Rendi melihat layar ponsel yang dia asal pegang tadi. Dia pikir itu ponselnya karena bergetar tanpa henti. Ternyata dia salah terka. "Tanti," gumam Rendi tanpa sadar."Iya, Pak. Ini saya. Kenapa ponsel Frani ada pada bapak?" 'Astaga, aku salah ambil. Harusnya aku lihat dulu ponsel siapa' batin Rendi.Jalanan di depannya padat merayap karena ada pohon besar yang tumbang. Padahal sewaktu mengantar pulang Frani tadi belum ada insiden itu. Sialnya, ketika dia sibuk melihat keadaan, getar ponsel Frani membuat dirinya geram. Dia menerimanya tanpa pikir panjang."Ponsel Frani? Salah mungkin kamu," elak Rendi, jelas-jelas alasannya tidak masuk akal."Pak Rendi jangan bercanda ya. Kenapa ponsel milik Frani ada pada bapak? Bapak dan Frani berduaan dari semalam?" tuduh Tanti. Dia sungguh berani mengutarakan isi hatinya padahal Rendi adalah bosnya.Rendi mendengar Tanti menanyakan hal yang sama pada Frani. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, itu berarti salah dirinya. "Saya bisa jelaska
Frani terdiam. Inikah yang dinamakan sifat posesif? Entah wanita itu harus bahagia atau malah menganggapnya aneh. Sepanjang perjalanan kisah cintanya, Gani tidak sekalipun cemburu terhadapnya. Mungkin pernah sekali, itupun tidak ada lagi kelanjutannya."Kenapa kamu hanya diam?" tanya Rendi bingung. Jelas-jelas kepalanya sudah memanas akibat sikap Frani."Memangnya bapak bisa naik motor?"'Duh, Fran. Kenapa kamu malah membahas masalah ini? Harusnya jangan biarkan atasan kamu itu mencemaskan hal yang nggak perlu' batin Frani kesal."Memangnya kamu pikir saya bisa naik mobil tanpa melewati step naik motor? Ayo, saya nggak bisa melihat kamu boncengan dengan pria lain," tukas Rendi. Dia mengambil tangan Frani untuk ikut dengannya masuk ke dalam mobil. Frani celingukan ke segala arah karena takut ada yang memergoki mereka. Setelah Rendi menutup pintu mobil, barulah Frani bisa bernapas lebih lega."Pak, bukannya saya sudah bilang kalau saya tidak mau terlihat bersama bapak di lingkungan pab
Yulia mengetahui semua hal mengenai atasannya. Apa ini? Ketika dia hendak menikmati makan siang, ruangan yang awal mulanya hanya berisi meja, kursi, stand makanan dalam tiga meja, bertambah menjadi lengkap. Ada kulkas yang berisi beragam minuman, lalu kabinet kaca berisi makanan ringan termasuk snack penuh micin --yang hanya boleh mengambil satu perharinya-- dan ada televisi di sisi kosong dinding.Benar itu ruang makan mereka? Tidak hanya Yulia yang terkejut tapi semua orang. Apalagi ketika mereka melihat menu makanan yang disajikan. Benar-benar gizi seimbang. "Gila, ini sih mirip hotel," puji Septi. Sebagai anak kontrakan dia pasti tergila-gila dengan makanan itu.Frani merasa perubahan drastis itu karena ulah Rendi. Haruskah dia bicara pada Rendi? Wanita itu ingin memuji dirinya karena berhasil membuat sang atasan berubah baik tapi belum tentu perubahan itu karena dirinya.Septi menyenggol lengan Frani karena lawan bicaranya itu hanya diam, "Ini bukan ulah Pak Rendi kan?""Ssttt!
