah, Ar! Kamu habis kecelakaan. Apa kamu ingat mau kemana waktu itu?""Aargh."Ardi merintih sembari memejamkan matanya. Mencoba mengingat kilasan kejadian terakhir yang dialaminya.Semakin dia mencoba mengingat, rasa sakit di kepala semakin menjadi-jadi."Jangan kamu paksakan, Ar!" Revan tak tega melihat Ardi yang tamoak tersiksa.Larangan Revan justru tak diindahkan Ardi. Dia berusaha mengingat dengan paksa, lantas berteriak sekuat tenaga."Ardi, Mel tolong panggilkan dokter!"Melia berlari setelah memencet tombol emergency. Dua hal harus dilakukannya untuk berjaga-jaga barangkali panggilan emergency belum sampai.Benar saja, begitu Melia membuka pintu, seorang berpenampilan dokter menuju ke arahnya."Ada apa lagi dengan pasien?""Tolong diperiksa, Dok. Dia merasa kesakitan di kepalanya!"Dokter segera memberi tindakan pada Ardi selama beberapa meni
Bab 35A Di Ujung Tanduk Pagi-pagi sekali Jessy sudah berada di ruang rawat Ardi. Dilihatnya sosok terbujur dengan selimut menutup tubuhnya itu masih pulas tertidur. Dia menggantikan sementara Revan yang keluar mencari sarapan.Jessy duduk di kursi samping bed pasien."Semua gara-gara Laras. Bukan salahku memilih bersenang-senang dengan Robert. Kamu yang memulainya, Ar. Sejak ada Laras, kamu mengacuhkan aku, bahkan kamu tidak mau menyentuhku lagi seperti dulu." Jessy berguman lirih di samping Ardi yang dikiranya masih terlelap. Namun Jessy tidak menyadari kalau Ardi memasang telinganya lebar-lebar."Aku pikir dengan kamu menghancurkan Laras, maka dia akan menjauhimu, ternyata aku salah. Kamu yang sudah menidurinya pun tidak sadar malah semakin lengket dengannya. Kamu perlakukan aku bak habis manis sepah dibuang. Kamu menghianati istrimu dan juga aku hanya demi gadis kampung itu. Aku yang menyuruh Laras memberi minuman untukmu malam itu. Aku juga yang membuat foto itu seolah-olah Laras
Bab 35B Di Ujung Tanduk "Ternyata Bi Irah pandai menyenangkan hati mama dan papa. Padahal dia hanya seorang asisten di rumah. Bagaimana dengan aku yang menjadi satu-satu putranya. Teganya aku menyia-nyiakan menantunya. Kalau mama dan papa tahu pastilah sedih hatinya.""Bintang, kamu kenapa? seru mamanya membuyarkan lamunan Ardi."Ya, Ma. Aku sudah menemukannya sejak kembali ke Yogya. Maafkan aku tidak mengabari kalian. Kami sedang menata diri untuk berbaikan.""Iya, jaga baik-baik istrimu! Jangan menyakiti hatinya!"imbuh mamanya yang diangguki Pak Atmaja.Hati Ardi sedikit nyeri mendengar nasehat mamanya. Kenyataannya dia sudah membuat istrinya pergi, bahkan Gita memilih pisah daripada hidup melihat dirinya bersama Jessy."Sekarang istrimu dimana, Ar? Kata Bi Irah, Gita ada tugas keluar kota dari kampus. Syukurlah kalau dia jadi kuliah."Deg,"Bi Irah beralasan apalagi ini, bahkan aku saja tidak tahu keberadaan Laras.""Hmm, iya, Ma. Laras ada tugas. Aku tidak ingin mengganggunya. P
Bab 36A Hal tak terduga"Mohon maaf saya ingin menyampaikan surat pemindahan kepemilikan perusahaan konsultan desain properti atas nama Bapak Bintang Lazuardi menjadi Bapak Robert Winata.""Apa? Tidak mungkin," teriak Ardi yang merasa terpukul."Maaf, ini suratnya."Ardi membaca lembar demi lembar surat yang dibawa. Matanya membola saat membaca sebuah lembar berisi tanda tangan pemindahan kepemilikan. Terdapat dua nama di sana, namanya dan juga nama kliennya Pak Robert."Robert, kamu benar-benar licik bersekongkol dengan Jessy."Ardi mencengkeram kuat pegangan kursi roda hingga buku-bukunya memutih."Oya Pak perlu kami sampaikan juga bahwa rumah ini merupakan sebagian aset dari perusahaan. Jadi,...""Tidak usah diteruskan. Kapan saya harus angkat kaki dari rumah ini?" ucap tegas Ardi yang sudah paham dengan permainan bisnis."Dalam surat ini disebutkan maksimal 1x24jam, Pak Bintang.""Baiklah, terima kasih.""Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu."Ardi memutar otak untuk men
Bab 36B Hal tak terduga "Baiklah, sekali lagi selamat datang di tempat kami yang terpencil ini, semoga Bu Anggi betah." Gita tersenyum simpul mendengarnya. Dimanapun tempat yang di pijak, Gita merasa senang bisa memberikan manfaat untuk banyak orang. Harapan untuk mengalihkan kesedihannya sangat terbuka. Dia akan berjuang memberikan yang terbaik di tempat ini. Sepulang mengajar, Gita merasa sedikit lelah dengan tubuhnya. Dia merebahkan badannya di ranjang. Menghela napas panjang, Gita memikirkan banyak hal yang akan dikerjakan untuk pengabdiannya di sekolah yang menghadirkan wajah-wajah haus akan ilmu. "Mbak Anggi, ayo makan siang dulu!" ajak Hana dari ambang pintu. "Kamu sudah pulang sekolah, Na? Katanya ada les tambahan?" "Nggak jadi, Mbak. Gurunya ada rapat persiapan ujian akhir." "Oh, ya. Kalau begitu ayo kita makan siang trus bikin kue!" "Mbak Anggi bisa? Mau bikin kue apa?" "Brownis aja simple, Na. Tadi di sekolah ada karyawan yang menawarkan tepung lengkap untuk brownis.
