Hati Frani mencelos. Dia disandingkan dengan Cinderella. Tidak masalah, dia bisa menerimanya. Memang bisa dibilang dia memang Cinderella jika benar-benar menikah dengan Rendi. "Mama!" sela Rendi geram. Dia meletakkan sendoknya, "aku harus membawa Frani pergi. Untuk sekarang, sepertinya pembicaraan kita nggak bisa dilanjutkan."Frani tidak menolak ajakan Rendi untuk pergi, tapi dia juga tidak menerima secara terang-terangan. Sebelum pergi dia memberikan salam perpisahan pada Irwan dan Fitri meskipun hanya Irwan yang meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi."Salah paham apa? Mama benar kan? Dia berharap jadi Cinderella dengan memakai jalan pintas," tukas Fitri. Suaranya sengaja dinaikkan agar Frani mendengarnya. Rendi cepat-cepat membawa Frani untuk keluar rumah. Emosinya meledak tatkala orangtuanya mengejek Frani. Mereka tidak tahu apa-apa. Setidaknya cari tahu yang sebenarnya sebelum memperlakukan orang dengan buruk.Tanpa bicara apapun, Rendi membuka pintu mobil untuk Frani,
Frani menghela napas kasar. Sudah beberapa hari ini Rendi tidak juga muncul. Desas-desus mulai terdengar bahwa dia tidak lagi menjadi pemilik pabrik karena suatu masalah. Apa mungkin keluarga Rendi bangkrut? Tapi tidak mungkin. Kenapa harus disaat seperti ini? Frani mengalami hari-hari yang berat karena ulah para temannya di pabrik. Ingin sekali dia keluar dari sana tapi dia berusaha kuat menghadapi semua masalah. Lagi pula bukan kali pertama dia mengalami permasalahan dalam kisah hidupnya. Frani yakin bahwa dia sanggup. Ada kalanya Yulia terlalu banyak bicara ketika mereka tidak sengaja berpapasan, tapi Frani lebih suka menghindar. Lalu ... ketika Frani sudah enggan diam, dia juga menyerang dengan serangkaian ucapan tajam yang tidak mungkin terpikirkan oleh Yulia.Frani bukannya ingin mendapat pembelaan dari Rendi. Tapi janji-janji manis Rendi untuk membahagiakan dirinya masih tersisa di hatinya. Lalu ... kenapa pria itu tidak muncul sekedar menginformasikan bahwa gosip itu benar.
Yulia bungkam, bahkan semua orang juga tidak berani bicara. Melihat tatapan mesra Rendi pada Frani membuat mereka yakin jika hubungan keduanya memang benar adanya. Sungguh menyebalkan! Status mereka sama --sebagai karyawan pabrik-- tapi takdir mereka jauh berbeda. Setelah puas memperlihatkan pada dunia, Rendi membawa Frani ke ruangannya. Pria itu hendak mengobati luka memar pada lengan Frani tapi wanita itu menolak dengan halus. Masih bagus dia tidak marah pada pria yang meninggalkannya beberapa hari ini. Kenapa tiba-tiba muncul disaat dia sudah lelah untuk menunggu? Kenapa tidak sekalian saja kabur selamanya agar Frani merasa buruk menjadi janda? Ya, harusnya memang begitu. Frani ingin meyakinkan dirinya tapi perasannya menghangat ketika Rendi membelanya tadi. Apalagi melihat tampang Yulia yang mirip orang bodoh. Dia termakan gosipnya sendiri. Rasakan itu!"Kamu mau terus menggumam dalam hati?" ucap Rendi dengan senyum dikulumnya yang lembut. Frani duduk di samping Rendi ketika pr
"Pertanyaan konyol apa itu?" tandas Rendi. Posisinya dia sedang berbaring, tapi mendengar pertanyaan Frani dia menegakkan tubuhnya. Belum pernah dia mendengar Frani sefrustasi itu. "Ayo, jelaskan! Kenapa kamu tiba-tiba bicara begitu?""Sebenarnya..,""Kita bertemu saja. Di rumah kamu. Kamu nggak perlu datang ke gang, cukup aku saja yang ke sana. Semua orang juga sudah tahu apa yang terjadi diantara kita, jadi nggak perlu repot-repot sembunyi."Frani menolak, "Jangan, Ren! Kalau aku bicara langsung, aku takut aku nggak bisa bicara. Kita bicara lewat telepon saja.""Tapi aku lebih suka melihat wajah kamu, Frani," tutur Rendi frustasi. Dia perlu tahu apa yang sedang dipikirkan Frani, melihat matanya, melihat hembusan napasnya entah teratur atau tidak dan melihat kerutan pada dahinya. Rendi takut Frani akan semakin cemas kalau mereka tidak saling berhadapan. "Tolong, Ren!"Rendi menghembuskan napas kecewa, "Baiklah. Sekarang jelaskan!""Sebenarnya alasanku bercerai karena suamiku berseli