Karena gosip yang disebarkan oleh Yulia, orang-orang mulai berdesas-desus mengenai seseorang yang bisa menggaet hati Rendi. Tidak terkecuali teman-teman satu bagian Frani yang secara terang-terangan menggosipkan hal itu. Frani yang sejak kemarin diam, merasa terkejut ketika Mayang menanyakan pendapatnya. Wanita itu bahkan tidak bisa menguasai raut wajahnya yang benar-benar menyiratkan ketakutan."Kamu kenapa sih, Fran? Aneh begitu. Aku kan cuma tanya," ucap Mayang melihat kebingungan Frani."Eng, nggak, aku hanya banyak pikiran," tukas Frani. Tanpa sadar dia mengusap hidungnya yang tidak terasa gatal sama sekali."Bagi-bagi pikirannya, Fran. Jangan dipendam sendiri! Nanti kamu pusing. Eh, kalau aku sih mikirnya si Cantika ya yang dicurigai sebagai pacar Pak Rendi. Soalnya bodynya saja aduhai begitu. Belum lagi dia cantiknya minta ampun. Kalau keluarganya kaya sih dia sudah jadi artis," jelas Mayang sambil mencuri pandang ke arah Cantika. Refleks Frani juga mengedarkan pandangannya k
"Aku cinta kamu, Frani."Pengakuan yang mencuat dari lisan Rendi mengibarkan bendera hijau dalam hati Frani. Wanita itu menyunggingkan senyum tipis namun belum membalas pengakuan Rendi. Mungkin belum waktunya.Seharian mereka sibuk bermain, mengobrak-abrik pasir yang telah terkumpul, mengubur kaki yang setengah basah dan berujung pada mengikuti aliran air laut.Frani tertawa lebar, hatinya ringan bukan main. Dia benar-benar larut dalam kebahagiaannya. Tidak ada lagi bayangan mantan suaminya dan juga perselingkuhan yang membuat wanita itu terpuruk dalam kesedihan. Rendi yang paling bahagia melihat tawa Frani. Dia berjanji akan membuat wanita itu merasa beruntung di dunia ini karena memiliki dirinya sebagai seorang suami. Langkahnya masih panjang. Dia perlu meyakinkan orang tuanya bahwa Frani adalah pilihan terbaik. Setelah mengantar Frani pulang, Rendi bergegas ke rumah orang tuanya. Tidak disangka Sonya masih ada di sana, sedang berbicara dengan Fitri. Pria itu menghela napas berat,
"Namanya Frani, Ma," sahut Rendi lega. Melihat Fitri menyambut mereka dengan tangan terbuka membuat dia menaruh harapan besar. Fitri membawa Frani masuk ke dalam. Mereka duduk di ruang keluarga yang bersebelahan dengan ruang tamu utama. Di ruangan itu ada seorang pria paruh baya yang merupakan kepala rumah tangga dalam keluarga itu. "Perkenalkan ini papanya Rendi, Fran. Namanya Om Irwan. Kenalkan ini wanita yang berhasil merebut hati Rendi, Pa. Namanya Frani," ucap Fitri sembari memperkenalkan dua orang yang berdiri berhadapan itu. Frani yang sedari tadi hanya diam, mengulurkan tangan pada Irwan, "Saya Frani, Om."Irwan memasang wajah datar. Tidak jelas apakah dia menyukai Frani atau tidak. Tapi jika Irwan masih mau membalas sapaan orang lain itu tandanya pria itu berhasil menerima namun belum sepenuhnya. Rendi yang mengetahui tabiat ayahnya, tidak mempermasalahkan hal itu selagi Fitri mau menerima Frani."Bagaimana kalau kita menyiapkan makan malam? Kamu nggak keberatan kan kalau
Hati Frani mencelos. Dia disandingkan dengan Cinderella. Tidak masalah, dia bisa menerimanya. Memang bisa dibilang dia memang Cinderella jika benar-benar menikah dengan Rendi. "Mama!" sela Rendi geram. Dia meletakkan sendoknya, "aku harus membawa Frani pergi. Untuk sekarang, sepertinya pembicaraan kita nggak bisa dilanjutkan."Frani tidak menolak ajakan Rendi untuk pergi, tapi dia juga tidak menerima secara terang-terangan. Sebelum pergi dia memberikan salam perpisahan pada Irwan dan Fitri meskipun hanya Irwan yang meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi."Salah paham apa? Mama benar kan? Dia berharap jadi Cinderella dengan memakai jalan pintas," tukas Fitri. Suaranya sengaja dinaikkan agar Frani mendengarnya. Rendi cepat-cepat membawa Frani untuk keluar rumah. Emosinya meledak tatkala orangtuanya mengejek Frani. Mereka tidak tahu apa-apa. Setidaknya cari tahu yang sebenarnya sebelum memperlakukan orang dengan buruk.Tanpa bicara apapun, Rendi membuka pintu mobil untuk Frani,
Frani menghela napas kasar. Sudah beberapa hari ini Rendi tidak juga muncul. Desas-desus mulai terdengar bahwa dia tidak lagi menjadi pemilik pabrik karena suatu masalah. Apa mungkin keluarga Rendi bangkrut? Tapi tidak mungkin. Kenapa harus disaat seperti ini? Frani mengalami hari-hari yang berat karena ulah para temannya di pabrik. Ingin sekali dia keluar dari sana tapi dia berusaha kuat menghadapi semua masalah. Lagi pula bukan kali pertama dia mengalami permasalahan dalam kisah hidupnya. Frani yakin bahwa dia sanggup. Ada kalanya Yulia terlalu banyak bicara ketika mereka tidak sengaja berpapasan, tapi Frani lebih suka menghindar. Lalu ... ketika Frani sudah enggan diam, dia juga menyerang dengan serangkaian ucapan tajam yang tidak mungkin terpikirkan oleh Yulia.Frani bukannya ingin mendapat pembelaan dari Rendi. Tapi janji-janji manis Rendi untuk membahagiakan dirinya masih tersisa di hatinya. Lalu ... kenapa pria itu tidak muncul sekedar menginformasikan bahwa gosip itu benar.