🌻🌻🌻🌻🌻Bab 37A Terdampar "Bu Anggi, awas!" teriakan salah satu siswa memang didengar Gita. Namun dia tidak sempat menghindar hingga badan mobil sebelah kiri menyenggol tubuhnya."Astaghfirullah." Gita jatuh tersungkur ke tanah diikuti siswanya yang berdatangan menolong.Beruntung di jalan kampung, mobil tidak begitu kencang melaju. Namun tetap saja Gita tersungkur karena tersenggol bagian samping mobil."Bu Anggi nggak apa-apa?"Gita mengangguk pada beberapa siswanya untuk tidak kawatir dengannya. Takutnya mereka menghakimi pemilik mobil dengan melempari batu. Terlihat mobil itu bukanlah mobil biasa. Dia jadi teringat mobil suaminya hampir mirip dengan mobil yang menabraknya kini.Tampak sopir mobil itu turun dan mendekati Gita yang sudah dikerumuni siswanya."Nona tidak apa-apa?""Bu guru kami terluka, Bapak harus tanggung jawab!" seru salah satu siswa laki-laki berperawakan gendut."Iya, kamu pasti orang kaya mobilnya saja bagus. Ayo ganti rugi!" seru satu siswa lainnya yang be
Lima belas menit dari lokasi tabrakan tadi, mobil mereka sudah sampai di sebuah rumah berukuran sedang. Rumah yang berdiri di atas tanah lapang dikelilingi banyak pepohonan terutama pohon jati.Jarak antara rumah yang satu dengan lainnya pun cukup jauh, tidak seperti di kota tempat tinggal Ardi, rumah yang satu dengan lainnya saling berdempetan."Tuan mau pakai kursi roda atau tongkat?" tawar Rahmat pada tuannya yang sedang memasangkan sandal."Tongkat saja, Mat. Kursinya kamu bawa masuk!""Baik, Tuan."Ardi barjalan menapaki tanah yang berwarna coklat kemerahan, sebagian tanah di daerah ini memang berupa tanah liat. Terlihat sedikit gersang, karena hampir memasuki musim kemarau. Daun-daun jati pun mulai banyak yang berguguran. Namun Ardi masih sempat menikmati pemandangan hijau dedaunan selain pohon jati. Bahkan ada sepetak tanah yang sengaja ditanami bunga amarilis, terlihat indah dipandang. Ardi menghirup udara banyak hingga memenuhi rongga dadanya. Dia hembuskan dengan mata terpej
"Maaf Tuan, di sini adanya pasar." "Ya, tidak apa-apa." Dua jam berlalu, Ardi memilih merebahkan badannya di ranjang kayu yang beralaskan kasur tipis. Sangat jauh dari kata nyaman untuknya dibandingkan dengan ranjang kingsize miliknya di rumah. Namun Ardi tetap mencobanya. Sungguh terasa nikmat bisa meliukkan tubuhnya yang kaku karena perjalanan panjangnya dengan kondisi tubuh tidak sempurna. Baru beberapa menit memejamkan mata, terdengar suara salam anak laki-laki. "Mbok, simbok pulang?" "Aargh, siapa kamu? Apa kamu maling?" "Ckk, siapa juga yang mau maling rumahmu nggak ada barang berharganya," teriak Ardi kesal disangka maling." "Benar juga, masak maling tiduran di kamar." "Maafkan saya, Tuan siapa?" Lintang melihat penampilan Ardi yang rapi membuatnya memanggil dengan sebutan yang biasa neneknya ucapkan. "Saya Bintang Lazuardi, panggil saja Tuan Ardi," ucap Ardi dengan ekspresi datar ingin mengerjai cucu Bi Irah. Wajahnya tertunduk saat ditatap Ardi. "Boleh saya panggi