"Batalkan pernikahan kalian!""Masuk dulu, Tan. Setelah itu baru kita bicara," ucap Frani, berusaha tenang. Dia menggenggam ponselnya dengan sekuat tenaga agar tidak terlihat gugup. Tapi dia yakin jika Fitri melihat matanya bergetar karena terkejut mendapat serangan ancaman dari calon mama mertuanya.Fitri mendesis, "Siapa yang kamu suruh duduk? Saya? Di tempat kumuh begini? Nggak akan! Saya punya standar sendiri untuk duduk di sofa yang bagaimana. Kalau hanya sofa ... ih, kotor dan tua begitu, saya nggak akan sudi. Bisa gatal-gatal."Frani tercekat. Usahanya untuk membuat Fitri masuk supaya dia bisa bicara dari hati ke hati tidak membuahkan hasil. Tatapan mata Fitri terlalu tajam untuk seorang ibu yang sudah menyetujui pernikahan anaknya. Apa mungkin Rendi berbohong?"Maaf, Tan. Tempat saya memang seperti ini. Kalau Tante keberatan, kita ngobrol di teras saja.""Sudah saya bilang standar tempat yang bisa saya duduki itu nggak main-main. Enak saja menyuruh saya duduk. Cukup berdiri da
"Terlepas dia janda atau bukan, mama sama papa sudah berjanji akan menyetujui pernikahan kami. Atau mama sama papa ingin aku pergi dari perusahaan lagi?" ancam Rendi. Pria itu tahu apa kelemahan Fitri ketika Irwan sedang sakit. Menurut diagnosa dokter, papanya terlalu lelah mengurus perusahaan sendiri dan membutuhkan bantuan Rendi untuk menangani. Irwan diharuskan bedrest selama apapun yang dibutuhkan agar kondisinya semakin membaik.Fitri mendesis, terlihat sekali kalau dia gusar, "Kamu bisa jadi anak durhaka kalau mengancam mama kamu sendiri.""Siapa yang mengancam? Aku hanya menginginkan hakku sebagai anak, Ma. Apa mama masih mau mengusikku dan Frani lagi?"Suasana tegang itu semakin menegang. Apalagi Rendi yang tanpa sadar memasang muka datar dan tajam agar Fitri enggan untuk membalasnya. "Oke, oke. Kalau kamu masih mau menikahi janda itu, mama akan mencoba terima. Hanya karena perusahaan bukan karena mama suka sama dia. Sebaiknya kamu tutup mulut soal statusnya sebagai janda kar
"Frani jangan diam aja dong. Lempar wanita itu ke luar. Seenaknya aja mencium suami orang," tutur Tanti kesal. Dia melihat sikap wanita yang entah siapa namanya itu dengan umpatan tertahan. Begitu juga Septi yang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya karena ulah wanita yang tidak bertanggungjawab. Mungkin wanita itu berniat membuat keributan di pesta pernikahan sahabatnya agar Frani merasa terintimidasi.Tanti sudah ingin maju untuk menarik rambut wanita itu jika saja dia tidak melihat pergerakan Frani yang di luar dugaan. Frani mengapit lengan Rendi, menyibakkan lengan Sonya menjauh dan sedikit menjauhkan jarak antara Rendi dan Sonya. Wanita dengan gaun pengantin berekor panjang itu menyunggingkan senyum manisnya, berniat membangun ketenangan hatinya karena suaminya diusik oleh wanita lain. Padahal dalam hati Frani sempat pasrah karena dia tidak bisa dibandingkan dengan Sonya. "Terimakasih sudah mau datang ke acara pernikahan saya. Tapi tolong jaga mulut! Sekali-kali mulutnya dikun
Melihat Frani diam, Rendi tanpa sadar terkekeh geli, "Bercanda, Fran. Tegang sekali muka kamu?"Frani tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Malu sebenarnya kalau dia ketahuan gugup padahal dia bukan gadis perawan lagi. Lagi-lagi kebingungan Frani membuat Rendi seratus persen mengarah padanya. Dia duduk berjongkok di hadapan Frani, memberikan tatapan manis, tidak menuntut dan seperti biasa. "Kalau kamu belum siap, kita skip saja malam ini. Masih ada malam-malam besok kan?"Frani yang tidak tega kalau harus menunda. Kenapa juga dia harus menunggu sampai besok? Dengan memantapkan hati atas dasar niat untuk menikah mencari berkah, wanita itu menggeleng, "Aku ikut kamu saja, Mas.""Yakin mau ikut saja?"Frani mengangguk, "Iya. Aku istrimu dan kamu berhak atasku."Rendi tersenyum simpul, akhirnya dia mendapat lampu hijau. "Sekarang, kamu mandi dulu. Kalau kamu sudah selesai, panggil aku. Kita gantian.""Baik, Mas." Frani sudah berdiri setelah Rendi menyingkir. Dia berjalan ke arah bilik lai